Jam Besuk

Sudirman hanya bisa menggeleng frustasi usai mendengar kronologi kemalangan yang baru saja menimpa Sabian kemarin malam, dari mulut Zaid.

Sementara itu, yang bersangkutan justru sibuk pura-pura tak mendengar percakapan kedua temannya, dan mengalihkan pandangannya ke segala arah, sambil sesekali membuat kedua jempol kakinya yang berada di balik selimut itu beradu.

“Eh!”

Seakan mendapat sebuah sinyal bahwa sapaan itu ditujukan untuknya, Sabian sontak menoleh ke arah sumber suara.

Suara helaan napas kasar Sudirman terdengar begitu jelas setelahnya.

“Mau lo bawa celurit sekali pun, bukan berarti lo bisa menang ngelawan penjahat!” kata Sudirman sengaja menghardik.

Zaid langsung manggut-manggut dibuatnya. “Dia emang selalu goblok kalau ada sangkut pautnya sama perempuan.”

“Gak kayak gitu, ya!” timpal Sabian.

Namun, alih-alih menarik kembali perkataannya barusan, Sabian dapat melihat bagaimana Zaid secara tiba-tiba merangkul pundak Sudirman.

“Dia itu, selalu masuk rumah sakit gara-gara perempuan, Dir!” kata Zaid, dengan gestur tubuh seperti tengah berbisik, meski kenyataannya masih terdengar begitu lantang oleh telinga Sabian.

“Ealah, ben dianggep super hero opo'o?” (biar dianggap super hero apa gimana) cetus Sudirman.

Lalu, Zaid tampak mengiyakan perkataan Sudirman barusan.

Melihat itu, Sabian sontak menggaruk telinganya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Eh, gue tau, ya—lo berdua lagi ngomongin yang jelek-jelek tentang gue!” cetus Sabian tak terima.

Keduanya praktis menggeleng. Bohong.

“Apa yang Zaid bilang itu, fitnah! Gue pernah juga masuk rumah sakit karena hal lain, selain perempuan! Gue pernah tipes!!”

“Iya, tapi cuman sekali, kan? Sisanya gara-gara perempuan.”

“DUA KALI!”

Belum sempat Zaid menimpali perkataan Sabian barusan, Sudirman sudah lebih dahulu membekap mulut Zaid.

“Jangan ribut, ini rumah sakit.”

Hening kemudian. Hanya terdengar suara kendaraan bermotor yang berasal dari jalanan di luar gedung rumah sakit itu. Maklum, keberadaan gedung tersebut begitu dekat dari simpang empat jalan raya.

Lalu, sorot mata Sabian mengikuti arah kaki Zaid melangkah. Sahabat karibnya itu tanpa rasa canggung merebahkan diri di atas salah sebuah ranjang rumah sakit yang kosong. Kebetulan, Sabian memilih kamar rawat inap kelas satu—meski ada dua ranjang, namun, hanya Sabian yang tengah menjadi pasien rawat inap di sana.

“Bajingan, aku inget awakmu kondo wes ra kuat lunggoh! Iku onok kasur nganggur, Cok!” (aku ingat kamu bilang udah gak kuat duduk! itu ada kasur nganggur)

“Semalem ada pasiennya. Tanya aja Bian!”

Sabian yang sadar bahwa namanya baru saja disebut, lantas mengangkat dagunya. “Apaan?”

“Semalem ada pasien, kan, di sini?”

Sabian mengangguk. “Iya, pas gue sadar, kirain gue sendirian dan kasurnya cuman satu karena ketutupan tirai-tirai. Ternyata ada pasien satu lagi, tapi tadi siang dia dipindahin ke ICU.”

“ICU??”

“Ya, gue sempet liat, pasiennya emang udah dipasangin banyak alat waktu masih tidur di ranjang itu. Mungkin sakitnya makin parah.”

“Mesakno...,” (kasihan) kata Sudirman, lirih.

“Bayangin, kalau gue gak dateng nyelamatin lo, bisa masuk ICU juga lo, Anjing!”

Mendengar perkataan Zaid barusan, sontak membuat Sabian diam-diam berkata 'iya' di dalam hati. Ia mengulum senyumnya. Senang lantaran masih ia dapati tubuhnya yang utuh beserta hasil rontgen yang menunjukkan organ vitalnya tak apa-apa meski sudah dipukuli sampai hilang kesadaran setelahnya.

“Ngomong-ngomong, perempuan yang lo tolongin itu—ada dateng ke sini buat ngejenguk?”

Sabian menggeleng. “Kayaknya dia gak tau kalau gue dirawat di sini.” Ia beranjak kemudian. “Gue juga gak yakin kalau dia inget muka orang yang udah nolongin dia, karena ... gue sendiri gak sempet liat mukanya lebih dari tiga detik,” timpal Sabian, sembari berusaha turun dari ranjangnya.

“Eh, mau ngapain?” tanya Zaid. Ia langsung beringsut menghampiri Sabian dan menahan lengan Sabian agar tetap berdiri tegak.

“Pipis.”

Tak ingin repot-repot ikut turun tangan, Sudirman memilih untuk duduk sembari mengawasi kedua kawan barunya itu. “Ati-ati kesandung sikilmu, Id! Iso tibo lho koncomu.” (hati-hati tersandung kakimu, Id. Bisa jatuh temen kamu)