Jalan-Jalan Sore
Sudah melewati dua bulan masa kehamilan, dan dokter mengatakan bahwa keadaan janin dalam perut Ratu sangat sehat. Couvade syndrom yang beberapa hari kebelakang ini Jeffrey alami pun tampaknya sudah berangsur-angsur menghilang, pasalnya Jeffrey sudah jarang mengeluh akibat merasa mual pada perutnya.
Sore ini, Jeffrey membawa Ratu jalan-jalan. Menghirup udara segar di taman kota, dengan telanjang kaki sebab sandalnya ditenteng oleh Jeffrey sendiri.
Kata dokter, jalan kaki untuk seorang ibu hamil itu banyak manfaatnya. Seperti, memelihara tekanan darah, menjaga kenaikan berat badan, hingga membuat ibu hamil merasa lebih nyaman dan senang karena efek pengeluaran dopamin. Yah, benar saja, bukti saat ini istrinya itu tengah mesam-mesem di sampingnya. Jeffrey mengikuti pandangan Ratu, istrinya itu tengah menatap pada seekor anjing anjing pug yang sangat lincah meski telah diikat di bagian leher.
Jeffrey menarik sudut bibirnya. “Mau?” kata Jeffrey.
Merasa tengah diajak bicara, lantas Ratu menoleh ke arah Jeffrey. Sebelah alis Ratu terangkat. “Emangnya bumil boleh pelihara hewan?” tanya Ratu. Pasalnya sering kali ia mendengar tentang larangan memelihara hewan bagi ibu hamil.
Sebelum menjawab pertanyaan Ratu, Jeffrey menuntun Ratu dengan hati-hati menuju salah satu bangku yang ad di taman tersebut, membuat Ratu terkekeh. Jeffrey berlebihan baginya. Ratu diperlukan layaknya seorang wanita yang tengah hamil, dengan perut yang sudah besar. Namun, di sisi lain ia sangat senang diperlakukan sedetail itu.
Melanjutkan perbincangan yang sempat terjeda barusan, “Yang gak boleh itu pelihara binatang liar, Ra. Misal, ada kucing warteg terus kamu bawa pulang ke rumah, itu gak boleh. Kalau kamu mau pelihara, kita bisa adopsi anak anjing yang asal-usulnya jelas, terus divaksin,” tutur Jeffrey dengan lembut.
Manik mata Ratu berbinar seketika. “Aku mau.”
“Tapi ada syaratnya—,” kalimat Jeffrey menggantung di udara. “Kamu harus langsung cuci tangan, kalau abis kontak fisik sama anjingnya nanti. Kamu gak boleh ndusel-ndusel ke anjing. Kamu gak boleh deket-deket sama kotorannya, dan urusan kandang jadi tanggung jawab aku.”
Layaknya pernyataan yang tidak dapat terbantahkan, Ratu tahu jika tidak ada satu poin pun dalam aturan yang Jeffrey katakan barusan, yang mampu ia ubah. Lantas Ratu hanya bisa mengangguk patuh.
“Mau anak anjing jenis apa?” tanya Jeffrey.
Ratu menggerakkan dagunya tepat ke arah dimana seorang anjing pug yang menjadi awal pembicaraan mereka mengenai peliharaan sebelumnya berada.
“Mau anjing yang mukanya tolol kaya gitu, Mas.” Kemudian Ratu menjebik gemas.
“Astaga mulutnya, dikontrol ya ibu,” kata Jeffrey tak habis fikir.
“Kenapa sih? Padahal aku bener. Kamu gak ngerasa kalau anjing punya orang itu, mukanya tolol?” sanggah Ratu.
“Ya iya, tapi jangan doggy shaming gitu dong lo. Nanti kalau dia denger terus sakit hati, gimana?”
Ratu tertawa seketika. Entah karena ia yang memiliki selera humor yang begitu rendah, atau karena perkataan Jeffrey yang barusan, memang terdengar cukup menggelitik. Namun, tiba-tiba saja tawa Ratu terhenti karena ada sesuatu yang kini membuat merasakan desiran aneh acap kali ia tertawa. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam perutnya, siapa lagi kalau bukan Jeffrey junior?
Jeffrey yang peka melihat perubahan ekspresi pada wajah istrinya itu, sontak merasa khawatir.
“Kenapa?” tanya Jeffrey.
Ratu menggeleng. “Gapapa. Anak kita kayanya kurang suka kalau aku ketawa brutal,” kata Ratu.
“Nyeri, Ra?”
“Enggak, cuman rasanya aneh.”
Jeffrey mengangguk paham. Batinnya, mungkin terasa seperti ada benda asing yang akan ikut bergerak naik dan turun, setiap kali istrinya itu tertawa. Kemudian, dengan lembut tangan Jeffrey menyentuh perut Ratu. Diusapnya perut Ratu yang kini sudah tidak lagi rata seperti berbulan yang lalu. Jeffrey menyalurkan kehangatan pada telapak tangannya.
“Baik-baik ya di dalam perut istri aku!”