Dialog Singkat Bian dan Papa
Bian terkekeh. Kadang, meski perkataan Zaid mampu mengalahi pedasnya sambal buatan Mama, tapi dia ada benarnya. Bian bukan anak yang anti sosial, hanya saja dia malas kalau harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Bian tipikal orang yang kalau tidak disapa duluan, maka dia tidak akan menyapa terlebih dahulu. Kata Ozi soal Bian yang kurang suka diberi perintah juga ada benarnya. Belum lagi emosi Bian yang cenderung tidak stabil dan masih kekanak-kanakan, pasti akan sangat merepotkan kalau-kalau dia menjadi anggota OSIS nantinya.
Kala tengah bergelut dengan pikirannya, tiba-tiba saja sebuah tangan menyentuh punggung Bian yang pada saat itu memang sedang duduk di bawah karena memasang sepatu.
“Udah belum?” tanya Papa.
Bian mengangguk. Sebenarnya dia sudah selesai memasang sepatu sejak tadi, dan tetap diam di sana karena dia pikir Papa masih memanaskan mobil.
Pagi itu cerah, Bian diantar Papa ke sekolah. Tidak diragukan lagi, Papa benar-benar berubah—Bian suka Papa yang sekarang. Seperti ayah-ayah dalam film tema keluarga cemara kebanyakan. Tak pernah sekalipun Bian melihat Papa pulang larut malam seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan kini Papa sendiri yang menawarkan untuk berangkat bersama meski arah sekolah Bian dan kantor Papa berlawanan.
Batin bocah itu sekali, dua kali, tidak apa-apa. Nanti dia akan minta kembali seperti semula, diantar Mama atau bisa jadi berangkat dengan Zaid menggunakan motor barunya.
Seat belt memeluknya erat. Cara Papa mengemudi mobil terasa sangat berbeda dengan Mama kalau dilihat dari kursi penumpang bagian depan. Papa jauh lebih tenang. Pandangan fokus ke depan, dan setiap tikungannya dibabat habis tanpa guncangan kasar sedikitpun.
Untuk beberapa detik Bian merasa kalau Papa sangat keren dengan setelan jas, duduk di balik kursi pengemudi. Ah, Bian mau jadi Papa.
“Nanti semester dua, mau mulai les gak?”
Perihal les ini, memang sudah sejak lama dia dengar dari sang mama. Waktu itu belum berniat untuk mengikuti les sama sekali. Tapi karena kali ini Papa yang bertanya langsung, atmosfernya seakan berbeda.
“Mau, tapi boleh gak Bian yang pilih tempat lesnya?” tanya Bian hati-hati.
Lantas kening Papa bertautan. “Gak mau di tempatnya Ozi aja?” kata Papa.
Bian menggeleng. Selain karena dia bosan bertemu Ozi lagi Ozi lagi, Bian ingin satu tempat les dengan gadis bendahara kelas. Siapa lagi kalau bukan Diajeng Pramesti? Membayangkan bagaimana rasanya berangkat dan pulang les bersama, Bian cengar-cengir sendiri.
“Bian mau les di tempat lain.”
Mendengar itu, Papa hanya manggut-manggut. Yang penting Bian mau les—itu saja sudah cukup.
Kemudian hening beberapa saat. Bukan. Bukan karena mereka canggung, melainkan memang belum ada topik yang bisa dijadikan obrolan. Tapi bukan Bian namanya kalau pasrah begitu saja. Ngomong-ngomong soal Zaid dan motornya sedikit mengganggu pikiran Bian sejak tadi. Dia kan juga sangat ingin memiliki motor sejak lama. Lalu muncul sebuah ide untuk Bian mengangkat topik tersebut ke permukaan.
“Papa.”
“Apa?”
“Jaid udah punya motor, masa Bian enggak?” Dengan tampang yang sengaja dimelas-melaskan Bian berkata demikian.
“Motornya apa?”
“Motor matic,” jawab Bian sambil cengengesan.
Sementara Papa menghela napas berat. “Papa kan udah pernah bilang, kalau kamu maunya motor matic udah Papa beliin dari lama. Masalahnya motor yang kamu mau itu pasti lain dari yang lain.”
Apa yang Papa katakan tidak salah, sih. Bian sering kali melihat-lihat motor yang terparkir di lahan kosong sekolahnya, dan dia memang tidak pernah melihat ada siswa yang membawa motor persis seperti motor impiannya.
Bian menjebik. Lagi lagi dia harus menerima kenyataan pahit, penolakan Papa.