Home (Finale)
Kalau soal urusan kumpul-kumpul keluarga seperti saat ini, Jemian lah yang paling bersemangat. Maklum, menjabat sebagai mahasiswa semester akhir agaknya membuat adik laki-laki dari Jeffrey itu stress bukan main. Ah, Jemian, si bontot itu meski sudah menginjak usia dewasa tetap saja maunya mendapat perhatian dari banyak orang.
“Gini dong, Jemi capek mikirin penelitian terus. Gak udah-udah perasaan.”
Sore itu, berkat kebaikan hati Papa, seluruh anggota keluarga Jeffrey berkumpul di rumah yang sudah sejak beberapa bulan lalu ia tempati bersama Ratu.
“Ya namanya juga orang kuliah. Kalau mau santai, jadi pengangguran aja,” sahut Mbak Kila yang baru saja datang dari dapur sembari membawa beberapa gelas es teh yang tersusun apik di atas nampan warna merah jambu, kesayangan Ratu.
Jemian mendengkus seketika, sementara Ratu terkekeh. Wanita itu mengusap bagian belakang kepala Jemian. “Sedikit lagi, Jem. Semangat, dong! Kamu loyo banget,” kata Ratu yang kemudian menarik sebuah kursi yang letaknya tak jauh dari tempat duduk Jemian.
“Biannya mana, Mbak?”
“Lagi sama Mama,” bisik Ratu kemudian tersenyum.
Ratu tahu soal perdebatan keluarga mereka siang tadi yang dipicu oleh Jeffrey. Tak ingin Mama mertuanya itu merasakan sakit hati berlarut-larut, lantas ia sengaja membiarkan Mama menggendong Bian kemanapun wanita paruh baya itu mau.
Suara gelak tawa kedua anak Mbak Kila seperti sebuah alunan musik yang sengaja diputar untuk meramaikan rumah itu. Melihat Ciara dan Leon yang berlarian ke sana kemari karena dikejar-kejar oleh ayahnya, membuat perasaan Ratu menghangat. Ia membayangkan kelak anaknya akan seperti itu saat tengah main bersama Jeffrey. Ratu tersenyum. Meski ia sudah lupa bagaimana rasanya bermain bersama orang tua, terlebih lagi bersama sosok Ayah—namun dengan sangat baik hati Tuhan membiarkan dirinya menyaksikan bagaimana hangat dan asyiknya keluarga Jeffrey. Bahkan Tuhan memberikan kesempatan bagi Ratu untuk merasakan langsung kehangatan keluarga itu.
“Mbak Kila liat Jeffrey?” tanya Ratu tatkala Mbak Kila baru saja usai meneguk es tehnya.
Wanita itu terkikik geli. “Di belakang, lagi proses pendisiplinan sama Papa,” kata Mbak Kila.
Jemian yang juga mengerti maksud dari perkataan Mbak Kila barusan, sontak tergelak bukan main. “Lagia, sih, Mas Jeffrey suka gak difilter dulu kata-katanya.”
Jeffrey dan Papa sama-sama menyesap kopi buatan Budhe Lasih beberapa saat lalu. Hitam kental, menyisakan sensasi rasa pahit setelahnya.
“Papa gak mau yang kaya tadi siang keulang lagi, ya, Mas. Kamu gak mau kan kalau suatu saat nanti punya cucu malah dilarang nemuin cucu kamu? Mana yang ngelarang anak kamu sendiri.... Kamu tahu gak hidup itu pasti selalu berkaitan sama karma?”
“Kenapa bahas karma segala, sih?” sungut Jeffrey.
“Lho, Papa serius. Apa yang lakukan, pasti akan kamu rasain di kemudian hari, Mas. Apalagi ke orang tua.”
“Tapi kalau udah minta maaf gak akan, kan?”
“Ya ... tergantung,” sahut Papa.
“Tergantung apa?”
“Tergantung Tuhan.”
Siapa sangka jika tiba-tiba Jeffrey pergi begitu saja meninggalkan Papa di halaman belakang rumah? Bahkan tanpa mengatakan sepatah katapun, Jeffrey berlari masuk ke dalam.
Papa hanya mencibir. Ikut masuk ke dalam, sebab tak ada gunanya ia sibuk memandangi langit yang sudah mulai gelap itu sendirian. Nanti kalau terkena sawan, kan panjang urusannya.
“MAMA MANA?!”
Melihat Jeffrey yang terengah-engah dari arah dapur membuat Ratu dan yang lainnya—yang tengah berada berada di ruang keluarga, lantas saling bertukar pandangan.
“Kenapa?” tanya Mbak Kila.
Enggan menghabiskan banyak waktu untuk berbasa-basi, lantas Jeffrey mengarahkan pandangannya pada Ratu. “Ra?”
“Mama kayaknya di atas deh, sama Budhe Lasih lagi ngajak Bian main,” sahut Ratu dengan raut wajah yang masih tampak kebingungan.
Jeffrey langsung berlari menuju lantai atas. Yang ada di pikirannya saat ini ialah harus secepatnya meminta maaf kepada Mama sebelum sebuah karma yang Papa katakan beberapa saat lalu jatuh tempo.
Anehnya seorang Jeffreyan Aditama....
Jemian hanya geleng-geleng melihat tingkah laku kakaknya itu. Ia tak berniat mengangkat suara sedikitpun, pasalnya ia tengah disibukan dengan buah bakwan kembar di masing-masing tangannya.
“MAMA!” seru Jeffrey tatkala melihat punggung mamanya.
Tanpa memperdulikan Budhe Lasih yang notabennya sebagai asisten rumah tangganya, Jeffrey sekonyong-konyong memeluk pundak Mama. “Maafin Mas Jeffrey ya? Maaf soal yang tadi siang.”
Paham dengan apa yang tengah terjadi, Budhe Lasih pun menggendong si kecil Bian, dan pergi meninggalkan keduanya.
“Udah Mama maafin,” kata Mama sembari mengusap lengan Jeffrey yang memeluk tubuhnya.
“Beneran?”
“Iya.”
Jeffrey beringsut ke hadapan Mama. “Kok cepet banget?” tanyanya penuh penasaran.
Mama terkekeh, “Iya, soalnya Mama ngerasa deja vu. Dulu Papa juga seposesif itu kalau soal anak-anaknya. Apalagi waktu Mbak Kila baru lahir.”
Jeffrey melongo seketika. Papanya itu, lagi-lagi berhasil memanipulasinya. Si tua bangka kebangetan, batinnya.
“EMANG IYA YA? APAPUN MAKANANNYA, MINUMNYA TETEP LUDAH SENDIRI?!” seru Jeffrey. Sengaja agar sang Papa mendengarnya.
Lalu tanpa merasa malu sedikitpun, Papa membalas cibiran Jeffrey tengan tawa terbahak-bahak. Agaknya Papa merasa sangat puas karena telah mempermainkan anak laki-lakinya itu.
“GAK JELAS! BAPAK-BAPAK GAK JELAS!”
Rumah milik Jeffrey mungkin tidak sebesar rumah kedua orangtuanya. Mungkin juga belum dapat menyaingi rumah keluarga Mbak Kila. Namun, pemilihan konsep yang tepat mampu membuat siapapun yang berkunjung ke sana merasa nyaman sampai ingin berlama-lama berada di sana.
Jeffrey sampai merasa kesal, kenapa para keluarganya ini tak kunjung pulang ke rumah masing-masing, meski jam dinding sudah menunjukan pukul setengah delapan malam. Alhasil Ratu harus repot-repot memperingatkan Jeffrey untuk mengontrol ekspresi wajahnya.
“Apaan tuh, Budhe?” tanya Jemian kepada Budhe Lasih yang berjalan melalui ruang keluarga dengan menenteng sebuah benda persegi panjang yang terlihat cukup besar.
Sontak yang lainnya ikut menoleh.
“Bingkai foto, Mas.”
Kening Mama berkerut, “Kamu udah foto keluarga, Mas?” tanya Mama, sambil menatap Jeffrey. Bingung, pasalnya baru beberapa hari yang lalu Jeffrey mengatakan bahwa akan membuat foto keluarga setidaknya saat Sabian sudah bisa tersenyum ke arah kamera dengan benar.
Jeffrey menggeleng.
“Ini bukan foto keluarga, Ma. Cuman waktu itu aku sama Jeffrey iseng aja minta dibuatin ginian dari foto lama kita.” sahut Ratu.
“Itu apa, sih? Terus buat apa?” tanya Mbak Kila penasaran.
Baik Jeffrey maupun Ratu, keduanya tersenyum, “Buat pajangan di kamar kita,” jawab mereka secara bersamaan.