Dua Sejoli

Kalau ada yang lebih gila dari seorang Sabian Aditama, mungkin Zaid orangnya. Memang benar sih kalau niat hati Zaid memberi tumpangan pada Bian itu baik. Bahkan dengan sangat bangga dia mengatakan kalau Bian lah orang pertama yang dia bonceng dengan motor barunya itu. Bian memijit pelipisnya, pening. Pasalnya motor yang dia lihat dihadapannya ini belum memiliki plat sama sekali.

“Lo tolol banget sih, Id? Gak kuat gue berteman sama lo.”

“Namanya juga motor baru.”

Entah, mungkin memang demikianlah definisi motor baru menurut Zaid. Kinclong, keset, serta tanpa plat motor di bagian depan dan belakangnya. Bian sudah terlalu malas menyuarakan banyak pendapat. Toh, nantinya akan dianggap angin lewat oleh kawannya itu. Beruntungnya bocah seperti Zaid tau banyak jalan tikus di Jakarta—kalau tidak, pasti dia sudah terkena tilang dengan pasal berlapis sejak berangkat ke sekolah pagi tadi.

Bian menghela napas panjang. Dia pasrah. Lagipula dia sudah sekonyong-konyong meminta Mama untuk tidak menjemputnya hari ini.

“Cepetan naik,” kata Zaid.

Dan dengan gerak yang sengaja disentak-sentak, Bian menaiki jok bagian belakang. “Bensin ada, kan?” tanya Bian memastikan.

Zaid mengangguk, “Tapi tetep harus lo isiin.” Kemudian, setelah mengatakan itu motornya langsung melancong meninggalkan area sekolah. Kalau saja Zaid tidak tengah mengendarai motor, mungkin Bian akan memukul kepalanya, atau bahkan mencekiknya (?) Mengingat batas kesabaran Bian sangat minim—bisa-bisanya dia yang menawarkan tumpangan, tapi Bian yang harus bertanggung jawab urusan bensi.


Langit sudah sore, dan jam menunjukkan pukul 15:23 waktu Indonesia bagian Barat. Motor baru Zaid meliuk-liuk di dalam sempitnya komplek perumahan warga, pasar, serta jalanan satu arah lainnya. Yang jelas bukan jalanan raya lengkap dengan seorang polisi pada setiap pengkolannya. Diam-diam Bian membayangkan dirinya yang tengah mengendarai motor, dan alih-alih Zaid—dia akan membonceng Diajeng Pramesti keliling Jakarta. Konyol. Bian bahkan tidak begitu tahu seluas apa kota Jakarta. Dia kan hanya anak laki-laki rumahan yang hanya akan keluar kalau diajak oleh Zaid atau Ozi.

“Pegangan, Sayang. Nanti kamu ketiup angin.”

“Najis!” seru Bian sesaat kemudian, setelah mendengar candaan bodoh yang keluar dari mulut Zaid.

Sementara itu Zaid terbahak-bahak sembari menyetir. Biasalah, kebahagiaannya karena memiliki motor baru itu tak terbendung.