Dukungan Dari Orang No. 1
Di dalam mobil, Bianca duduk terdiam, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama tak beraturan. Jantungnya berdetak lebih cepat, lantaran merasa gugup dan cemas di saat yang bersamaan. Malam ini, ia akan bertemu dengan seorang laki-laki yang dijodohkan oleh sang bunda—sebuah ide yang sempat membuat Bianca langsung menggelengkan kepala dengan begitu semangat saat kali pertama mendengarnya.
Ia melirik ke arah jam tangan perak yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul setengah tujuh malam. Ia masih punya waktu sebelum janji temu di restoran bergaya Prancis yang terletak di lantai sembilan, di sebuah gedung mewah di kawasan Kalibata.
Jalanan di depannya begitu ramai, lampu-lampu mobil dan klakson sesekali memecah keheningan di dalam mobil gadis itu. Sebuah lagu akustik mengalir lembut, tatkala pikirannya melayang ke Sabian—laki-laki yang belakangan ini mengisi hatinya. Kalau boleh berkata jujur, sebetulnya Bianca tidak tahu banyak tentang laki-laki yang akan ia temui malam ini, pasalnya sang bunda kurang begitu memperkenalkan sosok laki-laki itu padanya—namun di dalam hati, Bianca terus-menerus membayangkan sosok Sabian. Mungkin karena ia diam-diam berharap Sabian lah yang akan dijodohkan dengannya, lantaran sedikit ciri-ciri yang sempat ia dengar.
Bianca kembali mengemudi mobilnya—menyeberang ke halaman gedung mewah yang sejak beberapa saat lalu hanya mampu ia amati dari kejauhan. Setelah memarkir mobilnya di basement gedung, Bianca tak membuang waktu sedikitpun. Ia langsung melangkah menuju lift, meski dengan langkah yang sedikit ragu. Gaun midi biru yang ia kenakan terasa pas di tubuhnya, sederhana namun elegan, dengan potongan yang berayun lembut mengikuti pergerakannya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, senantiasa bergoyang santai setiap kali ia melangkah. Di cermin di dalam lift, Bianca memeriksa penampilannya sekali lagi. Lipstik merah muda yang tipis, alis yang sudah rapi, dan sedikit perona pipi yang membuat wajahnya terlihat segar—semuanya tampak sempurna—seakan-akan ia memang sengaja datang untuk menerima perjodohan itu. Lift berdenting pelan saat tiba di lantai tempat restoran berada, dan pintunya terbuka, mengantarkan Bianca pada dunia yang sama sekali berbeda.
Aroma bunga segar—mungkin mawar dan lavender—menyapa hidungnya begitu ia melangkah keluar. Restoran itu terasa seperti berlian tersembunyi di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Lampu-lampu kristal memantulkan cahaya keemasan yang hangat ke dinding-dinding kaca. Jendela-jendela besar menampilkan pemandangan kota yang berkilau, dengan lampu-lampu gedung yang menari-nari seperti kunang-kunang di malam hari. Suara piano akustik mengalun lembut, menciptakan suasana yang intim dan menenangkan, seolah waktu berjalan lebih lambat di sini.
Seorang pelayan berpakaian rapi menyambutnya dengan senyum profesional, “Selamat malam, Nona. Atas nama siapa?”
“Bianca.”
Pelayan itu praktis mengangguk, “Mari….”
Bianca merasakan sedikit keringat dingin di telapak tangannya. Ia diantar, melewati deretan meja yang dihias dengan taplak putih dan lilin kecil yang menyala lembut di atasnya. Di ujung ruangan, dekat jendela besar, Bianca melihat seorang laki-laki yang duduk membelakangi pintu masuk. Punggungnya tegap, mengenakan kemeja hitam yang lengan bajunya tergulung hingga siku. Rambutnya pendek, sedikit berantakan tapi terlihat disengaja, seperti seseorang yang tahu bagaimana caranya tampil menarik tanpa perlu berusaha terlalu keras.
Jantung Bianca melonjak. Ada sesuatu yang begitu familiar dari sosok itu, dan dalam sekejap, ia merasa semakin yakin. Sabian, pikirnya, kemudian senyum kecil tersungging di bibirnya. Bianca membayangkan wajah Sabian yang sesekali terlihat kaku saat tengah bicara dengannya, dan mata laki-laki itu yang akan menyipit saat ia tertawa karena hal-hal remeh. Lantas, harapan itu membuncah di dada Bianca, membuat langkahnya terasa lebih ringan.
Namun, ketika ia menoleh, senyum Bianca membeku seketika. Kedua matanya membola dan napasnya tercekat. Bukan Sabian. Itu orang lain. Wajah yang tengah dipandangnya itu terasa asing—namun, tidak terlalu. Bianca menyadari kalau laki-laki itu tengah menampilkan sebuah ekspresi wajah yang tak jauh berbeda dengan dirinya.
“Bianca, bukan?” Suaranya dalam, dan kedengarannya seperti tengah terburu-buru untuk memastikan apa yang tengah ia lihat.
“I-iya…,” jawab Bianca.
“Gue Zaid!” serunya, seraya menjabat tangan Bianca.
Bianca membalas jabatan tangan itu, sembari mencoba menutupi keterkejutan yang sempat melintas di wajahnya. “Oh, hai, Id!” katanya, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya karena gugup.
Mereka duduk, dan pelayan segera mendekat untuk menyerahkan buku menu. Sesekali Bianca mencuri pandang pada Zaid, mencoba mencerna situasi. Zaid bukan Sabian, tapi ia mengenal siapa laki-laki di hadapannya itu—membuatnya merasa tidak perlu bersikap terlalu kaku. Zaid sendiri juga tampaknya sangat santai, dengan postur yang rileks dan tatapan yang tidak menghakimi.
Dalam diam, emosi Bianca bercampur aduk; ada sedikit kekecewaan karena laki-laki yang dijodohkan dengannya ternyata bukan Sabian, tapi juga merasa lega sekaligus tak percaya bahwa orang yang kini tengah berada di hadapannya adalah Zaid—teman dekat Sabian.
“Jadi gini,” Zaid memulai percakapan, memecah keheningan sambil membuka buku menu dengan gerakan santai, “gue rasa kita berdua ada di sini karena desakan orang tua, ya? Jujur, gue nggak terlalu suka ide perjodohan ini, tapi gue pikir, dateng aja kali—dengan niat baik. Paling nggak, kita bisa nikmatin makan malam enak.” Matanya berbinar dengan sedikit humor, membuat Bianca merasa ketegangannya kian mencair.
Ia tertawa kecil, “Kok, lo bisa tau kalo di sini karena desakan?” kata Bianca, seraya menarik sudut bibirnya. Ia menunduk ke buku menu, mencoba menyembunyikan senyum malunya. Ada rasa hangat di dadanya, seperti ia baru saja menemukan sekutu dalam situasi yang awalnya terasa canggung.
Zaid mengangguk, matanya menyipit penuh tawa. “Tau lah! Lo, kan, lagi deket sama temen gue.” Ia mengedipkan sebelah matanya, dan Bianca praktis tidak bisa menahan tawa.
Kilatan kegembiraan muncul di wajah Bianca, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan favoritnya. Bianca merasa kalau dunianya tiba-tiba menyempit dalam cara yang menyenangkan. “Lo terus terang banget, gue jadi malu!”
“Nggak usah malu, gue udah tau banyak tentang lo dan tentang hubungan kalian.” Zaid bersandar ke belakang, wajahnya penuh tawa. “Bisa dibilang, nggak ada rahasia di antara gue sama Sabian,” timpal Zaid.
Kemudian percakapan mereka mengalir seperti air sungai yang tenang, tanpa hambatan. Mereka membahas mulai dari kejadian menegangkan di malam yang pekat di daerah sekitar kampus mereka beberapa bulan lalu, hingga tentang bagaimana kemajuan hubungan Bianca dan Sabian sejauh ini. Setelah memesan makanan—Bianca memilih pasta carbonara dengan saus krim yang menggoda, sementara Zaid memesan steak dengan saus jamur yang harum—mereka mulai berbincang lebih dalam. Bianca memperhatikan cara Zaid berbicara; penuh semangat tapi tidak mendominasi, dan banyak tawa kecil yang sering muncul di sela-sela ceritanya. Ia mulai merasa bahwa meskipun laki-laki di hadapannya kini bukan Sabian, pertemuan mereka tidak akan sia-sia. Mengenal Zaid mungkin juga sebuah jalan yang diberikan oleh Tuhan, supaya ia dapat mengenal Sabian lebih jauh lagi. Zaid dan Sabian seperti dua kutub magnet yang sangat berbeda namun saling tarik-menarik satu sama lain. Karakter mereka berbanding terbalik, sejauh pengamatan Bianca.
“Tadinya gue pikir yang mau dijodohin sama gue, tuh, dia. Soalnya nyokap gue deskripsiin lo dengan ‘umurnya sedikit lebih tua, dan kampusnya sama’,” kata Bianca.
Mendengar itu, kedua alis Zaid tampak langsung saling bertaut. “Tapi itu general banget, gila… emang orang lagi jatuh cinta, tuh, gitu ya?”
Lantas, Bianca tersenyum malu, hingga wajahnya memanas. Mengakui itu, membuatnya merasa sedikit terbuka, namun untungnya respons Zaid terhadapnya sangat positif.
“Maaf bikin kecewa, ya, karena gue bukan Sabian,” katanya sambil terkekeh. “Tapi jujur, gue udah lama pengen kenal lo secara langsung karena Bian.” Zaid menurunkan suaranya, seolah-olah sedang membocorkan rahasia besar. “Udah lama temen gue itu nggak pernah buka hati, apalagi ngerepons cewek manapun. Tapi semenjak kenal lo, dia berubah.”
Bianca merasa jantungnya melonjak. “Ini serius nggak, sih?” Ia mencoba menyembunyikan senyum lebar yang mulai terbentuk, tapi matanya pasti sudah mengkhianatinya. Ada perasaan bahagia yang membuncah, bercampur dengan sedikit rasa malu karena Zaid bisa melihat reaksinya dengan jelas.
“Iya, serius! Asal lo tau, ya, Sabian itu tipe yang susah suka sama orang, tapi kalau dia udah suka, dia all out. Lo bisa pegang kata-kata gue. Gue tau banget, soalnya gue udah lama kenal dia.” Zaid berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih serius, “Tapi dia pernah punya fase… apa ya, males banget buat deket sama siapa pun. Itu gara-gara cewek dari masa lalunya.”
Bianca mengerutkan kening, rasa penasarannya terpicu. “Siapa? Lo keberatan nggak kalo gue minta ceritain tentang orang itu?” Ia bersandar sedikit ke depan, matanya penuh perhatian. Suasana restoran yang hangat, dengan aroma makanan yang baru tiba dan cahaya lilin yang berkedip, membuat momen ini terasa semakin intim.
Zaid mengangguk, mulai menceritakan dengan nada yang lebih dalam, seperti ia sedang membuka lembaran lama. “Jadi, waktu gue sama dia masih SMA, Bian pernah suka sama satu cewek—namanya Ajeng. Bisa dibilang itu first love dia. Mereka deket, hampir kayak pacaran, tapi gitu deh, anak SMA, masih polos. Bian waktu itu bener-bener butuh perhatian, dan Ajeng bisa kasih apa yang dia butuhin. Tapi gue rasa, Ajeng nggak pernah bener-bener mau punya hubungan yang lebih sama Bian. Tau lah, anak SMA emosinya kayak apa? Bian naif, dan bener-bener kayak orang siap jadi tolol dan mati karena cinta. Banyak masalah muncul, bahkan dia sampai berantem sama orang tuanya. Tapi Ajeng… dia tiba-tiba pindah sekolah, dan ninggalin Sabian. Dia cuma ninggalin surat singkat, bilang kalau dia harus ikut keluarganya pindah. Sabian kacau banget waktu itu. Dia masih kecil, jadi patah hatinya bikin dia trauma. Setelah itu, dia kayak menutup diri, nggak mau deket-deket sama cewek.”
Bianca mendengarkan dengan penuh empati, mencoba membayangkan Sabian yang lembut dan hangat itu dalam versi yang patah hati. Ada rasa iba yang muncul di dadanya, bercampur dengan keinginan untuk memahami lebih dalam. “Kasihan banget… gue nggak nyangka dia pernah ngalamin itu,” katanya pelan, matanya menatap lilin di meja yang apinya bergoyang lembut.
“Iya, tapi sekarang dia udah jauh lebih baik. Dan menurut gue, lo punya andil besar bikin dia jadi lebih terbuka lagi.” Zaid tersenyum tulus, dan ada kehangatan di matanya yang membuat Bianca merasa dihargai. “Gue serius, Bianca. Sebagai temennya dari kecil, gue berterimakasih banget sama lo. Walaupun terkadang gue ngerasa muak ngeliat dia yang lagi kasmaran, tapi nggak masalah. Kalau kalian jadian, gue pasti ikut seneng banget.”
Bianca tersipu, wajahnya memerah. Ia tidak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya tersenyum dan mengalihkan perhatian ke makanan di hadapannya yang tak kunjung ia sentuh sejak beberapa saat lalu. Pasta carbonara di depannya sangat menggoda, dengan saus krim yang mengilap dan taburan keju parmesan yang harum. Aroma steak milik Zaid, dengan saus jamur di atasnya, membuat perutnya semakin lapar. Mereka mulai makan sambil melanjutkan obrolan, memperluas topik pembicaraan. Bianca merasa semakin nyaman dengan Zaid, seperti ia sedang mengobrol dengan seorang kakak atau teman lama. Suasana restoran, dengan gemerlap kota di luar jendela dan musik piano yang lembut, membuatnya merasa seperti berada dalam sebuah film romansa—meskipun ini bukan kencan romantis.
Saat makan malam hampir selesai, Zaid menyeka mulutnya dengan selembar tisu dan berkata dengan nada santai, lalu berdeham singkat. “Gue boleh minta nomor lo nggak? Bukan buat apa-apa, cuma gue pikir kita bisa jadi temen. Lo orangnya lumayan asik, dan gue butuh tempat buat ngomongin Bian.” Matanya penuh harap, tapi tidak memaksa, dan Bianca merasa tersentuh oleh kejujurannya.
“Boleh banget!” jawabnya dengan senyum lebar, merasa lega bahwa malam ini membawanya pada sebuah pertemanan baru. “Gue juga ngerasa lo asik. Seneng busa ngobrol sama lo.”
Mereka bertukar nomor telepon, dan Bianca merasa ada ikatan kecil yang terbentuk antara mereka, seperti dua orang yang baru saja berbagi rahasia.
Pertemuan berlangsung cukup lama, dan perpisahan segera datang. Tatkala pelayan datang membawa tagihan, Zaid bersikeras untuk membayar, tapi Bianca menolak dengan tawa kecil. “Kita bagi dua aja, Id. Jangan rebutan, baru juga temenan masa udah ribut,” katanya, matanya berbinar penuh dengan humor. Zaid akhirnya setuju, dan mereka berbagi tagihan dengan adil, tertawa bersama saat menghitung nominalnya.
Saat mereka berjalan keluar dari restoran, udara malam terasa sejuk di kulit Bianca. Gemerlap lampu kota masih terlihat dari koridor kaca gedung, dan suara lalu lintas Jakarta yang samar terdengar dari kejauhan. Zaid menawarkan untuk mengantar Bianca pulang. “Gue bawa motor, kalau lo nggak keberatan naik motor, gue bisa anter,” katanya sambil menunjuk ke arah parkiran, senyumnya penuh kebaikan.
Bianca tersenyum dan menggeleng, merasa hangat dengan tawaran itu. “Makasih, Id, tapi gue bawa mobil. Mungkin lain kali?”
Namun Zaid menggeleng. “Lain kali minta dijemput Bian aja,” katanya penuh semangat. Ia mengedipkan mata, dan Bianca tertawa, merasa wajahnya memanas lagi.
“Thanks ya buat hari ini. Sampai ketemu lagi!” katanya, melambaikan tangan sebelum berjalan menuju lift.
Di dalam mobilnya, Bianca duduk sejenak, memandang lampu-lampu yang menyala temaram pada dashboard di dalam mobil. Perasaannya jauh lebih ringan dari saat ia datang. Malam ini memang tak membawanya pada cinta seperti yang Bunda harapkan, juga tidak membawanya bertemu dengan Sabian, tapi ia mendapatkan seorang teman baru dan, yang lebih penting, sebuah harapan baru tentang Sabian.