Happy Anniversary

Jeffrey mengangkat cangkir berisikan teh hijau hangat buatan Ratu, untuk bersulang. Niat hati meneguk whiskey malam ini harus ia urungkan sebab besok pagi ada rapat penting dengan salah seorang klien. Bibir cangkir miliknya dan Ratu saling beradu. Menyebabkan suara dentingan memecah keheningan di antara mereka berdua.

Sebelumnya Ratu sempat tertidur, tapi ia langsung terbangun kala suara klakson mobil Aston Martin milik Jeffrey mengganggu rungunya. Kemudian teringat bahwa hari ini tepat perayaan delapan belas tahun pernikahan mereka.

Dan yang paling mirisnya Ratu lupa menyiapkan apapun sejak pagi. Ia bahkan ketiduran. Lantas, kini di hadapan Ratu—Jeffrey tengah cemberut. Bagaimana tidak? Sebelumnya, Jeffrey dengan wajah secerah cahaya matahari siang tadi, menggenggam sebuah box berisikan tas limited edition yang beberapa hari lalu sempat Ratu idam-idamkan untuk dijadikan hadiah di hari spesial mereka. Kemudian, Ratu hanya menyambutnya di depan pintu dengan piyama yang sudah compang-camping serta rambut kusut sebab sudah bercinta dengan kasur bahkan sejak matahari belum sepenuhnya tenggelam.

“Aku masih speechless, bisa-bisanya kamu lupa,” kata Jeffrey sarkas.

Jeffrey memutar bola matanya kesal. “Aku nyiapin hadiah buat kamu dari jauh-jauh hari, tapi kamu apa? Teh doang?” Jeffrey terus menggerutu seperti itu sejak tadi. Namun, tangan kirinya setia menggenggam tangan Ratu di atas meja makan.

Sementara itu Ratu tiba-tiba saja melempar sebuah senyum kepadanya. Senyum yang terkesan sedih, pahit, dan sejenisnya. “Aku minta maaf, ya? Akhir-akhir ini pikiran aku kurang fokus. Gimana kalau weekend ini kita diner di luar, sama Bian? Buat ngerayain anniversary kita.”

Seolah terhipnotis ucapan Ratu barusan, raut wajah Jeffrey melunak. Segera ia letakkan cangkir tehnya, dan melompat dari kursi. Jeffrey mengangkat Ratu tanpa memberikan aba-aba terlebih dahulu. “Dimaafin, tapi malem ini aku mau dinner menu spesial dulu!”

Seketika jantung Ratu rasanya jatuh ke perut. “APA?!”

“Jangan berisik, Ra. Nanti Bian kebangun!”


Jeffrey membaringkan tubuh Ratu di atas ranjang dengan hati-hati. Bukan seperti di cerita-cerita lama kebanyakan yang tokoh prianya mungkin akan melempar sang wanita begitu saja ke atas ranjang kala nafsu mulai menguasai dirinya. Jeffrey masih menggunakan akal sehatnya. Jelas ia tidak akan mau melihat istrinya kesakitan karena dilempar seperti itu.

Ratu terengah-engah mengatur napasnya. Ini bukan yang pertama, tapi entah kenapa rasa-rasanya acapkali melihat Jeffrey dengan tatapan mata seolah membakarnya—Ratu kewalahan. Dia ikut menggila, dan kesulitan mengatasi perasaan terbakar itu.

“Ra, aku ... boleh?” Jeffrey setengah mengerang memecah fokus Ratu kemudian.

Rona merah memenuhi pipi Jeffrey. Mungkin tak hanya pipi, tapi telinganya juga ikut memerah. Tangannya menyentuh rahang Ratu yang kini berada di bawahnya kukungannya dengan lembut. Belum ada jawaban yang keluar dari mulut Ratu.

Tentu saja, Ratu membeku. Bingung harus menjawab seperti apa. Dalam benaknya beranggapan mungkin ada baiknya kalau langsung mulai keintinya saja daripada harus bertanya terlebih dahulu. Memangnya siapa yang tidak akan canggung jika ditempatkan di situasi seperti ini?

Dan disaat yang bersamaan, kala Ratu tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, tangan Jeffrey mencengkram pinggul Ratu erat-erat.

“Ra?”

“Iya. Boleh,” kata Ratu cepat. Ia tersesat dalam napsunya sendiri.

Sontak mata Jeffrey turun, menjamah tubuh Ratu dari dada hingga ke bagian bawahnya yang sensitif, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada wajah Ratu. Rahangnya mengeras seketika.

Tanpa sadar Jeffrey menekan paksa bagian bawahnya yang masih tertutup rapat, menyebabkan Ratu meloloskan sebuah lenguhan dari bibirnya. Jeffrey gila. Permainannya membuat Ratu gila, dan putus asa.

Hanya karena satu, atau dua sentuhan saja—Jeffrey seolah mampu menguasai tubuh Ratu.

“Aku benci banget sama cara kamu, Mas.”

Mendengar itu lantas Jeffrey terkekeh di tengah-tengah kegiatannya. Ia menarik tubuhnya dari atas Ratu, lalu berjalan santai ke arah lemari sambil melucuti piyama bagian atasnya.

“Sinting! Gak jadi?” pekik Ratu.

Awalnya ia kira Jeffrey mengurungkan niatnya atau apa, kemudian ingin mengganti pakaian—ternyata ia salah. Jeffrey mengeluarkan sebuah alat kontrasepsi dari dalam laci lemari pakaian mereka.

“Aku gak mau dimusuhin Bian karna tiba-tiba munculin bayi dalem perut kamu tanpa minta izin sama sekali ke dia,” tutur Jeffrey.

Selanjutnya Ratu dapat melihat Jeffrey yang kembali berjalan mendekat ke arahnya dengan tatapan siap menyantapnya setelah ini. Namun, sebelum itu ia sengaja memadamkan beberapa lampu dalam kamar mereka yang cukup luas. Menyisakan satu lampu menyala dengan cahaya temaram untuk melewati malam panjang mereka berdua kali ini.


Is your punishment, Ra, tapi ini jadi hadiah buat aku. Happy Anniversary, Sayang.”