Bianca dan Makalah

“Bener. Gak ada yang bisa jamin kalau mahasiswa sini lebih baik daripada jambret...,” gumamnya, lirih.

Bianca menghela napas panjang. Bahkan pesan yang ia unggah di base kampus, sama sekali tak membantu menyelesaikan kegalauan panjangnya, siang itu.

Entah, mana yang lebih baik—telat mengumpulkan tugas lalu diceramahi panjang kali lebar oleh sang dosen, atau nekat bermalam di kampus sendirian tanpa tahu apa yang akan terjadi kepada dirinya kemudian. Pasalnya dari kedua opsi yang tersedia, selalu ada konsekuensi di belakangnya.

Sudah hampir setengah jam ia duduk termangu di bawah pohon rindang yang kebanyakan tumbuh di area sekitar fakultas itu.

Suasananya teduh, dan begitu nyaman untuk singgah lebih lama.

Alih-alih mengerjakan tugas yang konon katanya sudah mendekati tenggat pengumpulan itu, Bianca justru sibuk menikmati hembusan angin sepai-sepoi, seraya memikirkan keputusannya untuk malam ini.

“Kalau gue pulang ke kosan malem, pasti zona merah udah rame sama oknum-oknum penjahat.”

Ia mengangguk sendiri. Seakan mengiyakan perkataannya yang barusan.

“Tapi, kalau stay di kampus—gue sendirian. Antara malem ini digangguin setan, atau digangguin cowok-cowok kayak waktu itu!”

Sementara ia sibuk bergumam sendirian, sekelompok mahasiswa melintas di hadapannya sembari saling melempartawa satu sama lain.

Bianca melempar tatapan iri seketika. Kalau dilihat-lihat, sekelompok mahasiswa tersebut adalah teman-teman satu angkatan yang mengambil program studi, yang sama dengannya. Sebagian dari mereka tampak tersenyum tanpa beban, dan yang sebagian lagi sama seperti ekspresinya saat ini. Gurat wajah penuh frustasi tampak begitu jelas—pertanda belum juga mengumpulkan tugas rencana desain interior untuk pameran di penghujung semester kali ini.

“Ca!”

Bianca langsung menoleh ketika namanya dipanggil oleh seseorang dari belakang. Malas menjawab, ia hanya mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan yang seakan-akan tengah berkata, 'kenapa?'

“Gak ngumpulin makalah?”

Diberi pertanyaan demikian, lantas membuat Bianca tersenyum kikuk. Sebenarnya ia sudah tahu kalau pertanyaan semacam itulah yang akan keluar dari bibir seorang mahasiswa penanggungjawab mata kuliah.

“Belum selesai...,” sahutnya, lirih.

Lawan bicaranya itu, sontak tersenyum remeh. “Kira-kira ke mana perginya fokus seorang Bianca?”

“Tanya kayak gitu ke yang lain juga, Mar. Jangan gue doang, yang setiap jam lo tagih!” Usai mengatakan itu, Bianca lantas beranjak. Meninggalkan laki-laki yang akrab ia sapa 'Damar' itu sendirian.

Ia menghela napas kasar tatkala kakinya mulai melangkah jauh.

Kalau boleh jujur, Bianca sedikit jengah acapkali berbicara dengan laki-laki yang beberapa saat lalu ia temui itu. Maklum, Damar adalah mantan kekasihnya. Meski kisah percintaan di antara mereka sudah resmi kandas sejak setengah tahun yang lalu, namun, laki-laki itu masih sering mengusiknya.

“Ke mana perginya fokus gue?” kata Bianca, yang kemudian membuatgesturseakan-akan ia membuang ludah. “Sok akrab banget, najis!”


Malas-malas begini, Bianca Marella adalah ahlinya sistem kebut semalam. Entah, hal itu termasuk dalam kekurangan atau kelebihan pada dirinya, yang jelas tugas makalah miliknya rampung sudah. Dan, kini yang perlu ia lakukan hanyalah membaca tiap-tiap halamannya sebanyak satu sampai dua kali agar dapat menguasai materi, untuk diprensentasikan esok hari.

Bianca melihat ke arah pergelangan tangannya. Menatap jarum jam tangan yang menunjukkan bahwa saat ini sudah pukul sebelas malam.

“Gak pulang?” tanya sang pemilik kedai fotokopi.

Bianca meringis. “Sebentar, Mas. Numpang baca dua kali, ya, kalau di kosan pasti langsung tidur.”

Lantas sang pemilik kedai fotokopi itu mengangguk paham. Apa yang Bianca lakukan malam ini, sudah sering dilakukan oleh mahasiswa lain. Tentu saja, pasalnya kedai fotokopi ini sangat dekat dengan kampus dan juga buka selama 24 jam dalam sehari. Maka, sudah pasti menjadi tempat bagi para mahasiswa mempercayakan setiap tugas, dan skripsinya untuk dicetak. Bahkan, tak jarang, ada pula yang datang untuk sekadar berkeluh kesah atau adu nasib sebagai sesama mahasiswa.

Sesekali ada yang datang, lalu pergi. Ada yang hanya menyerahkan diska lepas, dan ada juga yang menunggu sampai semua file yang dibutuhkan selesai dicetak.

Detik, demi detik berlalu begitu cepat sampai Bianca pun tersadar kalau ia harus pulang sekarang.

Iya. Malam itu, Bianca memilih pulang.

“Mas! Makasih, ya! Aku pulang!” serunya, berpamitan.

Lalu, yang baru saja dipamiti pun, hanya melempar senyum seikhlasnya.