Diajeng Pemenangnya

Delapan hari setelah memutuskan untuk menghindari Papa, keadaan hati Bian tak kunjung membaik. Hubungannya dan Papa justru semakin renggang. Papa yang selalu mencuri-curi waktu sekedar untuk berbicara secara empat mata dengan Bian, harus berkali-kali mengurungkan niat karena faktor Bian sendiri yang sengaja memberi gestur penolakan.

Bingung. Pertengkaran antara seorang anak dan orang tua memang kadang kala sulit untuk dijelaskan. Sulit untuk diselesaikan. Jauh berbeda dengan pertengkaran karena adanya salah paham antar teman sebaya. Mungkin juga faktor perbedaan pendapat karena usia yang terpaut jauh cukup mempengaruhi komunikasi dua arah mereka. Perasaan canggung, dan segan sangat mungkin muncul di tengah-tengah Papa dan Bian.

Pernah sesekali Papa melucu di hadapan Bian. Saat mereka tengah duduk di sisi meja makan lebih tepatnya. Bian tetap acuh. Merasa bahwa dia seharusnya menahan tawa, dan bahkan tetap memasang wajah super kaku di depan Papa.

Kalau boleh jujur, Bian sendiri tidak yakin apakah yang dia lakukan itu benar atau salah. Tapi mengingat pesan yang Papa kirimkan beberapa hari yang lalu, dia masih kesal. Masih sakit hati, mungkin? Dan entah kapan waktu yang pasti bagi hatinya itu akan membaik.

Lalu bagaimana dengan Mama?

Biasa saja. Bian hanya mengeluarkan suara saat benar-benar diperlukan. Selebihnya? Tidak. Bian lebih memilih untuk diam. Menghabiskan waktu di kamar sendirian. Dan hanya akan keluar saat makan atau untuk berangkat sekolah.

Sebenarnya Bian sama sekali tidak kesal dengan Mama. Hanya malas untuk bicara saat tengah berada di rumah. Menghindar dan belaga bisu memang sering kali dilakukan oleh anak-anak seusia Bian saat terjebak dalam sebuah konflik di dalam keluarga. Untung ya, Papa masih baik hati dan tidak berniat memutus arus aliran uang saku Sabian Aditama.

Bocah itu kini sibuk melipat-lipat secarik kertas di tangannya. Sebut saja dia gila. Kertas berisikan permintaan izin untuk melakukan perkemahan yang beberapa saat lalu dibagikan oleh wali kelasnya disulapnya menjadi pesawat kertas. Zaid yang sedari tadi menyaksikan kebodohan kawannya itupun lantas memandang jengah ke arah Bian.

Bisa-bisanya, batin Zaid tak percaya.

Sayangnya Zaid tidak berani menegur Bian seenaknya seperti biasa. Sebab akhir-akhir ini keadaan hati Bian sangat buruk. Cepat sekali berubah seperti halnya langit kota Jakarta. Sebentar cerah, sebentar mendung, sebentar lagi hujan. Takut tersambar petir amarah lebih tepatnya.

“Bi, lo mau ke kantin gak?” tanya Zaid hati-hati.

Ada jeda sebelum akhirnya Bian menggeleng. Jangankan jajan ke kantin, minum air putih saja dia malas setengah mati.

Lalu tanpa banyak basa-basi, Zaid melangkah pergi. Meninggalkan Bian yang masih sibuk berkutat dengan pesawat kertasnya.

Bermenit-menit berlalu, hingga ujung mata Bian menangkap uluran tangan dari seorang gadis di hadapannya. Tangan yang terlihat sangat kecil, namun sepertinya pas untuk digenggam. Tangan yang terlihat cantik meski tanpa menggunakan perhiasan apapun pada jari maupun pergelangannya

Bian mengangkat kepalanya. Kemudian manik mata mereka bertemu. “Apa?” tanya Bian seketika.

“Mau ikut gak?”

“Ke mana?”

Tanpa suara gadis itu menarik tangan Bian. Membawanya menuju anak tangga yang jarang digunakan oleh para siswa karena letaknya ada di bagian sudut gedung sekolah. Dan, ya! Mereka berdua akhirnya menguasai tempat itu sekarang. Hanya berdua, di jam makan siang.

“Ajeng, ini ngapain kita ke sini?”

Ajeng menyodorkan sebuah kotak makan berisikan roti tawar dengan susu kental manis rasa coklat sebagai selainya. “Jangan ego kamu doang yang dikasih makan, Sab. Perut juga perlu. Aku ngajak kamu makan di sini biar kamu tetep keliatan keren di depan Zaid.”

Bian tergelak seketika.

Mana boleh ada gadis semenarik Ajeng? Lucunya. Bahkan dia sangat paham soal ego setinggi langit milik Bian di saat orang-orang terdekatnya bahkan seolah tak acuh?

Bian menarik sudut bibirnya. Dia tersipu malu di hadapan gadis bendahara kelas. Ah, ini kah yang dimaksud cinta monyet? Masa bodo, yang penting hatinya kini berbunga-bunga di tengah gersang.

Akhir-akhir ini memang gadis itulah yang menjadi tempatnya bercerita. Soal Mama, Papa, bahkan hal-hal acak lainnya. Bian selalu suka cara Ajeng merespon keluh kesahnya. Sangat detail. Sampai-sampai hal sesepele apapun dia berikan tanggapan. Bian selalu suka cara Ajeng menatap lurus matanya kala dirinya tengah menceritakan sesuatu. Dan yang paling penting, suara gadis itu kini menjadi menghantar tidur paling merdu saat Bian kesulitan tidur hanya karena tiba-tiba saja memikirkan papanya.

“Ini serius buat aku?”

Ajeng mengangguk semangat.

“Aku udah sarapan tadi pagi—itu cepetan dimakan! Nanti keburu selesai jam istirahatnya.”

Astaga. Mungkin kalau Ajeng mampu membaca pikiran Bian, maka dia akan tahu betapa tergila-gila laki-laki di hadapannya itu kepada dirinya saat ini.