Hari Terakhir

Kalau melihat tanggal, hari ini harusnya jadi hari terakhir Bian melaksanakan ulangan semester ganjil. Sudah hampir dua minggu lamanya Bian merasa makan tak enak, dan tidur tak nyenyak, sebab terus dihantui oleh perasaan takut mengecewakan Mama, Papa, dan Ayah dengan nilai rapornya nanti.

Ini bukan soal dimarahi atau tidak, tapi soal bagaimana pendapat orang tuanya nanti. Mengingat bagaimana caranya menjawab setiap soal demi soal—Bian yakin kalau nilainya nanti pasti banyak yang di bawah rata-rata.

Kemarin, rasa-rasanya lebih dari setengah soal dia jawab dengan asal-asalan.

“Besar atau kecil nilainya itu gak penting. Yang penting kamu jujur.”

Kalimat itu terus saja berputar-putar di kepalanya. Kalimat yang akhir-akhir ini seolah dia jadikan pedoman hidup, kenyataannya tidak seratus persen benar. Bian tahu jelas. Jujur itu baik. Tapi kalau jujur dan mendapat nilai tinggi pasti jauh lebih baik, kan?

Bian duduk dalam ruang kelas yang masih kosong. Niatnya untuk datang sepagi ini adalah untuk belajar dalam keheningan. Kini di hadapannya, di atas sebuah meja kelas yang terbuat dari kayu kemudian dipernis itu tergeletak sebuah buku. Namun, alih-alih belajar Bian justru melamun.

Bagaimana ya caranya agar dapat keluar dari kekacauan ini? Bian ingin sekali keluar dari zona nyaman yang membawanya menjadi malas-malasan seperti ini sejak beberapa tahun terakhir.

Bian mengusap wajahnya frustasi, kemudian sengaja menjatuhkan kepalanya ke atas buku. Sekelebat bayangan wajah kebahagiaan Mama dan Papa saat Bian mendapat nilai bagus muncul begitu saja. “Bian janji semester depan ya Ma, Pa,” gumamnya lirih.

Detik selanjutnya satu per satu murid lainnya datang memasuki kelas. Seketika ramai, jauh berbeda dengan suasana sebelumnya. Dalam benak Bian, entah dia harus bersyukur karena kini telah dibuyarkan dari lamunan, atau harus merasa kesal karena belum sempat dia belajar?

Diam-diam Bian menatap sebuah pensil yang dia genggam sejak tadi—atau mungkin lebih tepatnya sejak seminggu yang lalu. Pensil milik Ajeng itu bahkan sudah semakin pendek diameternya. Bian menarik sudut bibirnya. Dia berniat untuk menggantikan pensil tersebut dengan yang baru nantinya—mungkin selepas pelaksanaan ulangan.

Dan dalam sepersekian detik Bian tersadar—sepertinya selalu ada si gadis bendahara yang tiba-tiba saja muncul dalam pikiran Bian di tengah kegelisahannya. Ini karena sugesti, kebetulan, atau memang jodoh? batinnya. Bian menggeleng cepat. Kenapa lagi-lagi dia kesulitan untuk fokus belajar?!

“Sab?”

Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba gadis itu kini tengah berdiri menjulang di sampingnya. Membuat Bian berjengit kaget seketika.

“Dep?!” pekik Bian, memastikan. Sementara Ajeng yang masih tidak terima dipanggil seperti itu pun hanya bisa merotasikan bola matanya.

“Kamu bengong mulu.”

Bian tersenyum lebar. Senyumnya sengaja dibuat-buat. “Takut. Takut semua nilai ulangannya jelek-jelek, soalnya aku kurang maksimal belajarnya.”

Tak!

Ajeng meletakkan sebuah pensil baru di atas meja Bian. Ujungnya lancip. Sepertinya baru saja diraut beberapa saat lalu.

“Tugas kamu selalu tuntas, kan?” tanya Ajeng, lalu Bian mengangguk. “Tenang aja, nilainya gak mungkin di bawah KKM di rapotnya kalo gitu.”

Kemudian, seperti baru saja mendapat kabar baik sepanjang masa—Bian tersenyum sumringah, tapi belum sempat Bian mengatakan sepatah katapun Ajeng lebih dahulu kembali membuka suara.

“Tuh, pake pensil yang baru, Sab. Pake pensil pendek itu ada mitosnya,” kata gadis itu bisik-bisik.

“Apa?”

“Doain Ibu meninggal.”

“HAH? APAAN SIH?!”

Ajeng tergelak bukan main kala melihat ekspresi terkejut Bian. Tak mau kena semprot setelahnya, gadis itu pun lebih dahulu pergi dari hadapan Bian. “Cuman mitos, Sab!” seru Ajeng dari kejauhan—di seberang tempat duduk Bian.