After Party
Malam itu adalah satu hari setelah pesta pernikahan Ratu dan Jeffrey digelar. Jeffrey duduk disebuah bangku taman, ditemani oleh Yudhis, Matius, dan juga Dio. Menjadi sebuah pemandangan yang sama persis seperti saat mereka masih SMA dulu.
Jeffrey duduk dihadapan ketiganya dengan bibir mencebik.
“Lo gak malu pasang muka kaya gitu didepan kita?” tanya Yudhis, kemudian menghembuskan asap rokoknya ke sembarang arah.
Sementara Jeffrey menggidikkan bahunya. Mata lelaki itu memicing, mencari-cari keberadaan istrinya, namun nihil.
Matius mendecih, “Gimana semalem?” katanya, sontak dihadiahi pukulan di bagian kepala oleh Dio dan Yudhis.
“Sakit anjing!”
“Laklakan lo apa gak ada filternya?” tanya Yudhis bersungut-sungut.
“Eh tapi ... gue juga penasaran—” Selanjutnya Dio sibuk cengangas-cengenges setelah mengatakan hal tersubut.
“Asal lo tau Yud, yang kaya beginian tuh penting buat dibahas.” Raut wajah Matius berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya.
“Apalagi lo tau kan, kalau temen lo yang satu ini agak blo'on urusan cewek?”
Merasa disindir, lantas Jeffrey pura-pura tidak mendengar. Ia sibuk menuangkan minuman kedalam gelas, lalu menyesapnya dengan santai. After party pernikahannnya terasa seperti sebuah neraka, karena pertanyaan-pertanyan frontal yang dilontarkan oleh teman-temannya—terutama matius, batinnya.
Jeffrey meringis, mengingat kejadian menyebalkan yang baru saja ia alami di pagi hari ini. Kejadian yang membuat pertanyaan Matius menjadi sangat sensitif bagi dirinya.
Flashback On
Pukul 8 pagi, Jeffrey baru saja membuka matanya. Alis lelaki itu bertaut, begitu cahaya matahari menyambut netranya dari luar jendela.
Jeffrey melenguh, sembari mengusap-usap waajahnya.
“Silau banget, Ra. Demi!”
Hening. Selanjutnya terdengar helaan nafas kasar yang kemudian menarik perhatian Jeffrey.
“Kenapa?”
Ratu yang tengah duduk ditepi ranjang pun menoleh, lantas menjatuhkan kepalanya di atas dada suaminya.
“Kenapa sih? Kok diem aja?” tanya Jeffrey kedua kalinya.
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Ratu malah memainkan ujung pakaian yang melekat pada tubuh Jeffrey.
“Amplop yang isinya cuman goceng semalem itu, jangan dipikirin kali, Ra.”
Mendengar perkataan itu, Ratu sekonyong-konyong memukul perut Jeffrey. Namun sang empunya justru tertawa lepas, mengingat sebuah amplop lusuh bertuliskan nama Jemian—adik laki-laki Jeffrey, yang berisikan uang bernilai lima ribu rupiah, dengan selotip sebagai perekat kedua sisi robeknya.
“Gue ngantuk banget.” Ratu membuka suara. Mengabaikan tawa Jeffrey, kemudian kebamli menyandarkan punggungnya pada tumpukan bantal dibelakangnya.
Jeffrey menatap intens kearah Ratu. Kantung mata gadis itu nampak sangat jelas. Sontak Jeffrey mendudukan tubuhnya, untuk menatap istrinya lebih dekat.
“Semalem gak tidur?” tanya lelaki itu dengan lembut.
Ratu menggeleng.
“Kenapa?”
“Gak bisa.”
“Kenapa gak bisa?”
Ratu menggaruk hidungnya yang tidak gatal, sembari menatap Jeffrey dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Gue... takut tidur sama lo,”
Jeffrey geming seketika.
“Gue tau kita biasa tidur di kantor dalam satu ruangan, atau bahkan lo sering nginep di unit gue dari dulu. Tapi... gak satu kasur kaya gini kan? Gue takut.”
Lelaki dihadapannya itu, melongo tak percaya dengan apa yang baru saja Ratu katakan.
“Ra? Gue suami lo,” kata Jeffrey lirih.
“Iya tau.”
“Terus kenapa?—” Kalimat Jeffrey menggantung di udara.
“Maksud gue ... gue bahkan gak bakal apa-apain lo, sebelum lo siap?” Jeffrey lantas bangkit, setelah menyibak selimutnya. “Liat! Celana gue masih di tempatnya, Ra! Astaga,” papar Jeffrey dengan nada kesal.
Tiba-tiba saja wajah Ratu memanas, hingga semburat merah muncul di kedua pipinya.
“Lo ... tau darimana kalau itu yang gue maksud?”
Jeffrey memutar bola matanya malas. “Apalagi emangnya? Gak mungkin kan, lo takut gue begal diatas kasur?!”
Tawa Ratu pecah seketika, dan diikuti oleh Jeffrey.
“Jadi kapan, Ra?” tanya Jeffrey disela-sela tawa mereka.
“Apa?”
“Siapnya?”
Refleks Ratu melempar bantal kearah wajah Jeffrey, “Ngomong gitu lagi, gue cubit bibir lo!
Flashback Off
Jeffrey mengusak rambutnya dengan kasar, kemudian berdiri. Berniat meninggalkan ketiga sahabatnya.
“Mau kemana?” tanya Dio.
“Nyari bini gue—eh Yud, lo masih punya utang push up” Mata Jeffrey memicing, dengan jari telunjuk yang mengarah pada wajah Yudhis.
“Kan udahan anjing!” seru lelaki itu.
“Baru dua puluh lima kali kan Yus?” Matius mengangguk setuju.
“Sisa tujuh puluh lima kali lagi,” timpal Dio, membuat wajah Yudhis kusut seketika.
Dengan senyum menyebalkan, Jeffrey menepuk bahu sahabatnya itu. “Simpen aja utangnya, Yud. Nanti lo bayar di acara nikahan lo aja,” tutur Jeffrey, kemudian melenggang pergi meninggalkan ketiganya.