Bye Guling

Mobil yang dikendarai Jeffrey kini melaju perlahan memasuki area apartemen mewah yang sejak 2 hari lalu telah resmi menjadi hunian tetapnya bersama sang istri. Jeffrey menurunkan kaca mobilnya, lalu memberikan senyum simpul pada seorang penjaga keamanan.

“Malam, Pak!” sapa Jeffrey.

“Eh? Iya Mas, baru pulang tah?”

Lantas Jeffrey menganggukan kepalanya, “Iya, Pak.”

Keduanya bak tetangga hangat yang tengah menyapa satu sama lain. Wajar saja, pasalnya Jeffrey memang sudah lama mengenal Pak Heru—penjaga keamanan tersebut. Sejak beberapa tahun lalu, kala dirinya dan Ratu masih sama-sama kuliah, seringkali Jeffrey membawa 1 slot rokok untuk Pak Heru. Bukan tanpa alasan, melainkan untuk upah atas jasa memata-matai Ratu setiap harinya, bahkan hingga saat ini.

“Gimana, Pak?” tanya Jeffrey sembari menyodorkan 1 slot rokok kearah Pak Heru.

Lelaki paruh baya itu tersenyum, “Aman, Mas. Seharian ini istri sampean ndak kemana-mana kok e,” ujar Pak Heru, kemudian menerima pemberian Jeffrey dengan semangat.

“Bagus deh—makasih ya, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu. Udah ditunggu majikan.”

Pak Heru terkekeh mendengar candaan Jeffrey, lalu mengangguk, “Nggih Mas!”


Jeffrey memasukkan angka untuk mengakses pintu unit apartemennya. Untuk sejenak, lelaki itu membayangkan kelak ia akan mengubah sandi tersebut dengan tanggal ulang tahun anaknya. Jeffrey menghela nafas berat. Nampaknya hanya dirinya lah yang paling mengidam-idamkan memiliki anak diusia yang terbilang masih muda.

Klek!

Pintu terbuka, alih-alih sambutan dari seorang istri yang ia terima, Jeffrey justru disambut dengan gelapnya pencahayaan didalam unit.

“Ra?” “Sayang?” Jeffrey memanggil-manggil Ratu, namun tak ada jawaban.

Langkahnya menuju pada sebuah kamar berukuran 3x6 dengan dinding berwarna coklat susu yang aromanya sama persis seperti Ratu.

Ini bini gue kemana sih? Batinnya.

Selanjutnya, netra Jeffrey menatap punggung Ratu yang tengah bergulung dengan selimutnya. “Ra? Lo udah tidur?”

Hening.

Dengan penuh keberanian Jeffrey mendekat, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Jeffrey tersenyum, sementara ujung jemarinya sengaja mengetuk-ngetuk punggung Ratu.

“Akhirnya gak ada guling sialan,” bisik Jeffrey tepat dibelakang tengkuk Ratu. Membuat wanita yang semula terlelap itu, kini terbangun.

“Mundur atau gue tendang perut lo, Jeff?” tanya Ratu tiba-tiba mengejutkan Jeffrey.

Lantas Jeffrey beringsut seketika, “LOH BUKANNYA LO LAGI TIDUR?”

“Kebangun gara-gara lo!”

“Sorry, gue terlalu excited karna udah gak ada gulingnya,” tutur laki-laki itu.

“Jeff—” Ratu memutar tubuhnya, demi menghadap Jeffrey. “Aku beneran belum siap.”

Atmosfer diantara keduanya mendadak berubah. Hening. Hanya ada suara nafas Jeffrey dan Ratu yang saling bersahutan. Jeffrey merasa bersalah, seolah selama beberapa hari belakangan ini ia terlalu memaksakan egonya. Lantas Jeffrey membawa Ratu kedalam pelukannya. Ia sadar bahwa dirinya terlalu kekanak-kanakan.

“Iya, Ra. Gapapa. Gak masalah buat gue.”

Selanjutnya Ratu semakin erat memeluk Jeffrey. Sama seperti bertahun-tahun yang lalu, aroma yang melekat pada pakaian Jeffrey tak pernah sekalipun berubah. Kalau boleh jujur, justru Ratu lebih jatuh cinta pada aroma Jeffrey sepulang kerja, seperti malam ini.

Kalau biasanya ia hanya mampu mengagumi Jeffrey yang berada disebelahnya, sekarang laki-laki itu bahkan siap memeluknya seharian penuh—kalau kalau ia menginginkannya.

Jeffrey menarik sudut bibirnya saat Ratu menenggelamkan wajah kedalam dada bidang miliknya. “Aku mau mandi dulu, Ra.”

“Sebentar. Aku kangen banget,” ujar Ratu tanpa berpikir.

“Aneh banget. Kemarin sok-sokan dikasih pembates. Giliran udah kaya gini, malah gak mau lepas.”

“Lo wangi.”

“Bau keringat anjir.”

“Enggak. Lo wangi.”