Hari Perdana

Ibaratnya sudah hampir mencair telinga Bian mendengar bagaimana Zaid mengeluarkan segala macam sumpah serapahnya di atas motor. Maklum, pasalnya di hari Sabtu yang panas ini mereka malah harus berkeliling di bawah teriknya matahar,i demi menuju tempat les yang sejak beberapa hari lalu sering menjadi topik pembicaraan mereka itu. Sebenarnya, yang jadi masalah bukanlah betapa kasar kata demi kata yang Zaid loloskan, tapi karena kata-kata yang terdengar justru lebih mirip dengan suara orang kumur-kumur dibandingkan marah-marah, sebab diadu dengan angin.

“Kalo sampe kita les di sini tapi gak ada hasilnya, itu semua salah lo!” seru Zaid. Pasalnya begitu mereka tiba di tempat les yang dimaksud, penampakan luar bangunannya seperti kurang meyakinkan.

Zaid menurunkan standar motornya, dan menunggu Bian turun dari jok belakang. “Lo masuk ke sini kan atas dasar kemauan lo sendiri. Lagian don't judge book by cover!” kata Bian tidak terima.

“Alah sok Inggris.”

Kaki mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam. Benar saja, bahkan isinya terlihat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan gambaran yang ada di Google.

Ketika tengah sibuk menilai ukuran dan dekorasi yang seadanya di lantai paling dasar, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berperawakan lebih tinggi dari mereka, mengenakan pakaian seragam yang coraknya sama persis seperti bagian luar bangunan tersebut.

“Yang baru daftar ya?”

Bian mengangguk semangat. Ini pasti tenaga pengajarnya!. Sementara itu, di sisi lain ada Zaid yang hanya cengangas-cengenges seolah merasa tidak nyaman.

“Kenalin, saya Xander. Salah satu Tutor di sini.”

“Maaf, Kak siapa tadi? Sender?” tanya Bian memastikan.

Lantas Zaid berbatuk-batuk heboh seketika. Sengaja dibuat-buat, seraya berbisik tepat di telinga Bian. “Xander goblok. Sender mah yang suka ngetweet!” maki Zaid tertahan.

Bian yang sadar akan kebodohannya, sontak menjabat tangan laki-laki itu. Dia sengaja menampilkan sebuah senyum super lebar, sampai-sampai sudut bibirnya terasa perih seketika. “Kak Xander ya—kenalin saya Bian. Terus ini temen saya, Zaid.” Nadanya mirip opening serial Upin Ipin di televisi. Lalu yang dijabat tangannyapun tersenyum.

Kalau Bian boleh jujur, tampang-tampang seperti Kak Xander ini persis seperti impiannya. Mirip karakter dalam sebuah manga—tampan iya, cantik iya, manis juga iya. Dalam benak, tanpa sadar dia memuji visualisasi Kak Xander habis-habisan. Semoga nular, semoga nular. Begitu batinnya.

“Langsung naik ke atas aja, ya. Udah tau kan kelasnya di mana?”

Bian mengangguk. Jelas! Dia kan sekelas dengan Ajeng, sebab sama-sama anak kelas sepuluh. Hanya tinggal mencari di kelas mana gadis bendahara itu berada, kemudian beres!

Kak Xander mengacungkan jari jempol ke arah Bian. Namun, bocah itu justru salah fokus tatkala netranya menangkap ekspresi Zaid. Seperti yang kurang suka melihat keberadaan Kak Xander di sana, padahal kan baru kenalan?

Kemudian, sesaat setelah Kak Xander meninggalkan mereka—Zaid sekonyong-konyong menarik bagian belakang dari kerah pakaian yang tengah Bian kenakan.

“APAAN SIH?!”

“Pulang aja, Bi. Jangan les di sini, sumpah!”

“Kenapa emangnya?” tanya Bian. Nadanya seperti mulai tersulut emosi.

Zaid melepas cengkramannya pada kerah Bian. Dia menghela napas berat. “Lo tau gak yang tadi itu siapa?” Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, yang Zaid dapati justru tampang tak acuh dari Bian yang sontak membuatnya gemas bukan main.

“Itu tuh, yang ngambilin rapotnya Ajeng!” sambung Zaid.

“Calon kakak tirinya Ajeng berarti?”

“Emang Ajeng mau nikah lagi?”

Bian memicingkan matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Zaid. “Bapaknya!” pekik Bian.

“Iya, kata gue juga bapaknya emang mau nikah lagi?”

“Elo tadi nanyanya gak gitu ya, Anjing!”

“Dari awal gue nanya kaya gitu!”