Dua Belas Malam
Inggit bingung, batinnya enggan mengangkat panggilan vidio yang dilakukan oleh kekasihnya itu. Namun rasa kesalnya kepada Aji lebih dulu dikalahkan oleh perasaan rindu yang telah bersarang didalam hatinya.
Panggilan vidio diterima, detik selanjutnya layar ponsel milik Inggit menampilkan wajah tampan Aji yang selalu ia rindukan.
“Git? Lohh mana ini wajahnya?”
“Gak mau. Aku masih marah.”
Laki-laki diseberang sana terkekeh geli karena mendengar jawaban Inggit.
“Maaf dong Git. Aku mau liat wajah kamu, mau ngomong serius, sebentar aja.” Ujar Aji demi membujuk Inggit.
Lantas gadis itu kini menampilkan wajahnya, membuat Aji tersenyum menang.
“Apa?”
Aji menatap lurus pada layar ponselnya, seolah tengah menatap mata Inggit lekat-lekat. Pandangan laki-laki itu berubah menjadi sendu.
“Git, kita bakal nikah kan? Kamu bakal nikah sama aku kan?” Tutur Aji, sukses membuat nafas Inggit tercekat.
“Iya Mas, Insyaallah.” Jawab Inggit dengan suara sehalus mungkin, pasalnya melihat ekspresi Aji saat ini seperti tengah gelisah.
“Kalo gak nikah sama aku, kamu bakal nikah sama siapa Git?”
Inggit mengernyitkan dahinya, merasa bingung dengan pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut kekasihnya itu.
“Aku bakal nikah sama kamu Mas. Kalau gak sama kamu, aku gak tau deh. Mungkin gak akan nikah?”
Aji mendekatkan wajahnya pada layar ponselnya, membuat Inggit menyadari bahwa mata kekasihnya itu tengah berkaca-kaca. Laki-laki itu menangis.
“Mas Aji? Kamu kenapa mas?”
Aji tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, namun air matanya berhasil lolos.
“Gapapa Git. Mas cuman mau bilang, aku sayang banget sama kamu. Semoga kamu selalu bahagia ya Git?-
dengan atau tanpa aku.”