Bianca yang Penasaran
Sudah hampir setengah jam Bianca berada di gedung fakultas sebelah, mencari sosok laki-laki tampan, berambut pirang—seperti apa yang sempat dideskripsikan oleh Sudirman. Tapi, sejauh mata Bianca memandang, semua laki-laki yang ia temui selalu berkepala hitam.
“Ndi ta cah e?” kata Ayu atau yang lebih akrab dipanggil Yayuk. Ia sudah kepalang kesal, pasalnya sejak tadi mereka berdua hanya mondar-mandir seperti setrikaan di area gedung Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, tanpa melakukan hal lain.
Translate: Mana anaknya?
Bianca menoleh sambil cengangas-cengenges, “Kayaknya gue ditipu Sudirman, deh, Yuk....” Saking pasrahnya Bianca sampai berpikir demikian.
Ayu memutar bola matanya jengah. Kan ia jadi merasa sial karena harus ikut terkena dampak dari tipuan Sudirman—sepupu Bianca. “Ya Allah, Ca?!” Ayu mengusap dadanya dramatis. Sudah panas, ditipu pula
Sementara itu Bianca mencebik. Ia sendiri juga bingung, kenapa bisa langsung termakan oleh omongan Sudirman dan berakhir bodoh seperti ini. Entah fakta, atau sekedar tipuan—yang jelas Bianca kesal! Kalau bertemu nanti, ingin ia acak-acak wajah Sudirman yang tampangnya terbilang lumayan itu!
Laki-laki tampan berambut pirang, agaknya hanyalah sebuah dongeng belaka.
Lalu, dengan berat hati Bianca merangkul lengan Ayu. Membawa kawannya itu meninggalkan halaman fakultas tersebut, tanpa sepatah kata pun.
Di sebelahnya, Ayu memasang wajah heran sebelum memutuskan untuk menghentikan langkahnya. Ayu mengeluarkan sebuah cermin kecil dari tas kecil yang ia tenteng. Ia mengarahkan benda itu pada Bianca. “Liat muka kamu, deh, Ca. Siapa sih? Emangnya kamu kenal? Kok bisa sampai sekusut ini cuman karena gak bisa nemuin dia?” tanyanya, sebab penasaran usai melihat bagaimana ekspresi Bianca.
Kemudian, sebuah tatapan yang tak kalah bingung, Bianca lemparkan pada Ayu. Sejak satu-satunya kelas di hari itu selesai, Bianca terus memikirkan pesan terakhir yang ia dapat dari Sudirman. Ia terus membayangkan seperti apa sosok mahasiswa tampan, berambut nyentrik, tapi sangat penakut sebab baru saja pindah kos-kosan dengan alasan kematian tetangga sebelah kamar kosnya, itu. Terlebih lagi, belakangan ini Sudirman sering kali membahas perihal Si Anak Pirang—juga temannya yang sudah seperti biji tumbuhan dikotil ini, alias ke mana-mana selalu saja bersama.
“Gak kenal, se. Aku cuman penasaran.” Bianca terkekeh sendirian setelahnya.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, ia bisa saja meminta foto sepasang biji tanaman dikotil itu, langsung dari Sudirman. Kenapa juga ia malah repot-repot mampir ke area gedung fakultas lain?
Sementara Ayu, lagi-lagi mendengkus. Kesal, terlebih matahari rasanya seakan hanya berjarak 5 meter dari atas kepala. “Tukok ne aku es, Ca. Ngelak e, panase ra umum.”
Translate: Beliin aku es, Ca. Haus nih, panas banget
“Aku pengen ngopi se.”
“Yaudah, kopi.”
“Bayar sendiri-sendiri.”
“ASEM!”