Bekal Makan Siang
Jeffrey menatap layar ponselnya dengan wajah geram. Sekitar beberapa jam yang lalu, Ratu menelponnya. Kata wanita itu saat di telpon, ia akan datang, dan membawa sesuatu untuk mereka makan sama-sama. Tapi sampai detik ini batang hidung Ratu belum juga kelihatan.
Sebenarnya rencana Jeffrey hari ini cukup padat. Kalau bukan demi menjaga hati sang istri, mungkin ia akan menolak mentah-mentah ajakan Ratu. Dan sekarang, hampir satu jam lamanya Jeffrey tidak melakukan apa-apa. Hanya menatap pantulan wajahnya pada jendela kaca yang mengarah langsung ke gedung-gedung tinggi lainnya di Ibu Kota.
Jeffrey menghela nafas. Sempat terlintas dalam benaknya untuk pergi dan melakukan pertemuan penting dengan salah seorang klien. Tapi kalau diingat-ingat, ia sudah sangat belaga dan seenak jidatnya menyuruh Yudhis membatalkan jadwal pertemuan penting tersebut. Agaknya kalau ia lagi-lagi berubah pikiran, Yudhis pasti mengoceh tak karuan, sebab merasa dipermainkan.
Oke, baiklah. Akhirnya Jeffrey memutuskan untuk pasrah. Melewatkan pertemuan penting dan makan siangnya secara bersamaan hanya karena ibu satu anak yang menyandang status sebagai istrinya itu sulit dihubungi.
Niat hati ingin kembali bekerja, tapi pintu ruangannya tiba-tiba saja terbuka. Menampilkan sosok wanita ramping, dengan rambut yang dikuncir asal-asalan namun menambah kesan seksi karena rahangnya terekspos secara nyata. Jeffrey melongong. Matanya membola seketika dan tak lupa kedua tangannya ada di depan mulut. Seolah tak menyangka dengan sesuatu di hadapannya.
“Sayang!” sapa Jeffrey.
Ia sekonyong-konyong merentangkan tangan, dan berlari memeluk Ratu yang baru saja datang.
Rasa kesal yang sempat melanda hati Jeffrey itu seketika menghilang entah ke mana. Yah, suasana hatinya langsung berubah seketika. Masa bodo soal klien, masa bodo soal keterlambatan makan siangnya. Yang jelas, saat ini Jeffrey hanya ingin bergelendot pada tubuh istrinya—persis seperti bayi kukang menggelendoti batang pohon.
Sementara itu, tepat di belakang mereka berdua ada Yudhis yang mendecih tak senang. Melihat atasannya pamer kemesraan dengan sang istri, tentu saja membuat batin Yudhis meronta-ronta. Ia bahkan belum sempat memeluk istrinya sendiri pagi ini.
Si najis! Kurang lebih begitu batinnya.
Dan, detik kemudian. Seolah mampu mendengar umpatan batin Yudhis—Jeffrey melepaskan pelukannya pada Ratu. Ditatapnya Yudhis dengan ekspresi datar. “Lo gak ada niat buat ke luar dari ruangan gue, Yud? Muka lo ganggu banget, serius.” Tentu saja setelahnya Yudhis langsung pergi dan menutup pintu dengan kasar.
“Aku agak kelamaan, ya?”
“APA? AGAK?!”
Susah payah Jeffrey menarik sudut bibirnya. Ia kembali ingat akan hal yang beberapa saat lalu membuatnya kesal setengah mati. Tapi, lagi. Jeffrey mana berani mengambil tindakan serius untuk memarahi Ratu? Itu mungkin hanya aakan terjadi jika di dalam mimpi.
“Iya, aku agak kelaperan,” kata Jeffrey. Sengaja menggunakan kata yang sama, untuk menyindir istrinya, namun nihil. Alih-alih tersindir, Ratu malah menarik tangan Jeffrey. Menuntunnya untuk duduk di sofa yang memang di sediakan dalam ruangan tersebut.
“Aku sebenernya gak masak makanan berat, sih ... cuman kue balok lumer.”
Tuhan, apa lagi ini? Jeffrey mengelus dadanya sembari melayangkan tatapan nanar. Bahkan setelah menunggu begitu lama, ia masih harus dikecewakan? Keterlaluan! Rasanya Jeffrey ingin mengumpat meski hanya sekali saja tepat di depan wajah Ratu. MANA NASINYA?!
Tapi seolah tidak dapat menilai kondisi sekitar, dengan polosnya Ratu menyodorkan kue itu di depan mulut Jeffrey. Mulutnya sendiri sambil menganga, memberi Jeffrey isyarat agar ikut membuka mulut. Lantas mau tidak mau, lagi-lagi Jeffrey harus meredam kekesalannya.
Gak masalah. Ini sama ngenyanginnya sama nasi, Jeff.
Namun ketika satu gigitan lolos, lava coklat muncrat begitu saja. Dan, demi seluruh alam semesta kali ini Jeffrey tidak tahan lagi. Dikunyahnya kue yang sudah terlanjur bertengger di dalam mulut itu secepat kilat. Ia ingin segera menghujani Ratu dengan berbagai macam kalimat-kalimat umpatan setelahnya. Namun, jemari lentik istrinya itu lebih dahulu mendarat pada dua belah bibir yang sempat ternodai dengan lava coklat.
Dengan telaten Ratu menyeka bibir Jeffrey sambil tersenyum. Entahlah, mungkin karena wajah Jeffrey yang terlanjur memerah akibat kesal itu seolah menjadi hiburan untuknya.
Satu detik, lima detik, dan seterusnya kegiatan Ratu membersihkan bibir Jeffrey tak kunjung selesai. Sementara Jeffrey yang kini menatap wajah Ratu dari jarak sedekat itu pun mulai terbawa suasana. Jantungnya berdegup kencang. Jeffrey bahkan lupa mengedipkan matanya barang sejenak.
“Makannya tuh pel—”
Kalimat Ratu menggantung di udara kala Jeffrey mencengkeram erat tangan yang sebelumnya sibuk membersihkan bibir Jeffrey.
“Mas, kenapa? Kamu marah?” tanya Ratu penasaran dengan ekspresi Jeffrey.
Di sisi lain mata Jeffrey tidak lagi diam. Semakin turun, dan perlahan menyapu setiap inci wajah istrinya itu hingga ke bagian dada.
Bibir merah muda alami, mirip dengan buah persik Jepang yang tempo hari ia makan. Leher putih yang seakan-akan menariknya untuk membenamkan wajah di sana. Serta, dada putih yang sedikit terekspos karena model pakaian yang Ratu kenakan saat ini, rasa-rasanya bukanlah sebuah kebetulan.
Ratu sengaja?
Perlahan-lahan Jeffrey mencondongkan tubuhnya. Menyatukan bibir mereka dalam keheningan. Tak ada penolakan. Jeffrey tersenyum ditengah-tengah kegiatan bercumbunya.
Dengan lembut Jeffrey menyingkirkan anak rambut dari wajah Ratu. Tangan lainnya kini mendarat tepat di pinggang sang istri. Hanya perlu sedikit usaha sampai akhirnya Ratu kini duduk di atas pangkuan Jeffrey dengan nyaman.
Kelopak mata Ratu terpejam sesaat. Ia juga menikmati alurnya. Ada sisa rasa manis pada bibir Jeffrey saat ini, membuat Ratu sedikit kecanduan.
Tangan Jeffrey menelusuri permukaan punggung Ratu yang memang tidak tertutup oleh pakaiannya.Hangat.
Pagutan bibir mereka semakin intens, hingga napas Ratu tersengal-sengal dibuatnya.
Ratu mengerang. Dipukulnya berkali-kali bahu Jeffrey, sebab stok napasnya sudah habis.
“Aku makan kamu aja boleh gak, sih?” tanya Jeffrey seketika. Merasa perbuatannya kali ini masih kurang.
Oke, ini gila! Mereka ada di kantor!
Jeffrey menautkan kedua alisnya. “Kok gak jawab?”
Ratu menggeleng. Ia tahu ini salah. Bagaimana kalau tiba-tiba saja ada karyawan yang masuk?
“Kita lagi di kantor, kalau kamu lupa.”
“Kita bisa pakai kamar.”
Ah iya, Ratu melupakan sesuatu yang penting. Ada sebuah kamar kecil di dalam ruangan Jeffrey. Kamar yang dulunya sering mereka gunakan untuk istirahat saat musim lembur tiba. Tapi tetap saja ini terlalu beresiko. Apalagi kalau mengingat waktu bercinta Jeffrey tidaklah singkat.
“Gak bisa, Mas. Nanti aja di rumah....,” bujuk Ratu memelas. Tapi itu sama sekali tidak mempengaruhi Jeffrey.
Here we go! Bibirnya mengerucut, wajahnya kusut, serta alisnya terus saja bertaut. Siapa lagi kalau bukan 'Jeffrey yang merajuk?'
“Gini aja, cium aku sekali lagi.”
Kemudian tanpa pikir panjang, dan dengan sedikit minat yang masih tersisa, Jeffrey kembali memompa semangatnya. Meraup bibir Ratu dengan sangat rakus, dan mengabsen gigi istrinya itu satu per satu, hingga sebuah desah lirih lolos dari mulutnya. Kegiatan yang berlangsung selama bermenit-menit itu sukses membuat peluh mereka bercucuran meski di ruangan ber-AC. Anggaplah Jeffrey gila. Bahkan hanya sekedar ciuman penuh gairah mampu menghancurkan penampilan Ratu siang itu. Beruntung akal sehatnya masih sedikit berfungsi. Jeffrey sengaja tidak meninggalkan bekas apapun pada tengkuk hingga bahu Ratu.
Kemudian, saat dirasa sudah cukup melakukan ciuman panasnya, Ratu beranjak dari pangkuan Jeffrey sambil beringsut ketakutan.
“Udah, udah!”
“Sumpah buru-buru banget?!” kata Jeffrey tidak terima.
“APA? BURU-BURU APANYA?! AKU UDAH LAMA YA DUDUK DI SANA!” seru Ratu, sembari menunjuk sesuatu yang sepertinya sudah terbangun sejak beberapa menit yang lalu.
Ratu merinding sendirian saat tak sengeja membayangkan benda itu berhasil keluar, dan mereka melakukan kegiatan erotis di dalam kantor, persis seperti cerita-cerita yang sempat ia baca saat masih belia.
Sontak Jeffrey terbahak. Ekspresi panik Ratu sedikit menggelitik perutnya.
“Yaudah, sana pulang. Dianterin sama Yudhis, ya? Aku mau ngurus yang ini.” Jeffrey melirik ke bawah sepersekian detik, dan tentu saja Ratu paham apa maksudnya.
Selanjutnya Ratu mengangguk mantap. Namun sebelum pergi meninggalkan Jeffrey, ia lebih dulu mendekat. Sengaja mengecup bibir Jeffrey dengan singkat. “Pulang cepet, ya,” kata Ratu, diakhri dengan sebuah sentuhan sensual yang dimulai dari dada, dan terus terun hingga menyentuh sesuatu.
“RATU?!”