First Kiss

Ingatkan Anne bahwa kalimat “sebentar” yang Aradean ucapan adalah sebuah kebohongan besar! Entah apa yang laki-laki itu lakukan di dalam kamarnya selama berjam-jam.

Setelah membeli beberapa hal yang dibutuhkan—oleh Anne—mereka berdua pun berniat segera kembali menuju villa.

Sebelumnya Dean mengatakan bahwa ia akan menginap di villa malam ini. Tak ada tanggapan yang berarti dari Adrianne, sebab gadis itu bingung. Haruskah ia merasa senang sebab malam ini akan ditemani oleh seorang Aradean, atau takut karena yang akan menemaninya adalah seorang Aradean?

Senyum masam tercetak jelas pada raut wajahnya. Anne terus saja mengubah gaya duduknya, membuat Dean menoleh.

“Kenapa lagi kali ini?” Tanya laki-laki itu, hanya dibalas gelengan kepala oleh Anne.

Mendengar hela nafas kesal yang Dean timbulkan, lantas Anne memberanikan diri untuk menjawab.

“Pembalut.” Bisik gadis itu lirih, namun masih cukup jelas untuk Aradean dengar.

Mobil menepi dan berhenti seketika. Ah, suasana canggung seperti ini lagi, batin Anne.

“Red day?” Tanya Dean, dibalas anggukan oleh Anne.

Aradean menutup matanya, menghitung dalam hati— sekiranya sampai sebuah hasrat yang tiba-tiba saja muncul dalam dirinya dapat menghilang.

satu

dua

tiga

empat

Lengan kekarnya menarik tubuh Anne—gagal dalam mengatur hasratnya—ia rengkuh tubuh gadis itu, seraya menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Adrianne.

Anne membeku seketika. Entah apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia berteriak?

Hembusan nafas laki-laki itu menerpa permukaan kulitnya. Dingin. Anne membalas pelukan Aradean. Semakin jelas terasa saat bibir laki-laki itu menyentuh lekukan lehernya. Lembut, dingin, serta lembab. Anne takut.

Tubuhnya menegang, dan rasa ketakutan itu ia salurkan pada genggaman tangannya. Anne mencengkram pundak Dean, namun laki-laki itu tak menghiraukannya sedikitpun.

Aradean tidak pernah kehilangan nafsunya akan darah—ia hanya senantiasa menahannya seperti saat ini.

Bibir Aradean masih setia menjamah ceruk leher Anne. Laki-laki itu tengah berusaha menahan nafsunya akan darah Anne, sebab ini belum waktunya.

Detik kemudian kesadaran Aradean kembali. Namun akan menjadi aneh jika ia membuat jarak dengan Anne tiba-tiba, setidaknya begitu batinnya. Lantas bibir Aradean mengecup setiap inci leher gadis itu, hingga Anne melenguh dibuatnya.

Kecupan-kecupan ringan itu kini mulai naik—bibir ranum Adrianne adalah tujuannya.

Anne semakin mempererat cengkraman tangannya pada punggung Aradean. Jantungnya berdegup dengan kencang, sementara matanya memejam rapat-rapat. Wajah gadis itu memanas hingga muncul semburat merah pada pipinya.

Aradean menghentikan kegiatannya, sebelum sempat mendarat bibirnya pada bibir Anne. Netranya menatap wajah Anne lamat-lamat. Disentuhnya sudut bibir gadis itu dengan lembut, lantas Dean tersenyum. Dipagutnya bibir Adrianne dalam keheningan. Sangat lembut, hingga membuat gadis itu berhenti mencengkram punggungnya dan berbalik membalas ciuman yang ia berikan.