Doubtful

Jeffrey menutup pintu, dan langsung melangkah menuju kamar yang baru-baru ini—kembali dirinya, dan Ratu tiduri. Pasalnya sang istri sempat mengeluh yang tidak-tidak mengenai kasur di kamar mereka, yang sebelumnya.

Dalam benak Jeffrey merasa keanehan. Kala itu harusnya masih terlalu cepat untuk menutup tirai jendela yang mengarah langsung pada balkon unit apartemen mereka. Tapi, entah kenapa, Ratu memilih untuk menutup tirai tersebut rapat-rapat, seolah hari sudah gelap—atau mungkin, Ratu memang sengaja membiarkan tirai tersebut, dan tidak membukanya sejak tadi malam?

Jeffrey menggidikkan bahunya tak perduli. Toh harusnya ia tak perlu ambil pusing hanya karena sebuah tirai. Harusnya ia segera menghampiri sang istri kesayangannya yang seperti tengah tergila-gila pada dirinya itu.

Benar saja batinnya. Yang pertama kali menyambutnya tatkala ia membuka pintu kamar tersebut, adalah aroma parfum yang sangat menyengat dari dalam. Batin Jeffrey, seandainya itu bukan aroma parfumnya sendiri, mungkin ia akan merasakan mual. Jeffrey geleng-geleng—istri kesayangannya itu memang sangat aneh akhir-akhir ini.

“Ra—lah tidur?” Jeffrey mendengus begitu melihat Ratu yang tengah tertidur pulas diatas ranjang, mengingat sekitar setengah jam yang lalu, Ratu baru saja mengatakan bahwa ia sangat merindukan Jeffrey, hingga meminta laki-laki itu untuk pulang lebih awal dari biasanya.

Lantas Jeffrey memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, sebelum ikut merebahkan diri bersama Ratu. Ia melepas dasi dan kemejanya, kemudian langsung melempar kemeja tersebut kedalam sebuah keranjang pakaian kotor yang berada di dalam kamar, sebab seperti itu lah yang selalu Ratu inginkan.

Dan tanpa berlama-lama, ia pun memasuki kamar mandi. Membersihkan seluruh tubuhnya, sembari memikirkan suatu hal yang memang selalu hinggap di dalam isi kepalanya.

Apa gue coba beli testpack aja kali ya? Daripada omongan Mama jadi beban pikiran kaya gini, batinnya.


Sebenarnya ini sama sekali bukan jam tidurnya. Tapi karena Jeffrey berniat untuk menemani Ratu tidur, maka ia sengaja langsung mengenakan piyama usai acara mandi beberapa menit yang lalu.

Jeffrey menoleh ke arah Ratu. Istrinya itu benar-benar tertidur dengan pulas. Bahkan posisinya tidak berubah sejak terakhir kali ia lihat.

Ia tersenyum, gemas batinnya. Kemudian Jeffrey menghambur ke atas ranjang, dan memeluk tubuh Ratu tanpa memberikan aba-aba, hingga membuat Ratu terbangun seketika.

“Aku udah pulang, udah mandi juga,” kata Jeffrey begitu melihat Ratu mengerjapkan matanya.

Alih-alih menjawab, Ratu memilih untuk kembali menutup matanya rapat-rapat dan menenggelamkan wajahnya pada dada milik suaminya itu.

Tak ada satu kalimat pun yang keluar. Ratu hanya sibuk menghirup oksigen dengan serakah di dalam dekapan hangat Jeffrey. Sementara Jeffrey yang diperlakukan seperti itu, tentu senang bukan main. Rasanya jarang sekali Ratu seperti itu.

Jeffrey mengusap-usap punggung Ratu dengan tangannya. Memberikan perasaan hangat serta nyaman bagi Ratu. Ah jangan lupakan bagaimana Jeffrey menghujani kening istrinya itu dengan kecupan manis yang datangnya terus menerus tanpa henti.

“Udah makan?” tanya Jeffrey.

Ratu hanya mengangguk.

“Kamu kena setan dimana ya? Masa jadi jinak gini, Ra?”

Detik selanjutnya sebuah cubitan maha dahsyat menyerang bagian samping perut Jeffrey. Membuat laki-laki itu memekik kaget.

“Dijaga ya mulutnya,” gumam Ratu, kemudian lanjut memeluk Jeffrey dengan erat.

“Sakit banget sumpah, bakal berbekas gue rasa.”

Mendengar perkataan itu, spontan Ratu melepas pelukannya dan mendudukkan dirinya seketika. Dengan gerakan terburu-buru, ia mengangkat piyama yang Jeffrey kenakan.

“Ihhh iya merah, Mas. Aku minta maaf—”

“Iya gapa—ANJING KOK NANGIS RA?!” tanya Jeffrey panik.

Ratu tak menjawab. Ia terus mengusap-usap satu spot pada pinggang Jeffrey yang tampak memerah karena ulahnya.

“Ra?!” Jeffrey menahan pundak Ratu, sebagai isyarat memerintahkan Ratu untuk berhenti.

Sembari menatap Jeffrey, Ratu mencebikkan bibirnya.

“Lo ngapain nangis?” tanya Jeffrey, sembari menahan tawa yang hendak keluar dari mulutnya.

Ini aneh. Wanita di hadapannya itu baru saja mencubitnya seperti biasa. Tapi kenapa kali ini ia menangis, seolah usai melakukan sebuah kesalahan yang fatal?

Ratu menggeleng lemah, “Gak tau ... gue cuman pengen nangis—,” jawabnya.

Sementara itu, raut wajah Jeffrey berubah menjadi serius dalam hitungan detik.

“Hamil kali ya?”

Kali ini Ratu menggeleng cepat, lalu memeluk Jeffrey dalam keadaan duduk. Ia terisak, lebih keras dari sebelumnya. Pertanyaan Jeffrey barusan kembali membuat Ratu sedih, sebab yang ia tahu, ia tengah kedatangan tamu bulanan sejak kemarin. Sebab Ratu tahu bahwa setelah kembali mengatakan hal itu, Jeffrey akan memasang wajah sedih dan hilang semangat seharian penuh.

Jeffrey membalas pelukan Ratu. Ia mengangguk paham atas apa maksud dari isakan Ratu.

Memiliki anak secepatnya memanglah keinginan Jeffrey. Tapi jika hal itu membebankan Ratu, dan membuat istrinya kesayangannya itu sampai stress—tentu saja Jeffrey lebih memilih untuk menunggu.

“Tidur lagi, yuk?” ajak laki-laki itu.

Jeffrey melepas pelukannya, lalu mengusap bekas air mata hingga cairan hidung milik Ratu menggunakan tangannya.

Tanpa menunggu persetujuan dari Ratu, ia merebahkan tubuh istrinya itu, dan kembali membawa Ratu ke dalam dekapannya.

“Ra, aku tau waktunya gak tepat buat ngomong gini sih—tapi aku takut lupa.” Jeffrey masih setia memeluk dan mengusap punggung Ratu.

“Ngomong aja,” lirih Ratu.

“Kamu ngerasa kalau dada kamu sizenya nambah gak?—aku ngerasa soalnya.”