Holidate
Di awal bulan Agustus ini, cuaca cukup bersahabat. Membuat rencana Jeffrey untuk mengajak Ratu piknik di tengah-tengah hamparan rumput hijau milik salah satu taman kota Jakarta terealisasikan.
Jeffrey sengaja merencanakan piknik, mengingat kandungan Ratu sudah memasuki usia 9 bulan. Sudah menjelang hari persalinan sang istri, Jeffrey tidak mau Ratu merasa stress dan tertekan hanya dengan berada di rumah seharian. Ia ingin Ratu merasa rileks sebelum persalinan pertamanya nanti. Maka dari itu, mengajak Ratu piknik adalah upaya sederhana yang Jeffrey lakukan untuk memberikan Ratu healing.
“Suka gak sama tempatnya?” tanya Jeffrey dengan lembut.
“Suka, Mas!” sahut Ratu yang tengah sibuk menggendong anak anjing mereka selagi Jeffrey menggelar tikar di bawah sebuah pohon rindang.
Jeffrey tersenyum tatkala ia berhasil menggelar tikar tersebut dengan rapi. Selanjutnya Jeffrey meraih sebuah keranjang yang berisikan makanan-makanan ringan yang sudah mereka persiapkan dari rumah. Sudah mirip piknik sungguhan.
Ia menyusun setiap makanan dengan sangat apik, sebelum mempersilahkan Ratu untuk duduk di atas tikar.
Semakin dilihat, Jeffrey semakin tidak sabar menanti kelahiran anak pertamanya. Dalam benak laki-laki itu, sebenarnya ia ingin setidaknya memiliki 2 buah hati dalam keluarga kecilnya. Seperti pada sebuah tayangan televisi acapkali ia lihat—memiliki seorang anak laki-laki dan satu lagi perempuan, agaknya menjadi hal yang sangat Jeffrey inginkan. Namun menurut Jeffrey, semua keinginannya itu kembali lagi kepada sang istri. Pasalnya Jeffrey lebih suka jika segala keputusan dalam rumah tangganya, tidak hanya diputuskan olehnya, melainkan bersama Ratu.
Jeffrey menatap Ratu, dan seketika membuat wajahnya memerah sempurna tatkala mengingat hari kedua setelah pernikahan mereka, dimana istrinya itu mengeluh akibat kurang tidur hanya karena takut Jeffrey yang notabenenya sudah resmi menjadi suaminya itu melakukan sesuatu kepadanya saat sedang tertidur. Konyol, batinnya.
Sudah cukup lama rupanya. Kalau dipikir-pikir usia pernikahan mereka hampir satu tahun lamanya. Tapi kenapa rasanya seperti baru beberapa hari yang lalu?
“Sumpah ya, kenapa, sih? Kaya orang lagi mikir jorok tau gak? Cengangas-cengenges aja!” seru Ratu.
“Emang iya.”
“Dih?”
“Mikirin anjing punya upil apa enggak, ya, Ra?”
Ratu mendengkus setelah mendengar jawaban random yang baru saja keluar dari mulut suaminya itu. “Gak tau, Mas. Kamu tanya aja sama Yudis.” Kemudian Ratu mengangkat tubuh anak anjing mereka tepat di depan wajah Jeffrey, hingga membuat Jeffrey tertawa seketika.
“Gak bisa bahasa binatang, Ra....”
Lantas Ratu terkekeh, “Bisanya bahasa apa?” tanyanya penasaran.
“Bahasa cinta.”
“Aku geli banget setiap kali kamu kaya gini,” cibir Ratu.
“Gak gue kelitikin?!”
Tawa renyah Jeffrey kembali memenuhi indera pendengaran Ratu, dan disaat yang bersamaan Ratu tersadar bahwa tawa seorang Jeffreyan Aditama tidak pernah berubah sejak dulu. Tawanya mampu menghangatkan hati siapapun yang mendengarnya. Lantas Ratu menarik sudut bibirnya. Meski laki-laki di hadapannya ini seringkali bertingkah menyebalkan dan menggodanya, namun menikah dengan Jeffrey bukanlah pilihan yang buruk. Seiring berjalannya waktu, Jeffrey menjadi lebih baik dari sebelumnya. Seiring berjalannya waktu Jeffrey dapat membedakan antara hal yang memerlukan keseriusan dan lelucon. Seiring berjalannya waktu, Jeffrey mampu membangun peran sebagai seorang suami dan calon ayah yang baik dalam keluarga mereka. Ia hangat dan humoris. Persis seperti bayangan sosok suami yang Ratu inginkan sejak usianya baru menginjak belasan tahun.
“Mau minum gak, Ra?” tanya Jeffrey dan dibalas anggukan kepala oleh Ratu.
Tangan Jeffrey terulur, seperti mengusir sesuatu dari pundak Ratu dengan ekspresi wajah kesal.
“Ada semut. Nanti bumil digigit semut!”
Ratu terkekeh. Kemudian Jeffrey meraih sebotol air mineral, dan membukakan tutup botol tersebut untuk sang istri. “Silahkan diminum Yang Mulia Ratu,” kata Jeffrey dengan nada yang sengaja dibuat-buat, seorang tengah memerankan karakter seorang budak kerajaan.
“Freak banget.”
“Ssttt ... buruan diminum, jangan banyak ngomong.”
Helaan nafas pasrah terdengar dari mulut Ratu. Jelas-jelas Jeffrey yang sibuk nyerocos sejak tadi. Usai meneguk minumannya, tangan Jeffrey refleks mengusap bibir Ratu dengan lembut. Padahal hanya bercak air mineral, tapi sebegitu perhatiannya sampai harus diusap segala.
“Aku tuh gak pernah sadar kalau ternyata kamu makin berisi malah makin cantik. Seger banget keliatannya,” ungkap Jeffrey sembari menutup botol air.
“Jadi maksud kamu, aku jelek pas kurus? Aku dulu keliatan gak seger, gitu?”
Jeffrey menggeleng semangat. “Kenapa sih, semua yang keluar dari mulut aku ini, salah terus? Serba salah, udah kaya Raisa.” Jeffrey kemudian mencebikkan bibirnya, dan lagi-lagi membuat Ratu terkekeh.
“Kamu tuh suka bercanda, tapi giliran dibercandain balik langsung baper.” Ratu mengusap tengkuk kepala Jeffrey dengan gemas.
Yang sebelumnya cemberut, kini wajah Jeffrey kembali cerah.
“Ra?”
“Apa, Mas?”
“Kamu suka sama aku karna apa?”
Ratu bergeming.
“Harus ada jawabannya, Ra. Kalau gak ada, aku mogok makan satu minggu!” ancamnya tatkala melihat Ratu yang tampak masih bingung memikirkan jawabannya.
“Kita kenal dari kecil, kan? Aku gak pernah sih mikirin ini sebelumnya—tapi karna kamu tanya ... kayaknya aku suka kamu dari segala aspek deh.”
Refleks Jeffrey menutup wajah dengan kedua tangannya, malu.
“Sangking banyaknya, jadi gak bisa aku sebutin satu persatu—Mas, kamu ngapain, sih kaya gitu?!” timpal Ratu.
“Malu!”
Ratu tertawa tak habis pikir—namun, detik kemudian ia menghentikan tawa tersebut hingga membuat Jeffrey menatapnya khawatir.
“Kenapa?” tanyanya.
“Nih, yang di dalem perut mau diajak ngobrol deh kayanya. Tendangannya gak main-main....” sahut Ratu sembari mengelus perutnya.
Jeffrey yang mendengar jawaban Ratu, lantas mendekatkan wajahnya dengan perut istrinya yang sudah sangat besar itu. “Emang iya? Anaknya papa udah gak sabar mau keluar ya? Kalau gitu besok keluar ya, Dek!” kata Jeffrey semangat.
“Gue yang gak sabar.”
“Ngelahirin?”
Ratu menggeleng, “Ngantemi lo! Besak besok, lo kira ngelahirin itu gampang apa? Tinggal ngeden terus keluar? Ini aja setiap hari gue deg-degan!” kata Ratu bersungut-sungut.
“Tenang aja, nanti kan ada aku yang nemenin kamu.” Lalu Jeffrey mengecup perut Ratu sesaat. “Makasih ya, Ra.”
“Buat apa?”
Jeffrey menghela nafas panjang kala ibu jarinya mengusap mata Ratu dengan hati-hati. “Makasih karna selalu natap aku kaya gini. Mata kamu cantik—yang paling lama aku tatap dari yang terlama.”
Selanjutnya, perlahan-lahan Jeffrey meraih tangan Ratu. Menyelipkan setiap jari-jari tangannya pada jari tangan Ratu. “Kamu orang pertama yang aku tautin jarinya kaya gini, Ra.” Jeffrey tersenyum. “Aku tau kurangnya aku masih buanyak! Masih belum sepenuhnya jadi laki-laki dewasa kaya Papa—tapi percaya sama aku. Aku selalu usahain yang terbaik buat kamu kok, Ra. Aku gak akan buat kamu nyesel karna ubah status kita yang tadinya temenan jadi suami istri. Aku bakal ngetreat kamu selayaknya ratu buat aku. Aku mau rumah tangga kita happy terus pokoknya, sampai kamu dikira gila karna keseringan nyengir....”
“Kumat, kan! Kebiasaan!”
“Bercanda. Jangan serius-serius, nanti kamu nangis karna terharu,” sahut Jeffrey.
“Jadi yang tadi gak serius?”
“Astaga, gak gitu maksudnya! Terakhirnya doang yang bercanda, Ra, kamu mah....”
Ratu terkikik geli. “Masa sih?” tanyanya dengan nada penasaran yang sengaja dibuat-buat.
Kemudian Jeffrey mendelik, dan menarik tangan Ratu untuk menyentuh dadanya.
“Belah aja dada gue, Ra! Biar lo percaya, kalau gue secinta itu sama lo sampai-sampai hati gue bentuknya udah bukan kaya hati lagi asal lo tau!” kata Jeffrey menggebu-gebu.
“Bentuknya apa?”
“Huruf R!”