Bertemu

Sabian melangkah lebar dengan kakinya yang panjang. Sepatu kulit yang tengah ia pakai mengeluarkan suara 'tap-tap' acapkali menyentuh trotoar yang basah oleh sisa hujan beberapa saat lalu. Udara malam terasa dingin, tapi ia tampak tak begitu terganggu. Jaket hitamnya yang sedikit basah berkat tetesan air hujan dari dedaunan di atas pohon hanya ia lap sekilas menggunakan tangan. Ia sengaja memilih untuk berjalan kaki pasalnya, tempat yang ia tuju berada tak jauh dari rumah.

Saat sudah hampir sampai, Sabian menghentikan langkahnya sejenak. Netranya menatap lurus ke depan, ke arah kafe kecil di seberangnya. Sabian menghela napas panjang lalu ia masukkan kedua tangannya ke dalam saku. Dalam diam ia berharap, semoga pertemuannya dengan seorang perempuan kali ini tak berakhir buruk nantinya.

Jujur saja, menurut Sabian, permintaan Bianca ini adalah gangguan kecil di tengah rutinitasnya yang teratur. Akan tetapi, ia memilih untuk tetap datang—karena ingin menghargai usaha perempuan itu, dan kebetulan ia tak punya alasan kuat untuk melakukan penolakan kesekian kalinya. Sabian merasa bahwa apa yang sempat Zaid katakan, ada benarnya. Ia sudah terlalu menutup diri, hanya karena seseorang dari masa lalu.


Di dalam kafe, Bianca sudah duduk di sudut dekat jendela, tangannya memainkan ujung gelas kopi yang tampaknya belum ia minum sama sekali.

Rambutnya yang panjang dan sedikit bergelombang, jatuh ke samping bahu. Sementara itu, matanya membola tatkala ia melihat eksistensi Sabian dari balik pintu masuk. Secara spontan Bianca melambaikan tangannya, kemudian Sabian hanya mengangguk singkat sebagai respons. Laki-laki itu berjalan mendekat, menarik kursi di hadapan Bianca dengan gerakan kaku, lalu duduk tanpa banyak kata.

“Makasih, ya, udah mau dateng,” ujar Bianca, suaranya lembut tapi ada nada gugup yang tak bisa ia sembunyikan di sana. “Mau pesen minum apa?”

Sabian hanya mengangkat bahu sedikit, dan tersenyum singkat. “Nanti aja, gue bisa pesen sendiri.” Ia berkata demikian dan raut wajahnya tampak sangat menjelaskan bahwa ia tak berniat lama-lama berada di dalam kafe itu.

Mendapat respons seadanya seperti barusan, membuat Bianca praktis mencebikkan bibirnya sesaat. Ada setitik rasa kekecewaan di hatinya, namun, ia berusaha untuk tetap ramah. “Oh, ya, kenalin nama gue Bianca. Lo nggak perlu kenalin diri lo, kalau lo males—karna gue udah tau.”

Sabian menumpuk salah satu kakinya, di atas kaki yang lain sembari manggut-manggut.

“Sebenernya gue ngajak ketemu karna mau bilang makasih banyak atas bantuan lo malem itu, dan maaf karna udah ngerepotin lo, secara langsung...,” tutur Bianca.

Detik kemudian, Sabian mencondongkan tubuhnya ke depan. “Sama-sama. Tapi menurut gue, lo nggak perlu minta maaf,”

Bianca tersenyum. “Anyway, setelah malem itu... keadaan lo gimana? Soalnya, seinget gue, lo luka parah. Tapi, gue nggak dapet kabar apapun tentang lo. Pihak kepolisian juga... kayaknya nemuin kita secara terpisah, ya?” katanya, berusaha membuka topik obrolan baru.

“Sudirman nggak cerita?”

Bianca mendelik, “Lo udah tau kalo gue sama dia sodaraan?”

“Tau, dia ngaku.” Sabian menarik sudut bibirnya, teringat betapa konyolnya pengakuan kawannya itu beberapa hari lalu. “Setelah malem itu, gue ada di rumah sakit. Tapi untungnya nggak ada luka yang serius, dan gue cepet pulih,” sambungnya.

“Astaga... gue minta maaf.”

“Nggak masalah.”

“Gue bakal ganti biaya yang udah lo keluarin selama di rumah sakit.”

Sabian mengangkat sebelah alisnya. “Nggak usah.” Ia kemudian terkekeh. “Gue emang nolongin lo, tapi gue masuk rumah sakit bukan karna lo. Lagian, biaya rumah sakitnya juga nggak seberapa.”

Bianca paham betul maksud Sabian, namun, ia sudah terlanjur menerima pertolongan Sabian waktu itu dengan rasa terima kasih yang berlebihan. Ia kesulitan melupakannya. Ada sesuatu pada diri Sabian yang membuatnya penasaran, ingin kenal, dan lebih dekat dengat dalih berterima kasih seperti yang baru saja ia lakukan.

Kini, Bianca menatap Sabian yang tengah duduk di hadapannya, mencoba mencari celah untuk memulai percakapan lebih jauh. “Hmm... jadi di antara kita cuman ada sepatu, ya?”

“Maksudnya?”

“Eh... maksudnya, gue cuman perlu kembaliin sepatu lo....”

Untuk kedua kalinya Sabian hanya manggut-manggut, dengan ibu jari dan telunjuk yang menyanggah dagunya.

“Tapi ukuran sepatu lo betulan segitu?” tanya Bianca, terus berusaha mengembangkan topik pembicaraan mereka.

Mendengar itu, Sabian memasang raut wajah tak percaya. “Kalau lo sendiri masih belum yakin sepatu itu punya gue, kenapa sampai seniat ini—ngajak ketemuan?” jawabnya singkat, nadanya datar seperti tengah membaca daftar belanjaan.

Bianca tersenyum kecil, tangannya memutar gelas kopi di meja. Misinya sukses. “Siapa yang bilang kalau gue nggak yakin?”

“Terus kenapa nanya kayak barusan?”

“Buat gue lucu. Ukuran kaki kita sama.”

Sabian hanya mendengkus pelan, tatapannya beralih ke jendela. “Apanya yang lucu? Kaki lo sama besarnya sama kaki cowok.”

Bianca tertawa kecil, suaranya renyah di tengah suasana kafe yang sepi. “Bagus, dong? Suatu saat nanti, gue jadi bisa minjem sepatu lo lagi.” Ia berkata begitu tanpa malu, matanya berbinar penuh minat.

Sementara Sabian hanya meliriknya sekilas, tak menunjukkan reaksi apa pun, tapi di dalam hatinya ia merasa sedikit terusik. Bianca terlalu terbuka, terlalu hangat—bertentangan dengan dirinya yang ingin selalu membuat jarak.

Tiba-tiba saja, ponsel Sabian yang tergeletak di atas meja, berdering. Getarannya memecah keheningan sesaat yang sempat merayap di antara mereka. Sabian mengambil ponsel itu dengan gerakan lambat, melirik layarnya sebelum mengangkat. “Halo.” Suaranya terdengar begitu bersahabat. Berbeda saat ia tengah berbicara dengan Bianca beberapa lalu.

Bianca memperhatikan Sabian dalam diam. Mencoba menebak siapa gerangan yang tengah menelepon. Ia menduga itu temannya. Mungkin Sabian mempunyai janji lain malam ini, batinnya.

Lantas, dengan begitu santai, ia berkata, “Kalau lo ada janji sama temen, nggak apa-apa, kok. Udah nggak ada yang mau gue omongin.” Bianca tak ingin menyita waktu Sabian bersama temannya. Ia merasa tak pantas.

Namun, Sabian menggeleng pelan, lalu kembali bicara pada ponsel. “Masabi lagi sama temen, Lin. Iya, sebentar lagi pulang. Kasih tau Mama kalau Masabi beli makaron.” Ia menutup telepon tanpa menunggu jawaban panjang, lalu kembali menatap Bianca yang kini tampak penasaran.

“Adik gue,” jelas Sabian, meski Bianca tak bertanya. “Sebentar lagi natal dan birthday adik gue. Kami bikin acara, dan gue udah janji mau bantuin bokap gue bikin dekorasi.”

Bianca membelalakkan mata, tak dapat menyembunyikan kekagumannya. “Serius? Wah.... Gue nggak nyangka kalau lo tipikal yang sefamily man itu.”

Sabian mendecih, ekspresinya tetap tak berubah. “Biasa aja,” timpal Sabian.

Namun, bagi Bianca, itu bukan hal yang 'biasa saja'. Ada sisi Sabian yang baru ia lihat—dingin di luar, namun ternyata memiliki kehangatan yang disembunyikan rapat-rapat. Bianca pikir, Sabian hanya bersikap manis kepada sang adik, ternyata ia lebih dari itu. Jantung Bianca berdetak sedikit lebih kencang. Kini ia merasa semakin tertarik pada laki-laki di depannya ini.

Bianca tiba-tiba tersenyum lebar, lalu memainkan rambutnya dengan gerakan yang sengaja dibuat-buat. “Eh, gue baru sadar… kayaknya gue lupa bawa sepatunya, deh? Maaf banget, gue pikir udah gue bawa, tapi ternyata ketinggalan di rumah.”

Sabian melempar tatapan tajam, dan ada sedikit kerutan di dahinya yang menunjukkan bahwa ia tak sepenuhnya percaya.

“Terus?”

“Gue janji bakal balikin besok! Bisa nggak kita ketemuan lagi?” timpal Bianca, cepat. Nadanya penuh harap. Ia memandang Sabian dengan sorot mata yang berbinar, berharap laki-laki itu tak menolak.

Sabian diam sejenak, tampak seperti tengah mempertimbangkan sesuatu. Ia sebenarnya tak suka rencana yang mendadak, apalagi harus bertemu lagi hanya untuk urusan sepatu yang ia sendiri tak terlalu peduli. Akan tetapi, ada sesuatu dalam cara Bianca bicara—terlalu antusias, terlalu hidup—yang membuatnya tak bisa langsung menolak ajakan itu.

“Boleh, besok sore. Di sini lagi, aja,” kata Sabian sedikit ketus, niatnya tulus.

Bianca hampir melonjak dari kursinya, tapi ia menahan diri dan hanya tersenyum lebar. “Oke! Besok sore di sini. Gue janji bawa sepatunya. Makasih banget, ya!”

Sabian mengangguk singkat, lalu berdiri dari kursi. “Yaudah, kalau gitu gue duluan, ya. Adik gue udah nungguin.” Ia menggenggam ponselnya erat-erat, lalu melangkah cepat keluar tanpa menoleh lagi.

Bianca memandangi punggungnya yang menghilang di balik pintu kafe. Tangannya memegang gelas kopi yang sudah sejak lama berada di sana. Saat Sabian sudah tak terlihat, Bianca bersandar di kursi, senyumnya tak kunjung hilang dari wajahnya.

Sepatu itu sebenarnya ada di dalam tas jinjing yang ia letakan di bawah meja—ia sengaja tak mengeluarkannya, dan berbohong kepada Sabian. Baginya, itu adalah satu-satunya cara agar ia bisa bertemu Sabian lagi, dan dapat mencoba mengenal laki-laki dingin itu lebih dalam.


Di perjalanan pulang, Sabian menggenggam sekotak makaron di tangannya. Ia tiba-tiba saha terkekeh, mengingat sesuatu.

Sabian tahu persis bahwa Bianca mengatakan sebuah kebohongan. Pasalnya, ketika ia menumpuk kakinya saat mereka berdua tengah berbicara—Sabian tak sengaja menendang sebuah tas jinjing yang berada di bawah meja. Ia yakin sekali bahwa tas tersebut berisikan sepasang sepatunya. Namun, entah kenapa, Sabian merasa sulit untuk sekadar menolak ajakan perempuan itu.