Aku, Kamu, dan Anak-Anak
Mesin mobil Sabian menderu pelan saat ia memutar setir ke arah kompleks perumahan sederhana di tepi kota, tempat Bianca tinggal. Mereka sudah membuat janji sebelumnya—menjemput adik-adik kesayangan mereka menggunakan mobil Sabian, dan meluangkan sedikit waktu untuk makan siang bersama.
Saat mobil Sabian berhenti di depan pagar rumah Bianca, ia mematikan mesin sebentar dan menarik napas dalam. Di dashboard, ada segelas matcha latte dingin yang masih mengepulkan embun dingin di permukaannya. Sabian menatap minuman itu lamat-lamat. Ia membelinya beberapa saat lalu, di sebuah kafe yang tampak cukup eksis di daerahnya. Sengaja ia mampir dan membeli minuman. Sabian khaatir kalau-kalau Bianca akan kehausan dalam perjalanan nanti–sebagai bentuk perhatian kecil yang da[at ia berikan dalam proses pendekatan ini.
Klek!
Tiba-tiba saja pintu mobil di sebelahnya terbuka dari luar. Saking sibuknya memikirkan Bianca, Sabian sampai-sampai tak menyadari kalau perempuan yang tengah memenuhi pikirannya itu sudah keluar dari balik gerbang rumahnya sejak beberapa saat lalu.
“Hai, Masabi!” sapa Bianca penuh semangat.
Sabian mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Bianca. “Cepet masuk, di luar panas!” titahnya. Maklum, siang ini matahari memang dua kali lipat lebih hangat dari biasanya. Mungkin karena faktor eksistensi awan yang begitu kurang, di langit, kali ini.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Bianca langsung melakukan apa yang Sabian minta. Ia duduk, seraya mengencangkan seat belt dengan gerakan otomatis. “Udahh,” katanya.
Merasa sedikit kikuk, lantas Sabian berdeham untuk menairkan suasana. “Bi, ini gue beliin buat lo.” Ia menyodorkan gelas matcha latte itu, jarinya hampir menyentuh jari Bianca saat gelas berpindah tangan. “Supaya lo nggak haus di jalan. Cuaca lagi gila-gilaan panasnya hari ini.”
Bianca menerima gelas itu dengan kedua tangan, merasakan dinginnya yang menyegarkan di telapak tangannya. Aroma matcha yang segar langsung menyapa hidungnya dengan begitu ramah.. “Makasih ya, Mas. Lo nggak usah repot gini sih, harusnya,” katanya pelan, tapi senyumnya tak mampu ia sembunyikan. Dalam hati, Bianca merasa kagum dengan perhatian kecil yang Sabian berikan, seperti ini—bukan sesuatu yang berlebihan, namun sesuatu yang cukup, yang membuatnya merasa istimewa.
“Cobain, terus kasih komentar. Gue baru pertama kali beli di sana soalnya,” tutur Sabian, suaranya penuh harap, seperti anak kecil yang menunggu pujian.
Lalu, Bianca cepat-cepat menyeruput matcha latte itu melalui sedotan. Rasanya... sempurna. Manis tapi tak berlebihan, dingin yang langsung meredakan dahaga di tenggorokannya.* “Enak, dan nggak terlalu manis,” gumamnya sambil tersenyum, matanya menyipit karena kepuasan, sebelum akhirnya ia kembali menikmati minuman itu, tanpa sadar bahwa Sabian tengah memperhatikannya dengan tatapan yang lebih dalam dari biasanya.
Tanpa kata-kata, Sabian meraih tangan Bianca yang sedang menggenggam gelas itu. Jarinya menyentuh punggung tangan Bianca dengan lembut, membuat gadis itu membeku sejenak. Lalu, dengan santai, Sabian mencondongkan tubuhnya sedikit dan ikut menyeruput matcha latte itu dari sedotan yang sama. Bibirnya menyentuh sedotan itu tepat setelah bibir Bianca, sebuah gerakan yang begitu intim tapi terasa alami baginya. Dan, detik kemudian, Sabian mengangguk setuju. “Bener, enak. Pilihan gue emang top.” Lalu, tanpa melepaskan tangannya, Sabian mengulurkan tangan satunya dan mengacak-acak pucuk kepala Bianca dengan lembut.
Hanya saja, gerakan alami itu benar-benar sukses membuat jantung Bianca berdegup kencang. Bianca praktis membeku di tempat duduknya. Kedua pipinya memerah seperti tomat matang. Dan, ia hanya dapat tersenyum kikuk, tak tahu harus berkata apa.
“Kenapa?”
“Masabi... lo....” gumam Bianca, tapi kata-katanya terputus saat Sabian tertawa kecil dan menjalankan mobilnya.
Mesin mobil itu menderu pelan, dan mereka meluncur ke jalan raya yang cukup senggang, tak seperti saat pagi atau sore hari. Perjalanan menuju sekolah adik-adik mereka tak terlalu jauh—hanya sekitar 15 menit dari rumah Bianca, melewati jalan-jalan besar dan beberapa persimpangan saja. Udara AC mobil yang sejuk membuat suasana di dalam kabin terasa nyaman, meski panas di luar masih mengintai seperti musuh tak terlihat.
Sepanjang jalan, Sabian bercerita tentang apa saja yang terjadi di rumahnya pagi ini. Di sisi lain, Bianca memilih fokus untuk terus menjadi pendengar sekaligus kawan bercerita yang baik, sembari menyeruput minumannya sesekali.
Memandang wajah tampan Sabian dengan begitu intens, membuatnya merasakan sisa rasa manis di lidahnya, dan entah mengapa, ingatannya melayang ke sedotan yang tengah ia gunakan. Apakah ini arti dari kedekatan yang lebih serius? Atau hanya kebiasaan Sabian yang cuek? Ia menggeleng pelan, menepis pikiran itu.
Berulang kali pipinya memanas, namun kembali normal berkat dinginnya suhu yag dihasilkan oleh AC. Akan tetapi, Bianca sama sekali tak dapat menyembunyikan tatapannya yang seakan memuja laki-laki yang tengah berada di sampingnya kini. Dan, Sabian terang saja mampu menyadari hal itu.
—
Setibanya di parkiran sekolah yang ramai, Sabian mematikan mesin dan melihat ke arah Bianca. Matanya penuh pertanyaan. “Kita turun bareng, atau gue aja yang jemput? Lo bisa nunggu di sini, kalau lo mau,” tanyanya. Nada bicara Sabian terdengar cukup hati-hati.
Namun, Bianca langsung menggeleng tegas. “Turun bareng aja. Kasihan elo bawa tiga kurcaci sendirian, Mas.” Ia membuka pintu, melangkah keluar dengan tas kecilnya yang berisi dompet dan ponsel. Udara panas langsung menyambutnya lagi, tapi kali ini terasa lebih ringan karena Sabian yang berjalan di sampingnya, dan tangannya sesekali bersentuhan lengan Bianca secara tak sengaja.
Halaman depan gerbang sekolah itu dipenuhi oleh para wali murid yang tengah menunggu. Suara klakson dari luar dan tawa anak-anak memenuhi udara. Bianca dan Sabian berdiri di pinggir gerbang, menyapu pandangan ke arah lapangan yang mulai dipenuhi anak-anak yang menghambur keluar seperti semut yang dilepaskan dari sarangnya. Seragam yang mereka kenakan praktis berkibar, dan tas ransel warna-warni bergoyang di punggung mereka.
Baik Sabian, maupun Bianca, keduanya sama-sama tengah mencari-cari wajah yang familier dari kejauhan; Alin dengan kuncir duanya yang khas, Acat si wajah dingin dengan rambut klimisnya, dan Cica yang selalu tampak paling aktif di antara ketiganya.
“Tuh, mereka!” seru Sabian tiba-tiba, matanya menyipit ke arah tiga sosok kecil yang berlari-lari di tengah kerumunan. Alin, Acat, dan Cica—mereka bertiga seperti tim kecil yang tak terpisahkan, meski Alin dan Acat adalah adik-adik Sabian, sementara Cica adalah milik Bianca. Hubungan mereka terkenal sangat dekat di dalam, dan di luar sekolah.
Serentak, Sabian dan Bianca melambaikan tangan ke atas, senyum lebar di wajah mereka. “Cica! Alin! Acat!” panggil Bianca, suaranya lembut tapi penuh semangat.
Ketiga anak itu langsung berhenti sejenak, mata mereka melebar saat melihat kakak-kakak mereka. Lalu, seperti panah yang dilepaskan, mereka berlari dengan semangat ke arah Sabian dan Bianca. Alin yang paling depan, loncat-loncat sambil berteriak, “Masabi! Masabi!”
Di belakangnya, Acat mengikuti dengan langkah lebih tenang, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Sementara itu, Cica, dengan tasnya yang hampir lepas, langsung memeluk pinggang Bianca begitu sampai.
“Cica….” Bianca membungkuk, membetulkan helaian rambut Cica yang tampak sedikit berantakan. “Hari ini kita pulang bareng Masabi, ya. Sama Alin dan Acat juga. Tapi sebelum pulang, kita mampir makan siang dulu. Mau?” tanya Bianca hati-hati.
Detik kemudian, Cica langsung mengangguk antusias, matanya berbinar. “Mau!” Ia melirik Sabian, yang sedang mengacak rambut Acat dengan kasar tapi penuh sayang.
Alin dan Acat hanya mesam-mesem, saling pandang dengan tatapan yang penuh makna. Seakan-akan mereka tengah membicarakan hubungan di antara Sabian dan Bianca, meski tanpa membuka mulut sedikit pun.
Namun, pada dasarnya, Alin sebagai adik kandung Sabian sudah merestui Bianca sejak awal. Oleh sebab itu, ia tak lagi memberi reaksi berlebihan seperti pada awal pertemuan mereka.
—-
Di parkiran, saat semuanya hendak menaiki mobil, Bianca dengan cepat berinisiatif untuk membukakan pintu depan bagi Alin. “Alin, sini duduk depan sama Kak Sab. Biar nyaman,” katanya ramah, meski hatinya sedikit ragu. Hanya saja, ia merasa tak pantas duduk di sebelah Sabian ketika ada Alin, adik kandungnya, yang lebih berhak.
Namun Alin, dengan suara khas anak-anak yang polos dan gestur yang manis, langsung menolak. “Nggak mauu! Alin lebih pilih duduk belakang bareng Acat dan Cica aja!” Ia menyeringai lebar, matanya nakal. “Mbak aja yang duduk di depan, di samping Masabi. Kayak... pacaran gitu.”
“Alin!” tegur Sabian seketika. Mendengar kata-kata adiknya, Sabian tersenyum ke arah Alin, menaik-turunkan kedua alisnya sebagai tanda bahwa ia bangga dengan pengertian si kecil itu. “Bagus, Lin. Kamu emang pinter!” timpalnya.
Saat itu juga, Bianca tertawa kikuk, pipinya memerah lagi. Meski tak mengatakan apapun, di dalam hati, ia bersyukur karena telah mendapat restu langsung dari adik Sabian. Duduk di depan berarti lebih dekat dengan Sabian, dan entah mengapa, itu membuat perjalanan terasa lebih istimewa.
Satu per satu dari mereka menaiki mobil Sabian. Pintu ditutup dengan suara klik yang nyaring, sebab Acat lah yang melakukannya. Namun, itu tak menjadi alasan bagi Sabian untuk menegurnya. Maklum, namanya juga anak-anak. Selang beberapa detik kemudian, Sabian menyalakan mesin, dan AC mulai berdengung, menyebarkan udara sejuk ke seluruh kabin. Di belakang, Acat, Alin, dan Cica sudah ribut memperebutkan arah udara dingin berembus.
“Diarahin ke atas aja!” protes Acat.
“Tapi Alin maunya diarahin ke bawah!” pekik Cica, membela Alin.
Namun, untungnya keributan itu tak berlangsung lama, berkat Acat yang pada akhirnya mengalah sebagai anak laki-laki.
Sabian melirik Bianca melalui kaca spion, seraya tersenyum. “Bi, buka dashboard. Casing baru buat HP lo ada di situ.”
Bianca mengerutkan dahi, tapi langsung membuka dashboard kecil di depannya. Di dalamnya, ada sebuah kotak yang dibungkus dengan plastik transparan. “Gue buka sekarang, nih?” tanyanya, terdengar polos.
“Iya. Buka aja,” jawab Sabian santai, matanya tetap fokus ke bahu jalan yang kini mulai ramai. Ketiga anak di belakang sontak mencondongkan badan mereka ke depan, kepala-kepala kecil itu hampir menyentuh bahu Bianca. “Apa itu, Masabi? Kasih apa buat Mbak Bi?” tanya Alin penasaran, tangannya meraih bahu kakaknya.
Bianca hanya terkekeh, membuka kotak itu perlahan-lahan. Di dalamnya, casing ponsel berwarna pastel pink dengan pola yang sama persis seperti milik Sabian dan Zaid, digambar dengan presisi seperti karya seni. “Wah... keren banget, Mas. Makasih ya.” Ia memegangnya, merasakan tekstur benda tersebut yang terasa nyaman di jari.
Lantas, ketiga anak di belakangnya langsung bersorak riuh. “Mau pegang!” seru Cica, matanya melebar. Acat, yang biasanya pendiam, ikut mengangguk. “Dipinjem sebentar, boleh nggak?”
Bianca, yang menyadari antusiasme mereka, langsung menyerahkan casing itu ke belakang supaya anak-anak dapat melihat lebih jelas. “Nih, hati-hati ya, mahal tuh–-pakai uangnya Masabi,” cicit Bianca, sengaja menekankan kalimat terakhirnya.
Lalu, tangan-tangan kecil milik Alin, Cica, dan Acat praktis berebut memegang, memuji betapa artistiknya benda itu. “Masabi, ini harganya berapa? Alin boleh nggak dibeliin juga?” kata Alin, sementara Acat menambahkan, “Acat juga mau.”
Sabian tertawa, tangannya menepuk setir pelan. “Bukan buat anak kecil,” kata Sabian, membuat kedua adiknya itu terdiam seketika.
Tak lama kemudian, mobil tiba di sebuah restoran cepat saji yang cukup terkenal dengan ayam tepung renyah dan saus kejunya. Lokasinya strategis, tepat di pinggir jalan raya, dengan parkiran luas yang dipenuhi mobil-mobil pengunjung lainnya.
Tanpa menunggu aba-aba dari Sabian, ketiga kurcaci itu langsung turun begitu mobil berhenti. Mereka berlarian ke dalam restoran, tawa mereka bergema di udara panas. “Duduk di mana!?” teriak Alin, memimpin rombongan. Kemudian, mereka memutuskan untuk memilih sebuah meja persegi panjang yang berada di sudut ruangan, yang menurut anak-anak itu paling nyaman karena dekat jendela dan punya pemandangan taman kecil di luar.
Sabian menyusul dengan langkah santai, tas kecilnya digantung di bahu. Sementara itu, Bianca memilih untuk langsung menuju counter pesanan. Ia tak pernah bertanya sebelumnya pada Sabian atau anak-anak, tapi seakan sudah mengetahui menu apa yang harus ia pesan untuk mereka.
Meski total pesanan itu cukup banyak, Bianca sendiri masih mampu mengatasinya. Akan tetapi, saat pembayaran hampir berlangsung, Sabian tiba-tiba muncul di sampingnya seperti hantu baik hati. Ia menyerahkan dompet kulit hitamnya begitu saja, tanpa sepatah kata pun.
“Mas...?” Bianca melongo, matanya melebar melihat dompet itu di tangannya. Sabian hanya mengedipkan mata, lalu berbalik pergi, meninggalkan Bianca sendirian di depan kasir yang praktis ikut mesam-mesem usai melihat adegan itu.
Bianca cepat-cepat tersadar, pipinya memanas karena malu. “M-maaf, bisa cash ya?” tanyanya pada penjaga kasir, dan orang itu mengangguk sembari tersenyum dengan ramah.
Usai membuat pesanan, dan melakukan pembayaran, Bianca akhirnya bisa ikut duduk bersama yang lain di sebuah meja yang terpilih. Ketiga anak kecil di hadapannya sudah tampak gelisah. Kaki mereka bergoyang-goyang di bawah meja. “Semuanya sabar ya…,” kata Bianca mencoba memberi pengertian.
“Iyaaaa!” pekik ketiga kurcaci itu.
Bianca mengembalikan dompet Sabian di hadapan adik-adik mereka, meletakkannya perlahan di depan pemiliknya. “Ini, Mas. Makasih ya.”
Kemudian, sang empunya langsung mengambil dompet itu, tapi matanya penuh penasaran. “Bisa kan pakai cash?” tanyanya memastikan, dengan nada bicara yang terdengar sedikit khawatir..
Bianca mengangguk, tersenyum tipis. “Bisa.”
Menjadi saksi momen itu, kontan saja membuat Alin, Acat, dan juga Cica cengangas-cengenges di hadapan Sabian dan Bianca. Mereka ikut salah tingkah, meski tak mengatakan apa-apa.
—
Cukup lama kelimanya menunggu—mungkin 10 menit yang terasa seperti satu jam bagi orang-orang yang tengah kelaparan. Suasana restoran ramai dengan keluarga lain, aroma ayam goreng yang gurih memenuhi udara, dicampur tawa dan obrolan. Sabian bercerita pada anak-anak tentang bagaimana ia dan Bianca saling mengenal pada awalnya. Dan, cerita itu, sedikit banyak sukses membuat mereka menahan rasa lapar mereka.
“Jadi, karena benda seremeh sepatu?” tanya Acat.
Sabian dan Bianca praktis manggut-manggut.
Alin dan Cica yang sejak awal mendengarkan dengan mata berbinar, tak dapat mengatupkan bibir mereka.
“Kayak di film-film ya, Lin?”
“Iya, Ca!”
Lalu, di tengah-tengah keasyikan bercerita itu, akhirnya nomor pesanan mereka dipanggil melalui speaker. Sebagai laki-laki dewasa, Sabian langsung bangkit, bersiap untuk pergi dan menjemput semua pesanan mereka sendirian. “Kalian semua tunggu sini, ya,” pamitnya.
Namun, Bianca tahu bahwa pesanan sebanyak itu tak mungkin mampu Sabian atasi sendirian. Lantas, ia ikut beranjak dari tempat duduknya. “Sama gue, Mas. Banyak banget, kalau sendiri nanti jatuh.”
Merasa bahwa apa yang Bianca katakan ada benarnya, Sabian hanya dapata mengangguk setuju sebagai jawabannya.
Mereka menuju counter pemesanan bersama-sama. Berjalan beriringan sambil sesekali tersenyum malu tatkala menatap satu sama lain. Di counter pemesanan, Bianca langsung memeriksa jumlah pesanan mereka, dan memastikan bahwa tiap-tiap menu yang disajikan sudah sesuai dengan apa yang tertera pada struk pembelian.
“Handal banget, udah biasa ya?”
Bianca tertawa pelan, mendengar pertanyaan Sabian. “Lumayan.”
Usai memastikan bahwa tak ada satu pun yang kurang dari pesanan mereka, Bianca dan Sabian langsung membawa makanan-makanan itu menuju meja mereka. Meletakkannya di atas meja, dan membiarkan aroma yang menggoda langsung membuat anak-anak bertepuk tangan.
kendati begitu, Bianca tak sekonyong-konyong membiarkan mereka untuk langsung menyantap makanan. Ia dengan tegas meminta ketiga anak di hadapannya itu untuk mencuci tangan terlebih dahulu. “Semuanya cuci tangan dulu! Kalu enggak, nanti sakit perut,” katanya, menginterupsi. Kebetulan, ia sudah melakukannya lebih dulu di wastafel dekat counter.
Sementara menunggu, Bianca mulai memisahkan daging ayam dari tulangnya, dan aksi itu ia mulai dari piring Cica terlebih dahulu. Ia melakukannya dengan telaten, jarinya lincah memotong bagian lunak agar mudah dimakan. Lalu giliran ayam milik Alin, kemudian milik Acat.
Sabian, yang sedang menyeka tangannya dengan tisu, menatap penasaran. “Kenapa lo pisahin dagingnya gitu, Bi?”
Bianca tersenyum, tak berhenti bekerja. “Selama ini gue emang selalu gini buat Cica. Supaya dia nggak kesusahan, nggak belepotan, dan makannya nggak lama-lama.”
Mendengar pengakuan itu, sontak membuat Sabian terkekeh, suaranya hangat. Lalu, dengan cepat, ia mendorong piring makannya ke arah Bianca. “Gue juga mau.”
“Hah?” Wajah Bianca memerah. “Sab... lo FOMO banget.” Meski berkata demikian, tapi ia tetap melakukannya, jarinya gemetar sedikit saat memotong ayam Sabian.
Namun, tak disangka-sangka, Sabian juga melakukan hal yang sama untuknya—memisahkan daging dari tulang di piring Bianca dengan gerakan cepat tapi hati-hati. “Gue akan pastiin lo dapet perhatian yang sama, Bi,” katanya pelan, matanya bertemu dengan mata Bianca sejenak, penuh makna. Bianca belum sempat salah tingkah sepenuhnya, ketiga kurcaci yang baru saja usai mencuci tangan kembali ke meja mereka. Alin dan Acat langsung saling tatap begitu melihat keadaan makanan milik mereka—daging sudah rapi dipisah, disusun cantik di tepian piring.
“Siapa yang pisahin daging dari tulangnya?” tanya Acat dengan nada datar, tapi matanya tampak hangat.
Takut kalau-kalau Acat kurang senang, Bianca langsung mengangkat tangan dengan gerakan yang sedikit canggung. “Aku. Acat gak suka ya??? Mau pesen yang baru?”
Alih-alih setuju akan tawaran itu, Acat justru langsung menggeleng dengan semangat, senyum tipisnya melebar. “Makasih ya, udah perhatian sama Acat juga....”
Dan, detik itu juga, Bianca dibuat tertegun dengan perasaan yang menghangat.