Jangan Takut Sendiri

Tepat pukul 5 sore, Jeffrey memandang Ratu yang masih tertidur lelap sejak siang tadi. Setelah mendatangi dokter kandungan, istrinya itu bak diserap habis seluruh tenaganya. Padahal seingat Jeffrey, sang dokter, atau bahkan dirinya tidak sama sekali meminta Ratu untuk melakukan sesuatu yang berat.

Jeffrey menekan saklar lampu. Seketika kamar mereka berdua jauh lebih terang daripada sebelumnya. Dapat Jeffrey lihat, wajah Ratu masih pucat, bahkan kening istrinya itu berkeringat dingin.

Dengan hati-hati Jeffrey naik keatas ranjang. Takut kalau-kalau pergerakannya dapat membangunkan Ratu.

Jeffrey merentangkan tangan kanannya, kemudian tangan kirinya perlahan-lahan mengangkat tengkuk sang istri. Diusapnya pucuk kepala Ratu perlahan-lahan. Sorot mata Jeffrey turun menatap lekukan demi lekukan pada wajah sang istri.

Jeffrey menyunggingkan senyumnya.

Ternyata benar kata orang-orang—ibu hamil akan memancarkan aura kecantikan yang berbeda dari sebelumnya. Meski pucat, dan ditambah dengan bercak jejak sarung bantal, wajah istrinya itu tampak cantik luar biasa.

Dalam keheningan, Jeffrey kembali mengingat-ingat keanehan yang muncul dalam diri Ratu beberapa hari yang lalu—Jeffrey terkekeh. Bisa-bisanya ia mengira bahwa usaha pertamanya telah gagal begitu saja hanya karena ketidaksabaran dalam dirinya. Bisa-bisanya ia meragukan sang bibit unggul yang telah ia tanamkan dalam rahim Ratu.

Kemudian karena suara kekehannya—Ratu menggeliat dalam tidurnya. Wanita itu akhirnya terbangun dan membuka matanya.

“Mas?” lirih Ratu, begitu ia membuka mata.

“Apa?”

“Aku mimpi kalau aku hamil.”

Hening sesaat. Jeffrey mencoba untuk mencerna apa yang baru saja Ratu katanya, lalu dengan gemas ia mendepak tubuh Ratu.

“Bukan mimpi, Ra. Kita beneran abis ke rumah sakit tadi siang, dan kamu beneran hamil.”

!Deg

Ratu beringsut mendorong tubuh Jeffrey, agar melepas pelukannya. Matanya membola seketika.

“Bercanda, kan?” tanya Ratu.

Jeffrey bingung harus menjawab apa, pasalnya ekspresi wajah Ratu kali ini sulit untuk diartikan. Dengan tatapan nanar, Ratu menyentuh perutnya yang memang tak lagi rata seperti sebelum-sebelumnya.

“Mas ... aku ... masih belum siap ngelahirin. Aku belum siap kebangun semaleman buat—ya—aku belum siap jadi orang tua,” kata Ratu terbata-bata. Tangannya sedikit gemetar.

Sementara itu, Jeffrey menaikkan sebelah alisnya. Jujur saja, apa yang baru saja Ratu katakan, cukup melukai egonya.

“Ra—.” Suara Jeffrey kemudian mengalihkan atensi Ratu dari perutnya.

“Kita—gue dan lo, bikin dia—,” ujar Jeffrey sembari menunjuk lurus kearah perut dengan jari telunjuknya. “Dalam keadaan sadar.”

“Gue tau kalau di malam itu, gue abis minum. Tapi gue gak teler, Ra. Gue sadar atas setiap perbuatan yang gue lakuin, dan ... gue yakin lo juga. Gue yakin kalau sebelum kita ngelakuin hubungan intim itu, gue sempet tanya ke lo, apa lo bener-bener udah siap atau belum. Gue yakin kalau sebelum kita ngelakuin itu, gue bahkan nyuruh lo tetep buka mata buat make sure kalau lo sadar kita ngelakuin itu dengan dan atas persetujuan lo—.” Nafas Jeffrey memburu.

“Terus menurut lo, kalau bukan anak kita yang keluar—apa, Ra? Mobil Aston Martin keluaran terbaru? Kipas angin cosmos wadesta? Atau apa sih?”

Kesal karena tak kunjung mendapat jawaban, lantas Jeffrey mendekat. Tangan kanannya meraih dagu Ratu. “Gue nanya, Ra. Jawab!”

Ratu geming. Untuk kedua kalinya, ia dihadapkan dengan Jeffrey yang seperti ini—baginya cukup menyeramkan.

Tak hanya enggan menjawab pertanyaan Jeffrey, Ratu juga enggan menatap manik mata suaminya itu. Ia takut.

Jeffrey menghela nafas. Dalam benaknya, ada begitu banyak argumen kekesalan yang ingin ia sampaikan. Dalam benaknya, ingin sekali rasanya ia memaki wanita di hadapannya itu hingga ia tersadar akan kesalahannya. Tapi dengan susah payah, Jeffrey mengurungkan niat.

Jeffrey memilih untuk kembali menarik Ratu ke dalam dekapannya. Dan Ratu dapat merasakan dengan jelas bagaimana kencangnya degup jantung Jeffrey kala itu.

“Aku minta maaf, barusan ngomongnya pakai urat. Maaf,” bisik Jeffrey. Tak lupa kedua tangannya sambil mengusap punggung sang istri.

“Yang ada di perut kamu itu—calon anak kita, Ra. Kalau kamu pikir aku siap, sebenernya enggak juga. Aku sama takutnya kaya kamu. Aku takut kalau aku gak bisa tanggung jawab atas kamu sama dia. Tapi menurut aku ... siap gak siap, kita harus siap—,”

“Karna itu udah jadi pilihan kita dari awal,” tutur Jeffrey dengan lembut.

Meski tak ada satu katapun yang keluar dari mulut Ratu, namun Jeffrey dapat merasakan kalau wanita itu membalas pelukannya, bahkan kini jauh lebih erat. Jeffrey mengerti, menjadi seorang ibu nantinya akan lebih berat. Menjadi seorang ibu nantinya bukan hanya perihal tanggung jawab yang dibutuhkan, tapi juga rasa sakit saat melahirkan, ditambah lagi dengan kesediaan Ratu untuk terus menggendong, bahkan menyusui anak mereka kelak, kurang lebih selama 2 tahun lamanya.

Pundak Ratu gemetar, menandakan istrinya itu tengah menahan tangisnya. Jeffrey yang menyadari hal itupun spontan mengecup pundak Ratu sebanyak tiga kali, seperti yang biasa ia lakukan setiap kali Ratu menangis dalam dekapannya.

“Ada aku, Ra. Ada aku terus disebelah kamu ... jadi jangan takut.”