After Married; Apple Juice
Malam ini hening. Mungkin karena Bian yang biasanya menciptakan kegaduhan, sudah lebih dulu tertidur di kamarnya karena lelah usai bermain PS seharian. Maklum, libur panjang, harus dinikmati dengan sebaik-baiknya.
Berbanding terbalik dengan Bian, di dalam kamar Jeffrey masih terus berkutat dengan layar laptopnya yang masih menyala. Ia bersandar pada sandaran kursi yang menghadap langsung ke arah meja kerja. Siang tadi Ratu sendiri yang sudah menyuruhnya untuk pulang lebih cepat, dan ia pun menyetujuinya. Tapi, bukan berarti membawa pulang pekerjaan sampai ke rumah seperti ini. Selain percuma karena Jeffrey kesulitan untuk fokus karena adanya Ratu di dalam satu ruangan yang sama—rencananya dengan Ratu malam ini jadi tertunda, bahkan lebih dari 2 jam.
Sementara Ratu yang tengah berbaring di atas ranjang, sejak tadi sudah berkali-kali menahan rasa kantuknya. Padahal begitu lama sebelum kepulangan Jeffrey, Ratu sudah mempersiapkan banyak hal seperti; mengganti sprei kasur mereka, mandi hingga berendam, memilih piyama tidur yang jauh lebih tipis dari biasanya, juga menyemprotkan begitu banyak parfum sampai-sampai wanginya menyebar ke seluruh ruangan. Namun nahas, begitu Jeffrey di rumah—bahkan tidak sekalipun ia mengajak Ratu membicarakan hal selain tentang pekerjaan dan apa yang terjadi kantornya. Sial!
Ratu mendengkus. Ia beranjak menuruni kasur dengan kasar. Persetan dengan Jeffrey dan perkerjaannya, Ratu ingin turun ke dapur untuk minum sekarang juga!
Brak! Suara pintu kamar yang sengaja dibanting oleh Ratu itu, memekakkan indera pendengaran Jeffrey. Bahkan ia hampir melompat dari kursi kerjanya.
“Kenapa sih—EH, ASTAGA? Gue lupa soal tujuan utama pulang cepet, ya ... pantesan dia banting-banting pintu,” kata Jeffrey panik, tepat setelah menghilangnya sosok Ratu dari balik pintu.
Takut kalau sampai suasana hati Ratu semakin memburuk, lantas Jeffrey memilih untuk menyusul Ratu. Ia sampai setengah beringsut menuruni anak tangga, demi menyamai langkah Ratu.
“Ra, tunggu, sama aku turunnya!” pekik Jeffrey, nadanya terdengar gusar.
Lantas, langkah Ratu terhenti di anak tangga ke sekian. Ia sempat menoleh, sebelum akhirnya Jeffrey berdiri tepat di sebelahnya. Salah satu dari kedua alis Ratu refleks terangkat. Ditatapnya Jeffrey dengan tatapan yang seakan berkata 'apaan, sih?'
“Sama aku, ya, turunnya.”
Ratu menghela napas kasar, “Kerjaan kantor kamu masih numpuk, kan? Beresin itu aja dulu,” kata Ratu, sewot. Ia memilih untuk melanjutkan langkah—meninggalkan Jeffrey di belakangnya.
“Maaf!”
Persis seperti adegan-adegan dalam drama India, Jeffrey menarik tangan Ratu. Tidak kasar, tidak juga terlalu kuat, hanya cukup untuk membuat langkah Ratu kembali terhenti setelahnya. “Aku minta maaf karena gak tau waktu sama tempat. Aku niatnya pulang cepet buat kamu, tapi malah bawa pulang kerjaan ke rumah. Aku minta maaf, ya, Ra.”
Ratu bergeming.
“Mau ambil minum, kan? Aku temenin,” pinta Jeffrey, lagi.
Ratu menatapnya selama beberapa detik, lalu mengangguk. Secara teknis ia melakukan hal itu, karena setelah dipikir-pikir masalah ini tidak perlu diperpanjang lagi.
Lalu, sambil keduanya menuruni tiap-tiap anak tangga, tangan Jeffrey bertengger tepat di belakang punggung Ratu. Memastikan Ratu tiba di lantai satu, dengan aman. “Awas, pelan-pelan aja.”
“Iya, aku tauuu.”
Dan, sampai keduanya sama-sama menginjakan kaki di area dapur, Jeffrey masih terus menuntun Ratu berjalan, sebab cahaya dapur mereka cukup redup. Lampu utamanya memang sengaja dimatikan ketika sudah malam, dan sudah tidak ada yang menggunakan.
“Tunggu sini, aku nyalain lampu dulu.”
“Gak dinyalain juga masih keliatan, Mas.”
“Gak. Tetep bahaya, Ra.” Lalu suara saklar lampu terdengar di tengah keheningan. Klik!
Ratu berjalan sedikit ke arah di mana rak peralatan makan dan gelas berada. Meraih dua gelas, untuknya dan juga untuk Jeffrey. Sementara, di sisi lain, Jeffrey membuka pintu kulkas yang letaknya berseberangan dengan Ratu.
“Mau minum apa, Ra?” tanya Jeffrey. Nadanya sangat lembut, masuk ke telinga Ratu.
“Apple juice?”
“Siap, satu botol apple juice untuk ibu hamil dan suaminya!”
Mendengar itu, membuat Ratu terkekeh. Menurutnya Jeffrey terdengar sangat lucu saat memperagakan seorang barista cafe seperti barusan.
Jeffrey berjalan, kemudian menarik salah satu bangku yang tersedia di tiap-tiap sisi dari meja makan milik mereka. Ia duduk lebih dulu, sembari membuka tutup sebuah botol jus yang tempo hari ia beli di sebuah mini market saat perjalanan pulang dari kantor.
Usai membereskan urusannya dengan tutup botol tersebut, Jeffrey melihat Ratu yang berjalan mendekat. Ia sengaja menepuk pahanya sebanyak dua kali. “Di sini, Ra,” ajaknya.
Ratu tidak menjawab. Tapi, meski begitu, kakinya secara spontan berjalan lurus ke tempat di mana Jeffrey berada. Ia duduk di sana. Di atas pangkuan Jeffrey, dan tanpa sengaja menekan sesuatu yang ada di antara paha itu sembari menuangkan jus apel ke dalam gelas.
Tangan Jeffrey yang nakal, menelusuri lekuk tubuh Ratu kala itu. Perut Ratu sudah mulai membesar, dan dadanya juga lebih membengkak dari sebelumnya karena pengaruh hormon prolaktin. “Kamu mau punya anak kembar gak, Ra?” Seperti biasa. Bukan Jeffrey namanya kalau tidak mengangkat topik pembiaraan yang acak, saat mereka tengah berdua.
Ratu hampir menoleh, tapi Jeffrey menahan tubuhnya. “Gak bisa lah! Ini kan udah dibuahin, udah jadi juga, masa mau nambah?!”
“Kita gak akan pernah tau, sebelum kita coba.”
“Terus maksudnya mau ke luar di dalem?” tanya Ratu to the point.
Jeffrey menarik napas panjang. “Jangan, deh. Nanti kamu tiba-tiba kontraksi.”
“Mas, Mas ... kamu itu ada-ada aja.” Ratu kemudian bersandar pada tubuh Jeffrey yang berada di belakangnya. Menarik napas, dan membuangnya perlahan-lahan.
Mata Ratu memejam, karena ia merasa nyaman dengan duduk di atas Jeffrey seperti ini. “Jadi mau sampai kapan kita di sini, Mas?” kata Ratu, masih dengan mata terpejam.
“Sebentar.” Tangan Jeffrey tiba-tiba saja menyelinap ke dalam piyama Ratu. Menyentuh salah satu dari dua gundukan milik Ratu dengan gerakan sensual. “Lebih besar dari yang waktu hamil Bian ya, Ra?”
Ratu mengangguk. “Karna ini hamil yang kedua.”
“Lucu, aku suka. Tangan aku bahkan udah gak cukup buat nangkup ini.” Tangan Jeffrey semakin gatal untuk meninggalkan sentuhannya di mana-mana. Sementara Ratu kini sudah meletakkan gelas yang sempat ia genggam beberapa saat lalu.
“Ra, ke kamar, yuk!” kata Jeffrey. Tapi dengan dingin Ratu menggeleng.
“Kerjaan kantor kamu, tuh....” Lagi-lagi Ratu menyindir perihal pekerjaan kantor yang Jeffrey bawa pulang ke rumah.
Jeffrey buru-buru memeluk tubuh Ratu. Menyenderkan pipinya pada punggung Ratu yang hangat. “Aku kan udah minta maaf, Ra.” Jeffrey mencebik di belakang Ratu.
“Makanya, besok-besok jangan gitu lagi,” jawab Ratu.
Tanpa perlawanan, ia mampu melepaskan diri dari Jeffrey. Berjalan meninggalkan gelas, dan juga sisa jus apel miliknya begitu saja.
“Ra!”
Ratu memutar tubuhnya, menghadap Jeffrey. “Apa?”
“Jadinya batal?”
“Enggak. Cepetan matiin lampu dapurnya, terus gendong aku sampai atas kalau kamu masih mau.”
Jeffrey refleks menarik sudut bibirnya. “Masih mau lah!”
Lantas, Jeffrey kalang kabut untuk berdiri dan mematikan lampu dapur, sebelum akhirnya ia menggendong Ratu di depan—seperti bayi koala. Sejauh ini, menurutnya, Ratu masih ringan. Masih mudah untuk digendong seperti ini ke mana-mana, bahkan menaiki tangga sekalipun.
Sambil tetap hati-hati supaya tetap seimbang dan mereka berdua tidak terjatuh—Jeffrey sesekali menciumi bibir Ratu seperti awan. Membuat si empunya bibir kegelian.
“Sebentar lagi mau sampai kamar. Ada pesan terakhir?” kata Jeffrey menggoda.
Ratu terkikik sesaat. “Ada.”
“Apa?”
“Jangan kasar-kasar, nanti yang di dalem marah sama kamu.”