Epilog — Rannisha & Rannielle

Sebuah Kisah Cinta Tragis di Awal Tahun 1799 Silam

Kala itu, Rannielle menatap nanar sebuah rumah besar berarsitektur khas Belanda dihadapannya. Halaman rumah yang sangat luas, hingga mampu membuat setiap orang yang menatapnya, langsung menyadari bahwa pemilik rumah tersebut adalah seseorang yang berkedudukan tinggi dalam pemerintahan Hindia Belanda—pada masa penjajahan.

Tangan Rannielle terus saja mengusap lembut perutnya, sembari menggumamkan sebuah kalimat singkat. “Laten we je vader zien. (Mari kita lihat ayahmu)”

“Elle?” sapa seorang laki-laki berkulit putih itu secara tiba-tiba.

“Jayden? Saya kira kamu ada dirumah. Saya baru saja ingin masuk kesana.” Tunjuk gadis itu mengarah pada rumah besar dihadapannya.

“Apa? Untuk apa kamu ke rumah saya?”

Alih-alih menjawab pertanyaan laki-laki itu, Rannielle justru tersenyum sendu sembari lagi-lagi mengusap perutnya.

“Saya hamil—onze kinderen. (anak kita)”

Wat bedoel je?! (apa maksudmu) Jangan gila, saya sudah memiliki istri!”

Plak!

Wajah Jayden memerah akibat sebuah tamparan yang dilayangkan oleh Rannielle. Tawa sumbang gadis itu, terdengar mengerikan bagi Jayden.

“Ternyata itu alasan kamu tiba-tiba menghilang?! HAHAHA!”

Jayden bergeming.

Rannielle meludah tepat dihadapan laki-laki itu. Batinnya seakan tersayat. Gadis itu menyesal karena dengan mudah memberikan mahkotanya begitu saja pada seseorang seperti Jayden. Bibirnya bergetar, menahan sebuah isak tangis yang hendak keluar. Namun tiba-tiba saja sorot matanya berubah.

“Baik, kalau begitu apakah istri kamu sudah mengetahui perbuatanmu?” sindir Rannielle, seraya menyentuh dada bidang milik Jayden.

Dengan kasar laki-laki itu menepis tangannya. Khawatir jika nantinya ada yang melihat mereka berdua.

“Keparat! Perempuan murahan, pergi kamu dari rumah saya!” seru Jayden.

“Dengar Jayden! Kamu tidak perlu bertanggung jawab. Cukup duduk manis didalam rumahmu, dan tunggu bagaimana reaksi istrimu setelah mengetahui segalanya!” ancam Rannielle sebelum akhirnya pergi meninggalkan Jayden yang tengah membeku karena ucapannya.


Langit malam itu, nampak pekat. Cahaya bintang dan bulan, tertutup awan mendung yang siap untuk menumpahkan hujan. Rannielle meninggalkan saudari kembarnya—Rannisha, sendirian di dalam kamar, karena gadis itu tengah tertidur pulas. Sudah cukup larut, namun Rannielle masih terjaga, karena pikiran yang terus-menerus memutari kepalanya. Ia menatap lurus pada sebuah cermin yang kini tengah memantulkan bayangan dirinya. Perut gadis itu kini mulai sulit untuk ditutupi, sebab usia kandungannya sudah menginjak 7 minggu.

“Bagaimana reaksi Bapak kalau mengetahui ini?” Lirih Rannielle.


Jayden melompat masuk kedalam kamar seorang perempuan yang sempat ia temui tadi siang, melalui jendela. Ia terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika istrinya yang juga tengah mengandung mengetahui tentang perselingkuhannya dengan anak seorang pribumi belakangan ini. Ditatapnya seorang gadis yang tengah tertidur lelap diatas ranjang. Detik kemudian Jayden merogoh sebuah belati yang telah ia sembunyikan didalam saku beberapa saat sebelumnya. Nafas lelaki itu menggebu-gebu, rasa takut dan amarahnya kini telah menjadi satu. Lantas Jayden mendekat kearah ranjang. Dengan sekali ayunan, belati itu menancap sempurna pada dada Rannisha—membuat mata gadis itu membola seketika.

Prangg!

“RANNISHA!”

Jantung Jayden berdegup kencang sesaat setelah ia mendengar jeritan seorang perempuan dibelakangnya. Kepala laki-laki itu berdeyut sangat kuat begitu ia menyadari apa yang telah ia lakukan, sementara matanya melirik pada seorang gadis yang telah terbujur kaku pada sebuah ranjang dihadapannya. Sial, itu bukan perempuan yang aku maksud! Batinnya.

Rannielle beringsut kearah tubuh Rannisha berada. Ia menangis tanpa menghiraukan Jayden yang tengah berdiri tepat dibelakangnya.

“Saya tidak akan membiarkan kamu mengatakan semuanya kepada istri saya.” Bisik Jayden, sebelum akhrinya leyangkan belati pada genggamannya untuk yang kedua kalinya—pada tubuh yang berbeda.

Tubuh Rannielle merosot seketika, sebab lehernya mengeluarkan banyak darah. Sorot matanya memandang Jayden dengan penuh kebencian, sebelum akhirnya ia menarik sudut bibirnya. “Jayden De Groot... S-saya bersumpah.. Kamu laki-laki paling BIADABB!!!”