Awal Baru, Kehidupan Baru
Di sudut ruangan yang remang-remang, denting bola biliar yang saling bertabrakan mengisi suara malam itu. Cahaya lampu neon di atas meja biliar memantulkan bayangan samar pada wajah Sabian, yang tengah memusatkan pandangannya pada bola strip dengan angka 14. Tangan kanannya memegang stik dengan mantap, jari-jarinya menyesuaikan posisi dengan penuh perhitungan.
Di sisi lain meja, ada Zaid yang tengah berdiri santai—bersandar pada dinding ruangan yang terasa begitu dingin berkat suhu rendah yang dihasilkan AC. Segelas es teh dingin, berkeringat di tangannya, dan sesekali ia menyeruputnya sambil memperhatikan Sabian dengan senyum kecil yang penuh makna. “Lelet banget, Bi. Bidiknya yang bener, jangan cuma gaya,” ujar Zaid, nada suaranya penuh ejekan ringan yang sudah menjadi ciri khas persahabatan mereka.
Sabian tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, lalu dengan gerakan presisi ia melepaskan pukulan. Bola angka 14 itu meluncur cepat, menghantam tepi meja sebelum akhirnya masuk ke lubang sudut dengan suara benturan yang memuaskan telinga. Sabian berdiri tegak, menyandarkan stik ke bahunya seperti pemenang kecil, namun tatkala ia menoleh, bola berwarna putih tak sengaja ikut terjun ke dalam lubang.
“Sialan!” seru Sabian, secara spontan.
Zaid tertawa kecil, menyeruput segelas es teh-nya, sebelum meletakkan gelas itu di atas sebuah meja kaca kecil yang berada tak jauh darinya. Ia bangkit, meraih stik biliarnya sendiri—kini giliran Zaid yang memukul bola solid.
Akan tetapi, sebelum fokus membidik, mulutnya sudah lebih dulu bergerak, membuka topik pembicaraan yang sepertinya sudah ia rencanakan sejak beberapa saat lalu.“Eh, ngomong-ngomong, apa kabar tuh, sepupunya Cudil?” tanya Zaid, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.
Sabian, yang baru saja akan mengambil gelas es teh miliknya, langsung terdiam sejenak, lalu menatap Zaid dengan ekspresi yang sulit diartikan—antara kesal, malu, dan sedikit senang begitu topik pembicaraan ini diangkat naik ke permukaan.
“Biasa aja. Tadi sore sempet chat-an lagi... sedikit,” jawab Sabian, berusaha terdengar santai.
Usai mengatakan itu, Sabian baru mengangkat gelasnya dan meneguk kecil—segelas es teh-nya. Rasa manis dan dingin dari teh itu menyegarkan tenggorokan Sabian, tapi tak cukup untuk menutupi kegugupan yang mulai merayap di dadanya.
Zaid, dengan insting teman lama, tahu ada sesuatu di balik nada datar itu. Ia tak akan melewatkan kesempatan untuk mengorek lebih dalam.
“Dibales, dong, chat lo yang najisin itu?” tanya Zaid, sengaja mengungkit perihal pesan menggoda yang sempat Sabian kirimkan pada Bianca, kemudian Sabian mengangguk. “Terus kalian jadi ketemuan? Besok??” Zaid membungkuk, memposisikan stik di tangannya, tapi matanya tetap tertuju pada Sabian, menunggu jawaban dengan penuh antisipasi.
Sabian berdeham, meletakkan gelasnya kembali, lalu bersandar pada tepi meja biliar. “Iya, jadi. Tapi gue pikir, kayaknya itu bakal jadi pertemuan terakhir kami.”
“Kenapa!?” Zaid melepaskan pukulan, tapi bola yang ia bidik hanya menggelinding pelan tanpa masuk ke dalam lubang. Ia menggerutu setelahnya, lalu berdiri tegak dan menatap Sabian lagi. “Ada apa gerangan, Bi? Bukannya udah mulai ada benih-benih pendekatan di antara kalian?”
Sabian mengusap wajahnya dengan tangan, seolah ingin menghapus ingatan tentang peristiwa bodoh yang terjadi saat pesta perayaan ulang tahun Alin.
“Kelakuan Acat tempo hari itu, cukup bikin gue malu parah. Bianca juga keliatan canggung dan kurang nyaman... ya walaupun setelah itu, kita udah chatan lagi.”
Zaid mengangguk paham atas apa yang dirasakan oleh Sabian. “Tapi ya udah, sih? Gitu, doang. Kenapa kejadian itu sampai bikin pertemuan lo sama Bianca berakhir?” timpalnya.
“Lo tau, kan, Id? Sejak kenal Ajeng, gue sadar kalau gue ini gampang jatuh cinta. Sejak gagal sama Ajeng, gue mulai takut. Deket sama perempuan suka bikin gue ngerasa cemas buat hal-hal yang belum terjadi. Jatuh cinta sama orang, bisa bikin gue ngelakuin apa aja. Hal gila sekalipun. Gue takut ngulang kesalahan yang sama lagi. Ke nyokap gue, ke bokap gue, bahkan... ke lo. Menurut gue, jauh dari kehidupan percintaan selama bertahun-tahun belakangan ini rasanya tenang. Hubungan gue sama orang-orang terdekat gue berjalan baik. Dan, yang paling penting kesehatan mental gue aman. Tapi...,” Sabian menarik napas dalam-dalam. “Bianca... sepupunya Cudil ini caper banget dan semua kebetulan di antara gue sama dia ini sialan banget. Akhir-akhir ini rasanya satu dunia gue isinya dia doang. Apalagi semenjak pulang ke Jakarta. Ngelakuin interaksi sesering ini sama perempuan yang jelas-jelas tertarik sama gue, lumayan bikin gue takut. Gimana kalo gue... em—dia mulai... menarik(?)”
Sabian diam sejenak. Stik biliar di tangannya terasa dingin, dan ia menatap bola-bola di atas meja, seolah-olah tengah mencari jawaban di sana. Setelah beberapa detik, ia berkata pelan, “Konyolnya lagi, nama dia banyak disebut-sebut orang di sekitar gue. Lo, nyokap gue, Alin, Acat, bahkan hampir semua keluarga gue! Telinga gue panas! Kayak… itu terlalu menyenangkan buat jadi kenyataan. Apalagi sejak acara ulang tahun Alin itu, nyokap gue nggak berhenti bahas soal dia dan keluarganya.”
Zaid mengerutkan kening, penasaran. “Emangnya Tante Ratu bilang apa?” Itu menjadi satu-satunya pertanyaan yang keluar dari mulut Zaid, usai ia mendengar keluh kesah Sabian.
Sabian membungkukkan tubuh lagi, lalu mulai membidik bola strip selanjutnya. Sembari fokus pada ujung stik, ia bercerita dengan nada yang lebih rileks. “Nyokap gue bilang, dia kenal keluarga Bianca, terutama bundanya. Mereka deket karena rapat orang tua di sekolah Alin, yang bahas tentang rencana liburan murid. Singkat cerita, nyokap gue nolak ide perjalanan itu demi kebaikan anak-anak, dan yap! Cuman bundanya Bianca yang dukung. Intinya mereka sama-sama punya visi buat ngelindungin anak-anak. Dari situ mereka jadi akrab, sampai Alin sama Cica—adiknya Bianca—juga jadi temen.”
Bola angka 15 berhasil Sabian masukkan ke dalam lubang. Namun, Zaid tak memberi reaksi apapun untuk itu. Ia malah fokus mendengarkan cerita Sabian dengan antusias, dan sesekali mengangguk.
“Terus?” kata Zaid.
“Terus, abis ceritain itu, nyokap gue tiba-tiba bilang, ‘Bi, Mama yakin Bianca ini anak baik. Bukan tipikal yang akan bikin kamu jauh dari keluarga.’ Denger dia ngomong gitu, wajar, kan, kalo gue kaget? Lo tau sendiri, waktu gue sama Ajeng dulu, nggak ada satu orang pun yang dukung gue. Dulu gue kayak nggak punya siapapun yang ngerti sama perasaan gue. Tapi sekarang? Nyokap gue sendiri yang malah kasih dorongan.”
Zaid tersenyum kecil, mulai mengerti konsep kekacauan batin temannya itu. “Jadi lo ngerasa aneh karena tiba-tiba ada harapan baru?”
“Iya,” Sabian menjawab cepat. “Gue takut, Id. Takut kalau harapan ini cuma bikin gue jatuh lagi. Gue sama Bianca emang baru di tahap kenal, sih. Tapi kalau dia suka gue, gue suka dia, dan satu dunia dukung kami berdua. Menurut lo apa yang akan terjadi? Ya, bener! Kita pacaran! Terus? Masalah baru pasti dateng lagi. Iya, kan, Id? Hidup ini ibarat ikut Ninja Warrior.”
Lalu tawa Zaid pecah seketika. Ia merasa lucu dan sedikit terharu. Pasalnya, berbeda dengan saat pertama kali Sabian jatuh cinta, kini Sabian jauh lebih terbuka kepadanya. Dan, hal itu membuat Zaid merasa sangat dihargai sebagai seorang sahabat.
Zaid berjalan demi meraih segelas es teh-nya yang sudah semakin berkeringat dari sebelumnya. “Bi, denger gue. Ketakutan lo wajar, tapi lo nggak bisa terus takut sama sesuatu yang belum terjadi. Gue tau lo mungkin trauma sama Ajeng... tapi, waktu itu usia lo emang belum cukup buat cinta-cintaan. Kesalahan-kesalahan yang lo lakuin waktu itu, ya, karena lo masih muda dan tolol aja. Sekarang, lo udah jauh lebih dewasa. Menurut gue, mungkin udah saatnya lo bertindak kayak laki-laki pada umumnya. Kalo lo emang mulai suka, deketin dia beneran. Bukan cuman ngasih umpan-umpan menajiskan kayak terakhir kali. Ambil langkah yang pasti. Saling jatuh cinta atau menjauh dan jadi single sampai mati. Pilih salah satu, jangan nanggung!”
Mendengar penuturan Zaid, Sabian tertawa kecil, namun ada nada gugup yang tertinggal di sana. Ia kembali memposisikan stik, lalu membidik bola terakhirnya di atas meja. Bola angka 8.
“Kalau bola ini masuk, gue pilih opsi pertama,” kata Sabian, seraya memicingkan mata.
“Oke.” Zaid mengangkat gelasnya, seolah bersulang. “Selamat menempuh hidup baru, Sabian!” serunya.
Lalu, tatkala Sabian melepaskan pukulan terakhir, bola berangka 8 itu menggelinding sebelum akhirnya masuk sempurna.
Kalimat terakhir Zaid, akan segera menjadi kenyataan. Besok adalah awal yang baru, bagi kehidupan baru seorang Sabian.