Dari Alat Tulis Semakin Turun ke Hati

Pagi ini tidak banyak siswa yang berkerumun seperti hari-hari biasanya. Kebanyakan dari mereka sibuk membaca buku catatan mereka masing-masing, sebab kurang lebih selama dua minggu kedepan adalah pelaksanaan ulangan semester ganjil. Lain halnya dengan Bian. Dia justru sibuk berjalan petantang-petenteng keliling kelas untuk mendapatkan pinjaman pensil dengan standar ujian.

Jangankan belajar, pensil saja lupa dia bawa. Mungkin kalau hidung Bian adalah jenis portabel, dia akan sering kelupaan untuk membawanya.

“SIAPA YANG PUNYA PENSIL LEBIH?!” tanya bocah itu sambil berteriak di dalam kelas yang memang sejak tadi keadaan sangat berisik. Persis seperti pasar swalayan karena semua penghuninya sengaja membaca buku catatan mereka sampai mengeluarkan suara.

“Gak ada,” sahut Zaid yang tengah duduk dengan manis di kursi mejanya sejak tadi dan memperhatikan gerak-gerik bodoh temannya itu.

Bian mendengkus, “Serius, Anjing.”

“Sab!”

Mendengar namanya dipanggil, sontak Bian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas. Dan didapatinya Ajeng yang tengah mengayunkan tangan, seolah memanggil Bian sembari tersenyum.

Tanpa pikir panjang, Bian langsung menghampiri gadis itu.

Kabar baiknya, Ajeng punya tiga pensil yang Bian butuhkan. Dia menyodorkan tiga pensil tersebut ke arah Bian. Bermaksud untuk membiarkan Bian memilih sendiri yang mana yang ingin dia pakai—meski model ketiganya sama persis.

Diam-diam Bian menahan senyumnya. “Kamu pake yang mana?” tanya Bian dengan polos.

“Kamu ambil aja dulu, aku bisa pake yang mana aja.”

Jangan tanya bagaimana perasaan Bian sekarang. Sudah pasti dia salah tingkah! Bahkan kala ibu jarinya tak sengaja menyentuh ibu jari Ajeng—Bian sengaja membuang wajahnya. Takut kalau-kalau gadis itu tahu soal perasaannya karena melihat ekspresi malunya.

“Aku pinjem yang ini aja.” Satu pensil yang sedikit lebih pendek dari yang lainnya. Sudah dipastikan kalau pensil tersebut memanglah pensil yang biasa Ajeng gunakan.

Gadis itu mengangguk. “Penghapusnya ada?” tanya Ajeng memastikan. Pasalnya terakhir kali dia ingat, Bian bahkan tidak pernah membawa kotak pensil dalam tasnya.

Alih-alih menjawab, Bian justru cengangas-cengenges.

“Kamu tuh, gak punya kotak pensil apa gimana, sih?” Ajeng kemudian sibuk merogoh kotak pensilnya. “Padahal kotak pensil kan murah, Sab!”

Selang beberapa detik kemudian, dia mengeluarkan sebuah penghapus dan rautan pensil. Sebab dia sadar bahwa tempat duduknya dan Bian cukup jauh—Ajeng khawatir kalau-kalau di tengah-tengah kegiatan mengerjakan ulangan nanti Bian akan kesulitan untuk meminjam peralatan tersebut dan berujung dimarahi oleh pengawas. Lantas inilah cara Ajeng menyelamatkan Bian sebelum itu semua terjadi.

“Nih, bawa aja.”

Pada akhirnya Bian menyerah. Diajeng Pramesti memang gadis utusan Dewa! Begitu batinnya. Habis bisa-bisanya dia sangat pengertian seperti itu, ditambah lagi dengan sudut bibir yang selalu menyunggingkan senyuman kala tengah berbicara dengan orang lain.

“Makasih ya, Dep. Nanti aku balikin,” kata Bian penuh semangat.

Sementara itu mereka berdua tidak sadar kalau sejak tadi ada Zaid yang duduk di atas meja. Mengamati percakapan mereka berdua sambil terus bersumpah serapah dalam hati.

“Aku? Kamu? Dep? ANJING?! GUE ADA DI ALAM MANA INI ANJINGG?!!”