Bukan Sedarah; Tapi Sefrekuensi

— “Kalau Papa kamu anggep rumah paling nyaman. Ayah, kamu anggep apa, Bi?”

— “Rumah paling aman.”

Bian ingat pernah berkata demikian seraya menggenggam erat tangan Om Yudhis saat tengah asyik duduk di teras rumah kawan papanya itu, beberapa bulan yang lalu—saat liburan usai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama.

Semua kawan Papa semasa muda itu baik, tapi Om Yudhis mungkin jadi satu-satunya sosok yang hampir setiap hari Bian temui sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Sore ini, Bian kembali duduk dan merasakan dinginnya teras tersebut. Keramiknya masih sama seperti saat terakhir kali dia berkunjung. Berteman segelas es cappucino cincau buatan istri sang pemilik rumah, alias Tante Jupe, alias Tante Julia Paramitha yang rasanya luar biasa kemanisan! Bian beradu kepandaian bermain jenga dengan si pemilik rumah.

“Ayah jangan curang gitulah! Masa udah dipegang gak jadi dicabut?!” seru Bian. Matanya memicing menatap Om Yudhis, kesal.

“Gak sengaja kepegang, Bi!”

“BOONG!”

Seolah terkena dampak dari panasnya persaingan kedua laki-laki penuh ambisi itu—bukan cuman Tante Jupe yang berkeringat, tapi juga gelas yang sejak tadi nangkring di samping mereka.

Ngomong-ngomong soal Tante Jupe—bisa dibilang sebenarnya Bian ibarat cupid di antara Om Yudhis dan Tante Jupe. Dulu sekali, Bian kecil sering kali diantar jemput oleh Om Yudhis saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebab Papa sedang sibuk-sibuknya, dan Mama belum punya kendaraan pribadi untuk mengantar jemput Bian. Maka Papa menyerahkan tugas tersebut kepada Om Yudhis yang notabenenya adalah seorang sekertaris pribadi untuk Papa. Memang sangat out of the box, sih. Tapi Om Yudhis melakukan tugas tersebut dengan senang hati. Om Yudhis yang pada dasarnya memang sangat loyal pada Papa, secara tidak sadar menganggap Bian seperti anaknya sendiri. Ditambah lagi pada saat itu Om Yudhis masih melajang. Lantas, Om Yudhis yang ceria serta humoris itu dipertemukan dengan seorang ibu guru cantik—wali kelas Bian kecil.

Pertemuan-pertemuan singkat antar keduanya ternyata mampu menimbulkan percikan cinta. Dan yang Bian tahu, tidak lama dari kelulusannya—Om Yudhis dan Tante Jupe menikah.

Bian meringis. Tiba-tiba saja teringat cintanya yang baru saja ditolak. Bocah itu membuang napas dengan kasar.

“Udah ah mainnya!”

“Kok udahan?” tanya Tante Jupe terheran-heran.

Memang keadaan hati Sabian Aditama jauh lebih buruk dari remaja perempuan sekalipun. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan petir.

“Jelek banget sih ini anak moodnya?! Lagi enak-enak main juga!” pekik Om Yudhis tidak terima.

Bian mencebik. Dua bola matanya yang polos menatap ke arah jengan. “Orang galau kok diajak main ginian ... gak jelas....”

Nah kan! Berbanding terbalik dengan Bian yang biasanya—saat bersama Om Yudhis, bahkan tanpa paksaan sedikitpun Bian akan menumpahkan semua keluh kesahnya.

Dalam beberapa kesempatan, Om Yudhis seperti yang Bian katakan sebelumnya. Yaitu tempat paling aman. Sebab, kadang ada kalanya yang dirasa nyaman belum tentu jadi yang teraman. Begitu pula sebaliknya.

Om Yudhis dan Tante Jupe saling beradu tatap. Apalagi ya kali ini?

Tante Jupe berbatuk kecil. “Tante masuk dulu, deh. Nanti abis ini Bian jangan lupa langsung mandi sore ya? Air angetnya Tante siapin dulu,” katanya sebelum memilih untuk meninggalkan sang suami beserta Bian di teras rumah.

...

Bian yang semula duduk tegap, kini bahunya merosot seolah kehilangan tulang punggungnya seketika.

“Gimana ya caranya ngobatin penyakit hati? Sakit banget ini, udah berhari-hari kok gak sembuh-sembuh,” kata Bian membuka percakapan.

Om Yudhis tertawa sumbang. “Sakit yang kayak gimana dulu nih?”

“Patah....”

“Dibawa ke yang bersangkutan, terus paksa suruh obatin. Kalo gak, ya obatin sendiri pelan-pelan.” Om Yudhis meraih gelas berisikan capuccino ekstra air es batu yang sudah mencair. Menyeruputnya, kemudian mengangguk singkat. Kini rasa minuman tersebut, tak semanis sebelumnya. “Pokoknya jangan coba-coba minta diobatin sama orang lain,” timpal lelaki itu.

Bian menarik sudut bibirnya. Yang membuat percakapan mereka seru adalah kalimat-kalimat yang tidak perlu diucapkan secara gamblang, tapi tetap jelas apa maksudnya.

“Takut gak, sih?”

“Takut kenapa?”

“Takut kayak ngemis ke yang bersangkutan,” jawab Bian begitu singkat.

Sontak Om Yudhis menggeleng penuh semangat. “Ngemis atau enggaknya, itu tergantung sama cara kamu.”