Jeffrey & Bekal

Jika biasanya Jeffrey akan bangun terlebih dahulu, kemudian bersiap untuk pergi ke kantor dengan cara mengendap-endap layaknya seorang maling, hanya karena khawatir membangunkan sang istri—maka hari ini kebalikannya, ia memilih untuk membangunkan Ratu pagi-pagi buta.

“Ra, bangun dong!” rengeknya, tak lupa sembari mengguncang-guncang tubuh Ratu dengan membabi buta.

Karena di luar sedang dilanda hujan berkapasitas sedang, ditambah lagi dengan minimnya pencahayaan sebab matahari benar-benar tertutup awan mendung pagi itu, Ratu memilih untuk tetap melanjutkan acara pura-pura tidurnya dan mengabaikan Jeffrey.

Namun Jeffrey tetaplah Jeffrey yang selalu ingin sesuatu berjalan seperti keinginannya. Lantas, meski dengan bersusah payah, sebab matanya masih sedikit berat—Jeffrey beranjak meraih benda apapun di dekatnya untuk dijadikan sebagai pentungan.

“RA BANGUN! AKU MAU DIBAWAIN BEKEL KAYA YANG LAINNYA!! RAAAA!” seru Jeffrey di tengah-tengah kegiatannya memukul-mukul bagian punggung sebuah gitar klasik, yang sebelumnya terpajang dengan apik di sudut ruangan.

Hingga Ratu yang merasa terusik pun, akhirnya memutuskan untuk menyerah. Membodohi seorang Jeffreyan adalah sebuah tindakan yang sia-sia.

“Diem, Jeff.”

Mendengar suara yang keluar dari mulut Ratu, Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika. Ia beringsut meletakkan gitarnya dan lari menghambur ke arah Ratu yang masih setia berbaring di atas ranjang.

Ia memeluk perut Ratu, dan kepalanya bersandar pada dada istrinya itu, dengan nyaman. Seperti biasa, berpura-pura bertingkah gemas demi sesuatu, adalah bakat Jeffreyan.

“Aku mau bawa bekel, Ra. Masa Yudhis yang belum punya istri bisa ikutan trend, tapi aku enggak?”

Selanjutnya Jeffrey mengangkat kepalanya, memberikan Ratu sebuah tatapan paling melas dan diikuti dengan bibir mencebik yang sengajak ia buat-buat.

Ratu yang sudah hafal dengan trik suaminya itu, lantas menarik nafas panjang. Biasanya, jika tidak dituruti, Jeffrey akan merasa sakit hati kemudian murung seharian penuh.

Ya, seperti itulah sifat laki-laki 24 tahun yang tengah menempeli tubuhnya itu.

Kemudian dengan sangat terpaksa, Ratu mengiyakan. Entah apa yang akan ia masak pagi ini. Asalkan sudah bilang 'iya', maka semuanya beres, batin Ratu.

Jeffrey tidak memberi tanggapan apapun, dan masih setia memeluk tuh Ratu tanpa adanya celah untuk melepaskannya.

“Lepas dulu! Jadi dimasakin gak?!” tanya Ratu bersungut-sungut, dan dihadiahi gelengan kepala oleh Jeffrey.

“Cium aku dulu, Ra.”

“Udah minta dimasakin pagi-pagi, minta dicium juga. Banyak ma—”

Belum sempat Ratu menyelesaikan kalimatnya, Jeffrey lebih dulu mengecup singkat bibir Ratu.

“Bawel banget lo, yang ikhlas orang mah. Biar masuk surga!”