After Married; Burning Desire

Malam ini keadaan rumah terasa begitu sepi sebab, seisinya kekurangan eksistensi seorang Sabian Aditama—si semata wayang, yang usut punya usut tengah menginap di hotel bersama salah seorang teman barunya.

Ratu duduk termangu di sebuah sofa, depan televisi yang tengah menyala. Bosan. Hanya terdengar suara penyiar berita yang asalnya dari benda besar, nan pipih di hadapannya itu. Sudah hampir keram punggung Ratu lantaran sejak dua jam yang lalu, ia sudah duduk menyendiri di sana. Seperti biasa, di jam-jam Jeffrey pulang kantor seperti ini—Budhe Lasih tentu sudah rebahan di dalam kamarnya dengan damai.

Sebenarnya, ia menunggu Jeffrey bukanlah atas dasar kepekaan dan rasa perhatian sebagai seorang istri, melainkan atas dasar permintaan Jeffrey sendiri untuk.

Katanya melalui telepon, ia ingin ditunggu dan disambut kepulangannya untuk malam ini. Manja sekali, kan? Yah, memang seperti itulah sikap Jeffrey acapkali Bian tak ada di rumah.

Ratu menghela napas panjang tatkala suara mesin mobil milik Jeffrey terdengar dari halaman rumah. Akhirnya laki-laki itu pulang, setelah rasanya ia sudah menunggu sekian lama.

Namun, alih-alih membukakan pintu, Ratu memilih untuk tetap berduduk manis di tempatnya. Bukan karena ia terlalu malas untuk beranjak, melainkan karena ukuran perutnya yang tak lagi kecil itu, cukup membatasi pergerakan Ratu sejak beberapa minggu terakhir.

Tangan Ratu meraih sebuah remot yang letaknya tak jauh darinya. Menekan tombol power untuk mematikan televisi yang sempat ia nyalakan dengan niat meramaikan seisi rumah, namun sia-sia.

Pintu utama terbuka dari luar, dan menimbulkan suara yang memecah keheningan seketika. Mendengar itu, Ratu praktis menoleh ke belakang. Didapatinya sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan kemeja yang sudah tak lagi rapi, kelihatannya.

Jeffreyan Aditama. Meski sudah banyak tahun-tahun yang Ratu lalui bersama laki-laki itu dalam pernikahan mereka, namun sampai detik ini Ratu masih saja merasa salah tingkah setiap kali melihat suaminya itu pulang kerja. Maklum, nilai plus Jeffrey memanglah ketampanannya. Belum lagi saat laki-laki itu tersenyum simpul ke arahnya—Ratu refleks menyetuh perutnya yang kini sudah begitu besar.

“Emang boleh ya, Papa kamu se-mantep ini?” kata Ratu lirih pada sang jabang bayi di dalam perut. Sementara ia sibuk mengagumi Jeffrey dalam minimnya pencahayaan ruang tengah, Jeffrey sendiri mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Melalui ruang tamu, dan berjalan mendekat menuju ruang tengah.

“Aku pulang!”

Ratu hampir saja berdiri. Maksud hati ingin menyambut Jeffrey dengan sebuah pelukan hangat sepulang kerja. Namun, laki-laki itu lebih dahulu menahan tubuh Ratu, sehingga Ratu kembali terduduk di atas sofa.

“Mau ngapain?” tanya Jeffrey.

Ratu merentangkan kedua tangannya. “Mau peluk!” kata Ratu menjawab pertanyaan Jeffrey.

Kemudian, alih-alih membantu Ratu berdiri, Jeffrey justru memeluk tubuh Ratu dengan satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi ia pergunakan untuk menopang tubuhnya pada sandaran sofa, agar ia tidak jatuh menimpa Ratu.

“Enak banget pelukan sama ibu hamil. Mana wanginya nyegerin.” Sontak wajah Ratu menghangat, hingga muncul semburat merah pada pipinya.

“Jangan godain saya, ya. Saya lagi hamil, dan udah punya suami!” kata Ratu seakan-akan Jeffrey adalah orang asing.

“Siapa, sih, suaminya?”

“Ada.”

“Siapa?”

Kemudian tangan Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey, dan mengusapnya dengan begitu lembut. “Jeffreyan Aditama. Masnya berani gak lawan dia?”

Jeffrey refleks terkekeh, usai mendengar perkataan Ratu barusan. “Berani, lah!” cetus laki-laki yang kemudian melayangkan begitu banyak kecupan di wajah Ratu itu.

“Mas! Nanti dilihat Budhe Lasih, loh....”

Tapi, seakan tuli, Jeffrey justru semakin nekat. Kini kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa, dan dipagutnya bibir ranum Ratu seketika.

Di bawah cahaya temaram ruangan itu, di tengah-tengah keheningan yang melanda—suara decakan bibir keduanya terbang bersama udara dan kemudian memenuhi seisi ruangan. Tangan Ratu yang semula menangkup kedua pipi Jeffrey, kini mulai merambat ke arah tengkuk laki-laki itu. Tak ingin munafik—Ratu juga sangat mendambakan Jeffrey malam ini.

“Ngh....” Sebuah lenguhan yang berhasil lolos dari bibir Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.

Diusapnya sudut bibir Ratu yang sempat menyisakan saliva mereka berdua. “Astaga, aku kelepasan berbuat mesum sama ibu hamil!” kata Jeffrey sok dramatis.

“Gak masalah, ibu hamilnya suka.”

“Kalau suka, berarti boleh dilanjutin?”

Ratu merespons perkataan Jeffrey barusan dengan sebuah anggukan kepala. “Kamu tau jawabannya, bahkan sebelum aku ngangguk-ngangguk begini.”

Benar saja! Jeffrey tergelak dalam hitungan detik, sebelum akhirnya ia menggendong tubuh Ratu di depan—seperti koala. Untuk dapat mengangkat bobot tubuh Ratu yang sekarang ini, Jeffrey termasuk seorang laki-laki yang kuat.

“Berat gak?” tanya Ratu penasaran.

Jeffrey menggeleng singkat, kemudian mengecup ceruk leher Ratu. Kakinya melangkah hati-hati meneju kamar mereka yang tak jauh dari ruang tengah.

“Kenapa harus digendong, padahal aku masih bisa jalan?”

“Kalau kita jalan, kelamaan.”

Selanjutnya Ratu sengaja merapatkan kakinya yang melingkar pada pinggang Jeffrey. Membuat suaminya itu mengerang seketika. “Sumpah, kok, udah keras banget? Takut!”

“Kalau lunak, gak bisa masuk nanti.”

Seperti biasa; Ratu menyesal karena sudah memancing Jeffrey untuk berbicara di saat-saat seperti ini. Maksud hati ingin bergurau namun, justru dijawab dengan kalimat yang kedengarannya begitu kotor seperti barusan.

Ratu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Jeffrey. Diam-diam ia menghirup sisa-sisa aroma parfum milik Jeffrey dari sana. Harum, dan tidak terlalu menyengat seperti saat perkali disemprotkan pada kerah kemejanya.

Jeffrey berdeham, “Menurut kamu, aku mandi dulu atau gak usah?” tanya Jeffrey dengan nada yang terdengar sedikit serius.

“Gak usah.”

“Kenapa?”

“Ya ... nanti aja sekalian.”

Langkah kaki Jeffrey tiba-tiba saja terhenti, padahal mereka belum sampai di ambang pintu kamar.

“Kok berhenti? Kan, belum sampai kamar,” timpal Ratu.

“Sekalian gimana maksudnya? Mau mandi bareng?”

Ratu menggeleng kemudian. “Mandinya sendiri-sendiri, lah! Tapi—mandinya habis berkeringat bareng.”

Kalimat itu lantas menjadi kalimat penutup percakapan mereka di luar kamar. Pasalnya, detik kemudian Jeffrey langsung berjalan cepat memasuki kamar yang hanya tersisa beberapa langkah lagi dari tempat ia berdiri sebelumnya.