Bian dan Papa; Orangnya atau Statusnya?
Sudah tujuh hari Bian sibuk meratapi tragisnya nasib percintaannya dengan seorang Diajeng Pramesti. Mungkin akan bertambah menjadi sembilan, sepuluh atau bahkan banyak hari lagi kedepan.
Makan tak selera, tubuh tak semangat, tidur larut kini jadi kebiasaannya. Cinta remaja begini ya.
Sering kali Bian ingin sekali kembali menyesap sebatang rokok yang dulu sempat jadi kawan setianya. Tapi Bian ingat, dia sudah pernah berjanji pada Mama. Bisa-bisa nanti Mama mengamuk tak karuan kalau lagi-lagi memergokinya merokok, kemudian habislah Bian diceramahi panjang kali lebar oleh Papa.
Dalam redupnya pencahayaan kamar, Bian memeluk sebuah gitar akustik milik Papa. Disaat-saat seperti ini, bakat terpendam Bian ada gunanya juga. Bisa dijadikan pengiring rasa kegagalan, serta kekecewaan yang dia derita belakangan.
“I want a perfect body I want a perfect soul I want you to notice When I'm not around”
Sembari memetik setiap senar gitar dengan tenaga seadanya, Bian bernyanyi. Bocah itu sepenuhnya memikirkan Ajeng. Suara serak sisa tangisannya terdengar begitu jelas. Bian sedikit tak menyangka akan menyukai Ajeng sampai seperti ini.
“So fuckin' special I wish I was special”
Bian menarik napas dalam-dalam. Kalau boleh jujur sejak hari di mana Ajeng menolak pernyataan cintanya mentah-mentah, hatinya seolah berdenyut nyeri.
Sebenarnya sakit hati Bian bukan sepenuhnya tanggung jawab Ajeng. Bian tahu betul akan hal itu. Dia hanya butuh seseorang untuk disalahkan.
Perihal trauma yang mungkin Ajeng alami juga sedikit mengganggu pikiran Bian malam itu. Dalam benaknya khawatir kalau-kalau pernyataan cinta tempo hari lalu dapat membebani gadis tersebut. Pasalnya secara terang-terangan Ajeng berkata kalau dirinya juga memiliki perasaan yang sama.
“But I'm a creep I'm a weirdo What the hell I doin' here? I don't belong here”
Kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara tepukan tangan yang membuat Bian menghentikan kegiatannya seketika. Dan pelakunya adalah Papa—si pemilik gitar! Kemunculan persis seperti jin lampu ajaib milik Aladin.
“Papa ngapain sih?” Bian bangkit dari posisi wenaknya.
“Bagus nyanyinya, kayak orang yang lagi galau.”
Mendengar kalimat tersebut, lantas Bian mendengkus. Emang lagi galau!
“Papa ngapain tiba-tiba masuk kamar Bian?”
Papa tergelak. Bian yang jauh lebih emosional dari biasanya, menjadi bukti kebenaran dari apa yang dikatakan oleh Ozi.
Tanpa sepatah katapun, Papa merangkul Bian. Kembali mengajaknya untuk duduk di atas sofa yang mengarah langsung pada sebuah jendela kaca dengan bukaan cukup lebar. Akhir-akhir ini hujan sering kali turun, kemudian menjadi sebuah pemandangan yang sendu dari dalam kamar Bian.
“Kalau kita bener-bener suka sama orang, ada yang lebih penting daripada status, Bi. Kamu tau gak, apa?” kata Papa. Spontan Bian menggeleng. “Bisa terus ada di sekitar orang itu.”
Bian geming.
“Sekarang pikir ... yang kamu butuhin statusnya atau orangnya?”
Sepersekian detik Bian merinding. Kira-kira dari mana Papa tau? Meski begitu kali ini Bian tak ambil pusing—kalau bukan Zaid, ya sudah pasti Ozi lagi.
Bian menghela napas berat. “Bian butuh orangnya, Pa.”
Papa terkesiap, lalu mengangguk. Bagaimanapun Papa juga pernah muda. Perasaan seperti itu bukan hal yang asing lagi baginya.
Tentu saja malam ini Papa yang berpengalaman bukan datang untuk mengejek Bian, melainkan ingin memberi sebuah wejangan kepada Bian yang baru merasakan cinta.
Dengan wajah serius yang tampaknya sengaja dibuat-buat, Papa menekuk kakinya. “Kalau gitu udah cukup sedih-sedihnya. Anggep aja kayak gak pernah ada kejadian apa-apa antara kamu sama dia. Tetep jadi diri kamu yang biasanya, di depan dia. Percaya sama Papa ... entah itu kapan, tapi lama kelamaan dia pasti juga mau punya hubungan yang lebih sama kamu. Karna dia udah terbiasa sama kamu. Udah bergantung ke kamu. Yah, itung-itung sekalian latihan buat kamu setia sama satu perempuan, Bi.”
Bian hanya mampu melongo tak percaya. Di luar dugaan, Papa berkata demikian.
“Gak usah heran gitu. Papa kan juga pernah muda.”
“Bian bingung harus mulai lagi dari mana.” Bahu Bian merosot pada sandaran sofa.
“Ya biasanya gimana?”
“Biasanya chatan.”
“Ya udah, sekarang chat orangnya.”
“Gak siap...,” kata Bian praktis membuat Papa mengusap kepalanya dengan sangat gemas.
“Payah banget kamu, Bi.”