Apa yang Salah?

Ratu menyalakan televisi, sembari menunggu kedatangan Jeffrey. Tak ada hal lain yang ia lakukan dalam seharian ini selain merebahkan diri, mandi, memainkan ponsel, dan menonton. Wanita itu bahkan belum sempat menelan sesuap nasi pun sejak pagi tadi. Hanya sepotong roti tawar, yang dipadukan dengan kental manis rasa vanila untuk mengisi perut di pagi hari.

Sebenarnya, ada banyak sekali stok makanan instan di dalam kulkas. Tapi entah kenapa, Ratu merasa jika hari ini tenaganya terkuras habis tanpa sebab. Alhasil, kini lambungnya terasa sangat perih.

Ratu menoleh begitu mendengar suara pintu yang terbuka dari luar. Ia beranjak dari sofa dengan malas.

“Pucet banget? Abis donor darah apa gimana?” cetus Jeffrey begitu netranya bertemu dengan netra sang istri.

Ratu geming. Alih-alih menyambut Jeffrey dengan semangat seperti biasanya—Ratu memilih untuk melempar tubuhnya sendiri kedalam pelukan Jeffrey. Beruntung Jeffrey dengan sigap menangkap tubuhnya, kalau tidak Ratu pasti sudah mendarat sempurna pada lantai kotor yang belum sempat ia pel sejak kemarin sore.

“Kenapa sih? Gak panas, tapi kok lemes banget?”

Ratu hanya menggeleng, lalu memeluk tubuh Jeffrey semakin erat. Selanjutnya, ia membenamkan wajahnya kedalam ceruk leher milik Jeffrey.

Dengan spontan Jeffrey ikut mengeratkan pelukannya. Membiarkan Ratu menghirup aroma tubuhnya dengan serakah, sambil terus mengusap punggung istrinya itu.

“Aku bawa lidah sapi loh. Tadi siapa yang katanya mau makan lidah sapi?”

Jeffrey melepaskan pelukannya, kemudian mengarahkan tangannya untuk mengusap lembut pipi hingga tengkuk Ratu. “Belum makan, Ra?”

Ratu mengangguk lemas. “Dari pagi.”

Mata Jeffrey membola seketika. “Wah udah gila lo.”

Jeffrey menarik tangan Ratu, tidak kasar tapi menuntut. Dibawanya wanita itu kearah meja makan, dan mendudukkan Ratu pada sebuah kursi kayu yang terletak pada salah satu sisi meja tersebut. “Perasaan gue tuh gak pernah pelit soal apapun, apalagi makanan. Bisa-bisanya lo gak makan seharian, padahal posisinya lo istri gue!” ungkap Jeffrey geram, sembari menyendok nasi kedalam piring yang baru saja ia ambil dari rak.

“Nih, makan! Jangan kaya orang susah!” seru Jeffrey, sementara Ratu hanya diam membisu.

Merasa tindakannya sudah cukup, Jeffrey memilih untuk melepaskan dasi, dan ikat pinggangnya. Bersiap untuk membersihkan tubuh, setelah pulang kerja. Kaki yang awalnya sudah berjalan meninggalkan dapur itu, tiba-tiba saja berhenti, tatkala ia menyadari bahwa tak ada pergerakan sedikitpun dari sang istri. Jeffrey menoleh, alih-alih melahap makanannya, Ratu justru menatap Jeffrey dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

Menyadari hal itu, Jeffrey kembali berjalan kearah meja makan demi menghampiri Ratu.

“Heh? Liat aku.” Jeffrey mengangkat dagu Ratu menggunakan tangannya. “Kamu kenapa?”

“Gapapa.”

“Terus kenapa gak di makan?” kata Jeffrey, matanya mengarah pada makanan di hadapan Ratu.

“Aku mau makan bareng,” lirih Ratu.

Jeffrey mengunci tatapan Ratu , mencari tahu sebenarnya apa yang salah dari istrinya itu, malam ini. Namun nihil.

“Aku gak tau kamu kenapa. Aku cuman tau kalau hari ini kamu gak enak badan. Selebihnya? Aku gak tau—”

“Pulang-pulang disambut sama kamu yang mukanya pucet aja udah bikin aku gak enak hati, Ra. Ditambah lagi, tau kalau kamu belum makan sama sekali.” Jeffrey menghela nafasnya dengan berat.

“Aku buat salah ya?” imbuhnya.

Ratu menggeleng.

“Terus kenapa?”

“Aku cuman mau ditemenin.”

Alis Jeffrey bertaut, “Aku kan udah disini. Aku cuman mau mandi sebentar, Ra. Ya? Badan aku kotor, kan dari luar seharian.”

Ratu membuang pandangannya, entah kenapa sebelumnya, semua baik-baik saja. Tapi setelah laki-laki dihadapannya itu pulang, ia justru merasakan rindu yang luar biasa kepada Jeffrey.

Selanjutnya ia menghela nafas panjang. Sebisa mungkin, Ratu mencoba menormalkan perasaannya.

“Yaudah, sana mandi.”