First Move

Bianca turun dari motor dengan cepat, kemudian langsung berlari menuju halaman luas sebuah kafe—tempat ia akan bertemu lagi dengan Sabian malam ini. Ia bahkan lupa mengatakan terimakasih kepada sang pengemudi ojek online yang ia sewa. Sepatu kets putih yang ia kenakan sedikit berdecit, setiap kali ia melangkah. Di tangan kanannya, Bianca membawa sebuah tas jinjing berwarna cokelat tua, yang di dalamnya tersimpan sepasang sepatu milik Sabian—alasan utama ia mengajak laki-laki itu bertemu lagi hari ini.

Angin sore sepoi-sepoi, meniup permukaan kulit, hingga rambut Bianca. Membawa beberapa helai dari rambutnya hinggap di atas wajah. Bianca praktis menyibak rambut panjangnya menggunakan jemari tangan. Ia kemudian tersenyum tatkala melihat pintu masuk kafe, di hadapannya. Dari rumah, Bianca sudah merencanakan untuk datang lebih awal, seperti saat pertemuan pertama mereka beberapa hari lalu. Pikirnya, akan ada rasa aman tersendiri kalau ia dapat sampai lebih dulu—memilih meja, mengatur napas, dan menyiapkan diri sebelum Sabian muncul. Ia ingin semuanya terasa terkontrol, setidaknya di menit-menit awal.

Bianca sudah membayangkan kalau Sabian akan datang tepat waktu atau mungkin sedikit terlambat—seperti terakhir kali, dan memberinya ruang untuk duduk, sekaligus memesan minuman terlebih dahulu.

Pintu kaca kafe itu sedikit berderit tatkala Bianca mendorongnya. Kemudian bunyi lonceng kecil di atas pintu, berdenting pelan. Wangi biji kopi panggang bercampur dengan aroma kayu dari furnitur sederhana yang mengisi ruangan, langsung menyambutnya. Itu bukan kafe yang besar, tapi hangat. Dindingnya tak begitu padat dengan hiasan, jendela-jendelanya lebar menghadap trotoar, dan lampu-lampu gantung kuning tua bergoyang pelan di langit-langitnya.

Bianca menarik napas dalam, matanya menyapu ruangan mencari meja kosong—tapi langkahnya mendadak terhenti di ambang pintu. Tuhan, seperti biasa, punya cara sendiri untuk mengejutkannya.

Di sudut ruangan dekat jendela, Sabian sudah ada di sana. Laki-laki itu duduk dengan santai, dan satu dari kedua tangannya memegang segelas thai tea dingin yang permukaannya sudah berkondensasi hingga menyebabkan tetesan air kecil mengalir ke bawah gelas dan membasahi meja kayu di bawahnya. Cahaya lampu kafe memantul lembut di wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tegas dan senyum tipis yang muncul begitu ia menyadari kehadiran Bianca.

Ketika mata mereka bertemu, Sabian praktis mengangkat tangan kirinya sedikit, menyapa dengan gerakan yang ramah.

Laki-laki itu mengenakan kemeja warna biru lembut dengan lengan yang digulung hingga siku, dipadukan dengan celana jeans hitam yang sedikit sobek di bagian lutut. Gaya kasualnya selaras dengan suasana kafe yang santai namun penuh karakter.

Bianca melangkah mendekat. Tangannya memegang tas jinjing yang ia bawa dengan lebih erat, seolah itu menjadi sebuah tameng dari rasa canggung yang tiba-tiba saja muncul, menyergap dirinya

“Udah di sini dari tadi?” tanya Bianca, sebagai sapaan awal.

“Enggak, baru lima menit. Kebetulan tadi di rumah nggak ada kerjaan,” jawab Sabian sambil tertawa kecil. Suaranya hangat, ada kelembutan di dalamnya yang membuat Bianca merasa sedikit lebih rileks.

Namun, dalam diam Bianca sadar kalau laki-laki itu berbohong. Lima menit terlalu singkat untuk seorang barista menyajikan minuman. Terlebih lagi, minuman milik Sabian tampaknya sudah berkurang cukup banyak.

“Duduk dulu.” Perkataan Sabian seketika memecah keheningan Bianca.

Ia tersenyum, lalu menarik kursi kayu di hadapan Sabian. Saat ia kebingungan untuk meletakkan tas bawaannya, Sabian tiba-tiba saja bergerak cepat. Dengan gerakan yang begitu alami, ia meraih tas itu dari tangan Bianca dan meletakkannya di atas meja, tepat di samping gelas minumannya.

Bianca tersentak kecil, tak menyangka Sabian akan melakukan itu. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan ia buru-buru mendudukkan tubuhnya, berusaha menyembunyikan kekikukan yang ia rasakan.“Makasih ya,” ucapnya cepat, sedikit tergagap. Jauh di dalam benaknya, Bianca bertanya-tanya; apakah Sabian sekadar bersemangat karena sudah mengetahui bahwa di dalam tas itu terdapat sepatunya, atau ada niat lain di balik kepekaan dan gerakannya? Mata Bianca melirik ke tas jinjing itu, lalu ke wajah Sabian yang kini tersenyum tipis kepadanya—secara bergantian.

“Apa? Kenapa?” Sabian memiringkan kepalanya.

Bianca menggeleng. Pertanyaan dalam benaknya itu sengaja ia simpan rapat-rapat.

“Oh, ya, minum lo belum ada.” Sabian beranjak, “mau minum apa? Biar gue pesenin.”

“Gue pesen sendiri aja, Sab,” jawab Bianca, cepat, tak ingin merepotkan Sabian.

Namun, Sabian tampaknya tak ingin mengalah.“Biar gue, lo duduk aja. Mau minum apa?” tanyanya, sekali lagi.

Lantas, Bianca mendengkus, pasrah. “Iced matcha latte...”

Detik kemudian Sabian melenggang pergi, memesankan minuman untuk Bianca. Namun kepergian hanya sebentar, sebelum akhirnya ia kembali ke meja mereka, sembari mengantungi dompet.

Tatkala Bianca melihat Sabian yang tengah berjalan mendekat, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari laki-laki itu dibandingkan saat pertemuan pertama mereka di kafe ini. Sebelumnya, Sabian terkesan lebih pendiam, sedikit kaku, dan begitu dingin seakan tak berniat membuka diri. Tapi hari ini, ia terlihat lebih banyak bicara, lebih santai, dan ada kehangatan yang tak Bianca rasakan sebelumnya. Mungkin karena mereka sudah sempat bertemu beberapa kali, atau mungkin karena Sabian sedang dalam keadaan hati yang baik. Apa pun itu, Bianca merasa nyaman—lebih nyaman dari yang ia prediksikan.

“Kita satu kampus tapi gak pernah ketemu di kampus, sebelumnya,” kata Sabian, memulai obrolan dengan nada ringan. Ia meletakkan gelas thai tea-nya di meja, lalu bersandar sedikit ke kursi, tangannya terlipat santai di dada.

“Iya, lah! Gue, kan, di fakultas seni,” jawab Bianca. “Tapi kalo lo mau lebih sering ketemu sama gue setelah ini, bisa aja sih...,” timpalnya sambil tersenyum.

“Bisa, ya?” tanya Sabian, memastikan.

“Bisa! Nanti kapan-kapan gue berkeliaran, deh, di fakultas lo.”

Detik kemudian, Sabian langsung menggeleng sambil tersenyum lebar. “Jangan... banyak cowok,” kata Sabian, menginterupsi.

Seketika, Bianca tersipu, tak menyangka Sabian akan mengatakan itu secara spontan. Pipinya terasa hangat, dan ia buru-buru menundukkan kepala, pura-pura sibuk dengan layar ponselnya.

“Permisi, satu iced matcha latte-nya,” kata seorang pelayan yang baru saja datang membawakan pesanan Bianca ke meja mereka. Sabian mewakili Bianca untuk tersenyum singkat, seraya mengatakan terimakasih.

“Bianca... minuman lo.”

Bianca praktis mengangkat kepalanya, begitu Sabian menyodorkan segelas minuman matcha itu ke kepadanya. “Makasih....” Ia tersenyum kikuk. “Ngomong-ngomong, lucu ya. Kita seumuran, dan adik-adik kita juga sama,” katanya, berusaha mengangkat topik pembicaraan lain—yang lebih menarik, kemudian meneguk minumannya dengan santai.

Mendengar itu, Sabian mengangkat alis, lalu terkekeh. “Sebenernya nggak bener-bener gitu....” Ada sesuatu di matanya yang membuat Bianca merasa kalau ia akan mengatakan sesuatu yang tak terduga.

“Hah?” Bianca mengerutkan kening, bingung. Ia meletakkan gelas minumannya, sebagai tanda tanya.

Sabian menghela napas, lalu mulai bercerita dengan nada yang lebih serius tapi tetap santai. “Kita nggak seumuran, kayaknya gue lebih tua dua tahun dari lo—juga dari Sudirman. Sebelum ngerantau dan kuliah di Surabaya, gue udah sempet kuliah di sini.”

“Serius nggak, sih?”

Anggukan kepala dari Sabian, yang kemudian meyakinkan Bianca. “Gue tadinya ambil manajemen bisnis sesuai permintaan orang tua. Katanya, biar gue bisa nerusin bokap dan punya masa depan yang ‘pasti’. Tapi pas udah di tengah jalan, gue mutusin buat nyerah. Nggak ada minat dan bakat sama sekali. Setiap hari, rasanya kayak disuruh nyanyi lagu yang gue benci.”

Bianca mendengarkan dengan tatapan serius. Ia dapat membayangkan betapa frustrasinya Sabian saat itu, terjebak dalam sesuatu yang tak ia sukai, untuk waktu yang cukup lama. “Terus?” tanya ia, penasaran.

“Terus gue ajak diskusi keluarga dan ngomong tentang itu, di sana. Awalnya mereka kecewa, apalagi bokap. Awalnya dia bilang, ‘udah tinggal sedikit lagi, kenapa nyerah?’. Tapi, gue jawab terus sampai dia sadar dan ngerasa bersalah, soalnya dia emang agak maksa di awal. Akhirnya bokap kasih ijin buat gue pindah jurusan. Tapi gue malah pindah provinsi sekalian,” Sabian tertawa kecil, seolah mengenang betapa impulsif keputusannya waktu itu.

Bianca ikut tertawa, begitu mendengar kalimat terakhir Sabian. Tangannya refleks menutup mulut. “Nggak expect!”

“Gue pikir kalo tinggal agak jauh, gue bisa lebih mandiri dan dewasa. Soalnya kalo di rumah—”

“Lo dimanjain, ya?”

“Iya,” jawab Sabian sambil mengangguk, ada kebanggaan kecil di matanya. “Keliatan banget, ya?”

Bianca langsung menggeleng. “Di elo nggak keliatan. Tapi, kan, gue pernah liat keluarga lo secara langsung. Jadi, gue bisa mikir gitu,” katanya. Takut Sabian salah paham, dan merasa rendah diri. “Terus, lo kenal sama Zaid itu di mana?”

“Zaid?” Sabian tampak bingung. “Tau Zaid dari siapa?”

“Dari story Instagram lo, kan isinya selalu hangout sama dia. Lo pulang ke sini juga bareng dia, kan? Terus Sudirman pernah bilang kalo, temen kost barunya itu 'dua orang yang nggak bisa dipisahin'. Dia juga ada di malem 'itu' kan? Dia yang akhirnya nolongin kita berdua.” Bianca menyebutkan semua sumber yang membuatnya mengenal seorang Zaid.

Usai mendengar jawaban itu, alih-alih langsung menjawab, Sabuan justru tertawa.

“Kenapa, kok, tiba-tiba ketawa?”

“Gapapa, lucu aja. Lo bisa inget semuanya sedetail itu, dan ngomong tanpa terbata.” Kemudian, Sabian menghela napas panjang, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Bianca. “Gue kenal Zaid itu dari lahir. Orang tua kita temenan. Kita TK, SD, SMP, SMA selalu bareng. Terus pisah karena dia masuk univ swasta. Tapi, gue sama Zaid tuh kayak… entah, kenapa... kita selalu ada di perahu yang sama. Waktu gue bilang kalo gue mau keluar dari univ lama, ternyata dia juga punya pikiran yang sama. Kita ketemu, ngobrol, dan akhirnya mutusin buat ngerantau ke Surabaya. Pikir kita dulu itu... biar bebas, tenang, dan bisa jadi mandiri,” Sabian tersenyum lebar, ada kehangatan di nada suaranya saat menyebut nama Zaid.

Mengetahui hal itu, Bianca sontak memberikan Sabian tepukan tangan yang dramatis. Membuat laki-laki itu sedikit kaget, dan menarik perhatian pengunjung kafe lain. “Wow, keren banget pertemanan lo sama Zaid!” ujar Bianca.

Lalu Sabian tertawa, terbawa suasana. “Iya, ya? Katanya, di masa tua nanti, dia mau jadi tetangga gue.”

Dari sana, obrolan mereka mengalir lebih dalam, dan lebih personal. Tak jarang Sabian melempar lelucon kecil yang membuat Bianca tak bisa menahan tawa. Ada satu momen ketika Sabian menceritakan kalau ia dan Zaid pernah bernyanyi di depan kelas—sewaktu SMA—menggunakan suara sengau lantaran kalah taruhan, dan Bianca sampai terpingkal dibuatnya.

Malam semakin larut tanpa mereka sadari. Cahaya lampu kafe seakan lebih terang dibandingkan langit di luar yang kini hanya diterangi lampu jalan dan sorot kendaraan yang tengah berlalu-lalang. Bianca melirik jam tangannya—sudah hampir pukul delapan. Ia tahu, ia harus pulang, meski sebenarnya ia masih betah duduk berlama-lama di sana, mendengarkan Sabian bercerita tentang kehidupan barunya selama di Surabaya, tentang kedua adiknya yang selalu menanyakan kabarnya—sampai terkadang tak nafsu makan jikalau ia tak kunjung menelepon, dan tentang betapa ia akhirnya menemukan sesuatu yang ia sukai.

“Gue pulang dulu ya,” ucap Bianca sambil bangkit dari kursi. Ia meraih tas berisi sepatu di atas meja, lalu menyerahkannya tas itu kepada Sabian, secara formal. “Makasih ya buat sepatunya, pertemuan ini, sama minuman yang lo traktir tadi.”

Sabian mengangguk, menerima tas itu dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya. “Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan ya, Bi.” Entah, sejak kapan Sabian mulai akrab dengan panggilan itu untuk Bianca.

Mereka berjalan keluar bersama. Lonceng kecil di atas pintu kafe kembali berdenting saat mereka melewati pintu. Udara malam terasa dingin, angin bertiup lebih kencang dibandingkan sore tadi, membawa serta aroma asap knalpot yang samar dari jalan raya di kejauhan. Bianca menyingkap poninya ke belakang, siap melangkah pergi—namun, tiba-tiba saja Sabian meraih tangannya dengan gerakan cepat namun lembut.

“Eh, tunggu sebentar,” kata Sabian, nadanya sedikit tergesa.

Bianca menoleh, jantungnya langsung berdegup kencang seperti drum yang dipukul terlalu kencang. “Kenapa, Sab?”

Sabian mengangkat tas berisi sepatu yang baru saja Bianca berikan beberapa saat lalu, dengan tangan kanannya, lalu tersenyum nakal—senyum yang belum pernah Bianca lihat sebelumnya. “Sepatu ini gue pinjemin ke lo, lagi.”

“Hah?” Bianca mengerutkan kening, bingung. Otaknya berputar dan mencoba memahami maksud dari perkataan Sabian, namun nihil.

“Jangan lupa dikembaliin lagi,” timpal Sabian, nadanya penuh maksud yang jelas.

Mendengar itu Bianca tertawa. Akhirnya ia paham apa yang Sabian inginkan. Tawa itu keluar begitu saja, membawa serta rasa lega dan gembira yang tak dapat ia tahan. “Kapan?” tanya Bianca.

“Kapan pun. Kalo lo punya waktu, dan mau nemuin gue di sini lagi,” jawab Sabian, matanya menatap Bianca dengan hangat, penuh harapan yang sengaja tak ia sembunyikan.

Pipi Bianca memerah, jantungnya semakin tak karuan, meski ia menolak tas itu dengan tangannya.

Ekspresi Sabian berubah seketika. Mungkin ia pikir Bianca merasa kurang nyaman dan menolak umpannya mentah-mentah. Akan tetapi, yang kemudian Bianca katakan justru sebaliknya.

“Gue bakal kabarin lo. Mungkin bulan depan, lusa, atau bahkan besok,” kata Bianca. Lalu ia menarik sudut bibirnya makin ke atas. “Tapi, gue harap kita bisa ketemuan di tempat lain, karna Jakarta luas banget, Sab.”

Lantas, laki-laki itu tertawa riang, suaranya menggema pelan di trotoar yang sepi. “Oke, gue tunggu kabar dari lo, ya.”

Bianca hanya tersenyum, sebagai respon—lalu melangkah pergi dengan hati yang penuh perasaan gugup, senang, dan sesuatu yang belum bisa ia definisikan. Meninggalkan Sabian yang masih setia berdiri di depan kafe seraya memandangi punggung Bianca yang perlahan menghilang di tikungan jalan. Tas jinjing warna cokelat berisikan sepatu itu masih di tangannya, dan harapan untuk pertemuan berikutnya membesar di dadanya.