After Married; Safe Place

Ratu melangkah masuk lebih dahulu ke dalam vila. Ia menekan saklar lampu tanpa ragu. Sementara itu, Jeffrey dengan sebuah koper berisikan pakaian yang mereka bawa dari rumah, berjalan di belakang Ratu, sembari kepayahan.

Vila tempat mereka menginap malam ini, tak begitu besar. Pada dasarnya, keluarga Jeffrey lebih senang berlibur ke luar pulau, dibanding hanya bermalam di sebuah vila yang berada di Bogor—seperti apa yang Jeffrey dan Ratu lakukan kali ini. Bisa dibilang vila itu hanya satu dari sekian banyak aset keluarga Jeffrey yang sejatinya nyaris dilupakan.

Kendati begitu, ujung hingga ke ujung vila itu masih tampak sangat terawat. Tak ada sarang laba-laba, atau bahkan aroma tak sedap dari sebuah dinding lembab yang dibiarkan. Semuanya bersih, dan rapi. Masih begitu nyaman untuk ditempati.

Sebenarnya ada sepasang suami dan istri yang bertugas menjaga, serta merawat vila itu selama bertahun-tahun lamanya. Jeffrey berkata, mereka bahkan ikut menua seiring dengan bertambahnya usia bangunan vila itu. Mereka menempati bangunan yang terpisah dari vila itu, yang keberadaannya di halaman belakang.

Mengetahui hal itu, Ratu merasa tenang. Meski ia tak hanya berdua saja dengan Jeffrey—setidaknya privasi mereka tetap aman.

“Jelek ya, Ra? Apa mau nginep di hotel sekitar sini aja?” tanya Jeffrey, khawatir. Pasalnya, ia melihat Ratu hanya terdiam pasca menekan saklar lampu beberapa saat lalu. “Maksudku, biar lebih nyaman tidurnya.... Barangkali kamu nggak bisa tidur di sini, karena udah lama nggak ditempatin.”

Ratu menoleh ke arah Jeffrey, lalu menggeleng.

“Ini lebih dari nyaman tau, Mas.” Sembari berjalan meninggalkan Jeffrey, Ratu mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru ruangan. Satu telunjuknya menyentuh sebuah bufet panjang yang melengkapi ruang tengah. “Bersih banget, ya? Padahal, kata Mama—vila ini terakhir dikunjungin waktu kamu masih sekolah. Berarti udah lamaaa... bangettt.... Iya, kan, Mas?”

“Iya, Ra.” Jeffrey mendaratkan koper mereka di atas sebuah karpet beludru. “Untungnya Papa nggak pernah ninggalin asetnya gitu aja. Kayak ini, jadi ada yang ngurusin.”

Lantas, Ratu terkekeh. “Padahal Papa sendiri udah lupa kalau punya vila di Bogor. Tapi, kok, bisa ya, tetep inget ngegaji orang yang kerja di sini?”

“Ya, inget-inget begitu, kan, bukan tugas Papa. Ada Pak Beni yang ngurusin.”

Bibir Ratu mengatup. Ia baru saja lupa akan fakta kalau ia memiliki mertua yang cukup kaya raya untuk membayar seseorang yang bertugas mengurus segalanya, seperti; pemasukan, pengeluaran, tagihan, agenda, dan masih banyak lagi.

Dengan senyuman kikuk, Ratu memutar tubuh ke belakang. Menghadap Jeffrey. “Oh, iya, ya....”

Jeffrey mendesah panjang. Merasa kehabisan kata-kata. Sudah lama tinggal bersama, namun masih saja Ratu lupa orang seperti apa ia dan keluarganya.

“Eh, Mas!”

“Apa?”

“Pintunya nggak kamu kunci, ya?”

Mereka saling tatap. Dan, Ratu merasa aneh seketika, tatkala Jeffrey mengangkat sebelah alisnya ke atas.

Suaminya itu, bahkan tersenyum menggoda.

“Apa?” tanya Ratu, kebingungan. “Aku takut liat tatapanmu!”

“Kenapa pintu depan harus dikunci?” Jeffrey melangkah ke depan, sambil memberi isyarat melalui sorot tatap mata. “Emangnya kita mau ngelakuin ‘hal itu’ di ruang tengah?”

Ratu mendelik seketika. “APA SIH?! AKU TAKUT DENGERNYA!”

Lantas, gelak tawa Jeffrey lolos. Tawanya hingga menggema di dalam keheningan vila itu. Sementara, Ratu sibuk menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Mencondongkan tubuh, Jeffrey semakin dekat dengan Ratu. Ia mencebikkan bibirnya, seraya berkata, “sok takut!”

Hampir saja Ratu melayangkan sebuah pukulan panas pada pundak Jeffrey, seperti yang biasa ia lakukan di rumah. Namun, Jeffrey sudah lebih dulu beringsut menuju pintu.

Jeffrey sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya—jika ia diam saja. Oleh sebab itu, ia memilih untuk pergi meninggalkan Ratu dan mengunci pintu. Lagi pula, pikirnya, akan sangat konyol kalau-kalau kemesraan ia dan Ratu tak sengaja terpergok oleh penjaga vila hanya karena tak mengunci pintu.

“Mas!”

“Apa!?”

“Habis ngunci pintu, tolong masukin barang-barang bawaan kita ke kamar, ya!”

Meski mendengar itu, Jeffrey sengaja tak menjawab. Ia memang kembali menuju ruang tengah. Namun, atensinya bukanlah pada barang-barang bawaan yang Ratu maksud, melainkan pada Ratu sendiri yang tengah duduk di hadapan sebuah grand piano berwarna hitam, seraya menekan tuts dengan asal-asalan.

Melihat itu, Jeffrey tersenyum sambil bersedekap tangan. “Kamu pantesan main pianika, Ra.” Ia menghampiri Ratu yang hanya tertawa ringan.

“Kamu bisa, kan?” Ratu menggeser tubuhnya ke samping. Menyediakan sedikit tempat bagi Jeffrey, agar mereka dapat duduk bersama di sana. “Mainin satu lagu, dong, buat aku.”

Jeffrey mendecih, sebelum ia benar-benar ikut duduk di sisi Ratu. “When a man loves a woman, khusus buat Ratu Azalea.”

“Bisa? Aku kira cuman bisa river flows in you....”

Tatkala jemari Jeffrey mulai menekan tuts, demi tuts, Ratu mulai tertegun.

Selang beberapa detik, Ratu tersipu malu. Kedua pipinya memerah seperti buah tomat matang yang baru dipetik dari kebun.

“Nyanyi, Ra,” pinta Jeffrey, namun Ratu menolak.

Ia hanya menikmati alunan tuts piano yang Jeffrey mainkan, dengan mengayunkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.

Detik, hingga menit berlalu. Jeffrey benar-benar menghangatkan suasana, melalui permainan pianonya. Ratu semakin lekat menatap Jeffrey dari samping, ia merasa seperti jatuh cinta sekali lagi.

Sadar akan tatapan dalam yang Ratu layangkan untuknya, Jeffrey menoleh. Membuat wajah mereka kini hanya berjarak beberapa inci saja.

Nada yang tercipta dari rangkaian tuts piano yang semula terdengar indah itu, kini menggantung di sana.

“Aku nggak bisa fokus main piano kalau kamu ada di jarak sedeket ini, Ra.”

“Ya, udah....”

“Apa?”

Ratu meneguk salivanya sendiri. “Berhenti aja.” Ia sudah menahan diri untuk tidak tertarik, akan tetapi ia gagal.

Seakan ada aliran listrik di udara, Ratu dengan senang hati menyambut bibir Jeffrey yang tiba-tiba saja mendarat di atas bibirnya tanpa sepatah kata pun. Mereka berdua berciuman.

Ciuman itu semakin dalam, hingga Ratu tak menyadari jika tubuhnya baru saja ditarik oleh Jeffrey, dan diangkat—supaya mendarat di atas tuts piano.

Dengung suara tuts yang ditekan secara mendadak, kontan meramaikan ruang tengah vila itu. Menenggelamkan suara lenguhan yang tercipta oleh pagutan mereka berdua.

Sebuah tekanan pada tengkuk, Ratu terima.

Lidah Jeffrey bergerak bebas. Ia menyapu mulai dari bibir, hingga ke bagian dalam mulut Ratu. Membuat mereka berdua saling terengah, dan mulai kehabisan napas.

Perlahan-lahan, tangan Jeffrey tergerak membuka paksa sebuah kardigan yang sempat Ratu kenakan sebelumnya. Ia juga tak lupa melepas jaket yang membuat tubuhnya lebih hangat, beberapa saat lalu.

Dalam hitungan detik, Jeffrey melepas pagutan mereka. Memberi Ratu isyarat agar melingkarkan kaki pada pinggangnya. Dengan gerakan cepat, Jeffrey lagi-lagi mengangkat tubuh Ratu. Ia menutup fallboard sebab, mulai jengah mendengar bisingnya suara tuts yang tercipta hanya karena pergerakan sederhana yang mereka ciptakan. Jeffrey meletakkan Ratu di atas fallboard, seakan-akan ia tak berbobot sama sekali.

“Di kamar aja nggak, sih, Mas?” Ratu merasa ragu.

Namun, Jeffrey tak menghiraukan perkataannya barusan. Jeffrey justru melepas bagian atas pakaian ia dan Ratu dengan begitu tergesa.

“Mas... aku malu kalau di sini....”

Jeffrey meletakkan ibu jarinya di depan bibir, seraya mengusap lembut pipi hingga tengkuk Ratu. Membuat sang empunya terpejam seketika. “Ngapain malu? Di sini cuman ada aku, sama kamu,” kata Jeffrey berusaha meyakinkan.

Menerima sentuhan, demi sentuhan dari tangan Jeffrey—Ratu bereaksi dengan melengkungkan tubuhnya. Terlihat jelas betapa mengerasnya dada Ratu di hadapan Jeffrey. Hal itu, tentu saja berkat keahlian Jeffrey.

Duduk di tepi fallboard yang tertutup, dalam keaadan seperti ini adalah hal baru untuk Ratu. Kedua kakinya secara praktis terbuka. Seperti menjadi tempat ternyaman untuk Jeffrey berdiri di antaranya, seraya memandangi tubuh bagian atas Ratu dengan seksama.

Ratu dapat merasakan telapak tangan Jeffrey yang hangat di pipinya, perlahan tapi pasti, mulai turun—mendarat pada tengkuk. Belum puas membuat Ratu kegelian, tangan Jeffrey semakin turun menjamah kedua gundukan kembar milik Ratu. Menyalurkan rasa hangat pada keduanya, sambil menekannya lembut—sesekali.

Sorot matanya turun lagi ke bawah. Melewati perut, hingga pinggang Ratu, kemudian berhenti tepat saat ia melihat miliknya sendiri yang menonjol dengan berani di balik celana. Seakan tengah menghadang milik Ratu di bawah sana.

Lalu, segalanya mulai kacau. Tangan Jeffrey seakan bergerak sendiri tanpa menunggu perintah sang empunya. Melepas celananya, begitu juga dengan celana milik Ratu. Jeffrey membuangnya begitu saja ke atas lantai yang dingin.

Ratu hanya diam tatkala tangan Jeffrey bergerak menjamah bagian dalam pahanya yang sejak beberapa saat lalu sudah mulai berkeringat. Ia justru dengan spontan merenggangkannya lebar-lebar.

Dengan begitu, milik Jeffrey menempel sempurna pada miliknya. Benda yang keras itu menggoda klitoris Ratu, penuh gairah. Sementara Ratu, tak bisa menahan lenguhan tatkala miliknya semakin basah karena Jeffrey.

Tubuh Ratu kembali melengkung seperti busur, saat Jeffrey tanpa sabar menyerbu masuk bagian bawahnya dengan satu dorongan. Mulut Ratu terbuka, namun tak bersuara. Sementara itu, Jeffrey menenggelamkan wajahnya demi menyesap dan memberi beberapa tanda pada ceruk leher Ratu, di waktu yang bersamaan.

Sesekali Ratu menggigit bibirnya, kemudian balas menghirup dengan serakah aroma tubuh Jeffrey yang saat itu tengah menusuknya di bawah sana.

Ratu mengerang. Jeffrey pun, sama. Selaras dengan suara ritmis dorongan Jeffrey pada dirinya. Keduanya tak bisa menahan diri untuk terus menekan permukaan fallboard piano tua itu.

Jeffrey menjadi lebih liar, dan cepat. Tiba-tiba ia melakukan hal itu, membuat Ratu mulai kewalahan untuk mengimbangi.

Sensasi terbakar, menjalar di sekujur tubuh Ratu tatkala Jeffrey mengubur miliknya lebih dalam. Menekan hingga menemui inti Ratu dalam satu gerakan kuat.

Hampir tiba di penghujung kenikmatannya, Jeffrey justru menarik keluar miliknya dengan cepat. Membuat Ratu mendelik kesal untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya kembali menancapkan miliknya yang sudah lebih keras.

Namun, kali ini Jeffrey mengayun lembut seraya menggigit bibir bawahnya, saat melihat Ratu dari atas. Kedua payudara Ratu bergoyang, acapkali Jeffrey bergerak. Membuatnya semakin bergairah, lagi dan lagi.

“Mas, jangan di dalem!” pekik Ratu saat menyadari kalau Jeffrey hampir sampai pada titik puncaknya.

Mendengar peringatan itu, Jeffrey mengernyit—meski tubuhnya masih terus memompa di bawah sana. “Kenapa?” tanya Jeffrey. Nadanya begitu rendah.

Seraya memejamkan kedua matanya, Ratu mencengkram lengan Jeffrey kuat-kuat. “Kalau punya adik lagi, Bian pasti marah. Dia nggak mau punya adik banyak-banyak, AKHH! MASSSSSS!”

Jantung Ratu berdebar kencang. Ia merasakan bahwa dirinya baru saja dipenuhi oleh Jeffrey yang meledak akibat mencapai klimaksnya.

Keduanya kehabisan napas. Sisa-sisa kenikmatan itu masih ada. Jeffrey meloloskan suara desahan panjang yang terdengar rendah.

Tak lama setelah itu, Jeffrey mengecup bibir Ratu, begitu lembut. “Kamu, kan, udah KB, Ra.”

Kedua mata Ratu, praktis membola. “Oh, iya!”

Jeffrey mengangguk gemas. Ia masih belum menarik miliknya, dari dalam Ratu. “Tapi kalau kamu maunya tetep dibuang di luar, nggak masalah. Aku siap ngulang lagi.”

Mendengar itu, Ratu yang masih sibuk mengatur napas, lantas meraup wajah Jeffrey menggunakan tangannya dengan kesal. “Dasar kotor!”