Awal Segalanya
Ratu meletakkan ponselnya, sesaat setelah melihat galeri dalam benda pipih tersebut. Ia tersenyum getir, mengingat hanya sedikit potret Bundanya yang tersimpan disana.
Gadis itu memijat pelipisnya. Sedikit pusing, karena menangis semalaman.
Suasana rumahnya menjadi lebih sepi dari biasanya. Ia menuruni ranjang, dan berjalan menuju sebuah kamar mandi yang berada di luar kamar tidurnya.
“Bunda?” ucap Ratu dengan nada lirih.
Mata Ratu menatap kosong ke dalam kamar mandi tersebut. Konyol batinnya, sebuah lantai yang dingin, lembab, serta berair itu mampu merenggut nyawa Bunda dalam semalam—satu-satunya keluarga yang tersisa dalam hidupnya, setelah kematian Ayah 12 tahun silam.
Kala Ayahnya meninggal karena kecelakaan maut yang disebabkan oleh supir bus, Ratu selalu menangis dalam pelukan Bunda, setiap malam. Lalu bagaimana dengan hari ini? Bagaimana dengan esok, lusa, dan seterusnya?
Rasanya baru kemarin ia mengajak Bunda untuk makan malam bersama seseorang yang sejak 2 tahun kebelakang, namanya terus ia simpan di hati.
Belum sempat Ratu mengatakan alasan dibalik rencana makan malam itu. Belum sempat Ratu berterima kasih atas jerih payah Bunda karna telah menyaksikannya beranjak dewasa.
Jantung gadis itu berdegup kian kencang. Perlahan Ratu melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi. Ia bersimpuh seperti saat terakhir kali melihat tubuh Bundanya.
Tubuh Ratu bergetar hebat. Isak tangis hingga raungan pun lolos dari mulutnya. Sesak.
Muncul sebuah ide gila di kepalanya. Gadis yang penampilannya kini telah berantakan itu tertawa dengan lantang.
Bunda satu-satunya keluarga yang aku punya, tapi kenapa Tuhan ambil?
Gak pernah ada sedikitpun bayangan di kepala aku, kalau Bunda bakal pergi duluan, nyusul kaya Ayah. Waktu Ayah pergi, aku kuat karna ada Bunda. Sekarang gimana? Harus apa?
Bun, Lea tetep ada di dunia ini, itu karna Bunda. Tapi kalau sekarang Bunda ninggalin aku juga ... mending aku ikut mati aja.
Detik kemudian, darah segar mengalir dari pelipisnya, sesaat setelah gadis itu membenturkan kepalanya pada lantai kamar mandi dengan keras. Mengabaikan seseorang yang tengah memanggil-manggil namanya.
“RATU!” Nafas Jeffrey tercekat tatkala ia menemukan Ratu yang tengah bersimpuh di dalam kamar mandi.
Beberapa menit yang lalu, ketika mobilnya memasuki pekarangan rumah gadis itu, Jeffrey mampu mendengar tangisan Ratu dengan jelas. Ia berlari memasuki rumah, dan mendapati gadis itu tengah bersimpuh di dalam kamar mandi.
“LO GILA YA!? BANGUN!” seru Jeffrey sembari menarik kasar tubuh Ratu. Sementara sang empu hanya tersenyum menatap laki-laki itu.
“Bagus, sekarang aku malah ngehaluin Jeffrey Bun.” Lirihnya.
Jeffrey membawa tubuh Ratu keluar dari kamar mandi, dan menjatuhkannya ke atas ranjang dengan kesal. Wajahnya memerah. “TOLOL! LO TAU TOLOL GAK RA?! Dimana sih akal lo Ra?!” hardik Jeffrey.
Kemudian ia memeluk tubuh Ratu dengan posesif. Jeffrey marah atas apa yang telah gadis itu lakukan, namun perasaan takut akan kehilangan jauh lebih besar dibandingkan amarahnya.
Ratu meringis, ia tertawa lirih. “Ini beneran Jeffrey ya?”
Jeffrey geming.
“Jeff ... gue cuman ... cuman gak mau sendirian ... .” ucap Ratu dengan lirih.
“Gue ada disini Ra. Gue janji bakal selalu ada buat lo, tanpa lo minta.”
Ratu tersenyum dalam pelukan laki-laki itu, meski air matanya terus bercucuran. “Nanti lo pasti ninggalin gue, kok.”
Mendengar perkataan itu, Jeffrey melepas pelukannya. Ia mengepal tangan Ratu kuat-kuat, dan mengunci pandangan gadis itu.
“Dengerin Ra! Gue gak akan kemana-mana. Gue cuman buat lo. Gak perduli suatu saat nanti bakal ada orang yang nyuruh gue ninggalin lo, gue akan tetep ada di tempat gue Ra. Disebelah lo. Sekalipun orang itu keluarga gue sendiri.”
“Jadi tolong ... jangan ngelakuin hal-hal tolol kaya gini lagi Ra. Gue mohon. Karna ... gue takut kehilangan lo.”
Ratu memeluk tubuh Jeffrey seketika. Menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher laki-laki itu.
“Makasih, Jeff.”
“Bersihin lukanya yuk? Apa mau ke rumah sakit aja?” tanya Jeffrey sembari membalas pelukan Ratu. Ia mengeratkan pelukan, kemudian menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri—menyalurkan perasaan nyaman untuk gadis dalam dekapannya itu. Dan, sesekali Jeffreyan mengecup lembut pucuk kepala Ratu.
“Gak usah, lo obatin aja ... .”