Finally
Malam ini, seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, akan ada sebuah jamuan makan malam spesial bagi seluruh karyawan Tamacakra.
Senyum Ratu tak henti-hentinya mengembang setelah menghabiskan waktu seharian penuh bersama Jeffreyan, untuk mengelilingi kota Bandung. Semua tindakan dan perlakuan Jeffreyan di hari itu, membuatnya merasa sangat istimewa.
Mulai dari reservasi restauran bintang lima, sewa mobil dengan harga jutaan rupiah hanya untuk mengelilingi kota Bandung, hingga hal sederhana seperti terus memeluk pinggangnya ketika mereka berdua turun dari mobil.
Ratu menghirup udara disekitarnya dengan serakah. Bahkan ujung helai rambutnya memiliki aroma yang sama dengan laki-laki itu.
Bell didalam kamar hotel Ratu, berbunyi. Pertanda ada seseorang diluar sana.
Ceklek!
“Udah siap?” tanya Jeffrey begitu pandangannya bertemu dengan Ratu.
“Udah, tapi ini pendek banget gak sih?”
Jeffrey menurunkan tatapan matanya, kemudian kembali menatap Ratu dan menaikkan sebelah alisnya. “Lo gak nyaman?”
“Nyaman.”
“Terus?”
“Gak tau. Takut lo marahin masa?”
Mendengar jawaban itu, lantas Jeffreyan terkekeh.
“Lo mau pakai bikini juga, kalau perginya sama gue ya gak masalah, Ra.”
“Emang semua cowok sama aja!”
“Enggak. Bukan karna gue mau nikmatin bentuk badan lo. Tapi karna gue siap mukulin orang-orang yang punya niat macem-macem ke lo,” tutur laki-laki itu, kemudian menepuk-nepuk bisepnya dihadapan Ratu.
“Aduh, udah cukup ngang ngeng ngongnya!”
Jeffreyan tersenyum manis hingga kedua lubang pada pipinya nampak semakin jelas. “Ayo?”
Para rekan sekantornya sudah berkumpul di dalam ruang pertemuan yang merupakan salah satu fasilitas, dari hotel berbintang itu.
Ratu mengedarkan pandangannya. Menatap seluruh orang yang juga berpakaian formal, sama sepertinya.
Aneh, batinnya. Tema pakaian malam ini lebih terlihat seperti sedang menghadiri sebuah pesta pernikahan daripada makan malam bersama rekan kerja biasa.
Detik kemudian, netranya menangkap sosok yang tidak asing baginya—Jemian melambaikan tangan ditengah keramaian. Tak hanya Jemian, Ratu juga dapat melihat keberadaan kedua orang tua Jeffreyan, Kila, serta suaminya yang tengah menggendong anak pertama mereka.
“Jeff!”
“Hmm?”
“Lo ngerasa gak sih kalau orang-orangnya nambah?” Ratu meremat lengan Jeffreyan. Sementara laki-laki itu hanya menggidikkan bahunya.
“Kita kesana yuk?” ajak Jeffrey, dengan telunjuk yang mengarah pada sebuah tempat duduk yang letaknya berada di paling depan.
Setelah membawa Ratu ke tempat duduknya, Jeffreyan langsung melangkah pergi. Berjalan menuju microphone yang ada di depan sana.
Suara musik yang sebelumnya mengiringi jamuan makan malam, berangsur-angsur menghilang. Digantikan oleh suara Jeffreyan.
“Selamat malam semuanya!” sapa Jeffreyan kepada seluruh orang yang berada disana.
“MALAM!”
“Kemarin sore, waktu kita semua baru check in di hotel ini, tiba-tiba Yogi nyamperin saya. Dia cengengesan kaya biasanya, terus bilang ... Pak, family gatheringnya kok agak beda? Saya cuman bisa ketawa.”
“Malam ini, saya berdiri didepan sini, untuk kasih tau apa alasan sebenernya..”
“WADUH ADA APAAN NIH?!” teriak Yogi. Membuat seluruh orang yang ada disana tertawa.
“Family gathering tahun ini sengaja saya buat agak lebih istimewa, karena saya sekalian numpang acara.”
Hening. Atmosfer dalam ruang itu, kini berubah. Jeffreyan terdiam sejenak, untuk mengatur nafasnya.
“Teruntuk teman masa kecil saya, rekan kerja saya, sekaligus cinta pertama saya. Ratu Azalea. Bisa tolong kesini? Tadi niatnya saya yang mau ketempat duduk kamu. Tapi kaki saya udah kepalang lemes buat jalan ke sana.”
Sontak suara gelak tawa memenuhi ruangan tersebut. Sementara Ratu bingung bukan main.
Gemas melihat Ratu yang tak kunjung menghampiri Jeffreyan, lantas dengan sigap, Yudhis berjalan kearah Ratu dan membawanya menuju tempat Jeffreyan berada.
“Makasih Yudhis,” ucap Jeffrey, dan dibalas acungkan jempol oleh Yudhis.
“SAHAM DIS! MINTA SAHAM!” seru Dio dari kejauhan, yang langsung mendapatkan pukulan di kepalanya oleh Matius.
Ratu masih sibuk memikirkan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Jantungnya berdegup sangat kencang, terlebih lagi setelah mendengar sorakan riuh para anak buahnya.
“Ra, gue tau mungkin lo kaget. Mungkin juga lo ngerasa kalau ini kecepetan karna gue baru aja bilang soal perasaan gue, dua hari yang lalu. Tapi ... ada disebelah lo selama tiga belas tahun terakhir, dan nyimpen perasaan suka selama sepuluh tahun, adalah waktu yang cukup lama buat gue.”
Gadis itu diam mematung. Memandang Jeffreyan yang mulai berlutut dihadapannya, sembari mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna putih.
“Ekhmm, gue udah siapin ini buat lo ... .”
“Jeff ... .”
“Nikah sama gue, Ra. Gue janji gak akan ada satu kesedihan pun yang bakal masuk ke kehidupan lo setelah itu,” ucap Jeffrey, kemudian membuka kotak cincin tersebut.
“Let all my happiness be yours, all your sadness be mine. Will you marry me, Ra? Lo yang paling tau kalau gue benci penolakan. So, please ... .”
Mata Ratu mulai memanas. Runtuh sudah pertahanannya. Gadis itu menangis dihadapan banyak orang, malam ini.
Namun, alih-alih menatap Jeffreyan, Ratu justru melihat kearah kerumunan orang. Hingga obsidiannya bertemu dengan obsidian sang Mama, dari laki-laki yang tengah berlutut dihadapanya.
Wanita paruh baya itu nampak tersenyum dari kejauhan, lalu menganggukkan kepalanya.
Ratu yang melihat itu, sontak menjatuhkan tubuhnya. Memeluk Jeffreyan dengan sangat erat, sembari menahan tangis harunya.
“Mau. Gue mau jadi istri lo, Jeff!” bisik Ratu dengan penuh penekanan.
Kedua lengan Jeffrey balas merengkuhnya kedalam dekapan penuh kehangatan. Diusapnya punggung Ratu, agar gadis itu merasa lebih tenang.
“Ra?”
Ratu berdeham.
“Salah urutan anjir, harusnya lo ambil dulu cincinya, baru peluk gue!” desis Jeffrey.
“Bisa-bisanya lo rusak momen haru ini, dengan ngomong kaya gitu? Bangsat!”