Jeffrey's Baby

Jeffrey mengunci layar ponselnya sebelum memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celananya. Ia sudah menenteng kantung plastik berisikan air mineral kemasan dan beberapa roti di dalamnya. Kemudian, dengan langkah besar ia berniat untuk kembali ke ruangan dimana Ratu berada. Mengingat saran yang Papa berikan beberapa saat lalu, ada benarnya kalau saat ini seharusnya ia menyingkirkan segala perasaan takut, dan juga pikiran buruknya.

Tidak ada waktu untuk menenangkan diri dan meninggalkan Ratu yang tengah dilanda kecemasan sendirian. Sebagai kepala keluarga, sudah sepantasnya Jeffrey menenangkan Ratu di saat-saat seperti ini. Lagi pula sering kali Ratu yang selalu meredakan kecemasannya dalam banyak hal—kali ini adalah giliran ia yang melakukan hal tersebut.

Sekitar pukul sepuluh pagi, langit kota Jakarta agaknya terlihat lebih gelap. Sangat mendung. Seperti karena sudah beberapa hari belakangan ini tidak turun hujan.

Jeffrey mempercepat langkah kakinya, ia ingin mengatakan sesuatu sebelum dokter anestesi dan para perawat membawa istrinya itu. Jeffrey tidak bercanda saat dirinya mengatakan hanya cukup dengan satu anak, pasalnya degup jantungnya sudah tak karuan hanya dengan mengetahui bahwa istrinya itu harus melahirkan secara caesar, bagaimana dengan sang istri? Pikirnya begitu.

“RA!” pekik Jeffrey tatkala melihat Ratu yang sudah didatangi oleh beberapa perawat dalam ruang sebelumnya. Benar saja, sepertinya Ratu akan segera dibawa untuk diberi suntikan anestesi. “Sebentar, Dok. Jangan dibawa dulu, saya mau ngomong sama istri saya.” Lantas dokter dan beberapa perawat di sana seolah mengerti dan meninggalkan Ratu yang tengah terduduk di atas kursi roda, dan juga Jeffrey yang kini berlutut di hadapannya.

“Ra?”

Ratu bergeming, ia bingung, entah apa yang harus ia katakan? Sementara lidahnya saja terasa begitu kelu karena sangking takutnya akan operasi besar yang sebentar lagi akan ia jalani.

“Jangan takut, ya, Ra? Aku emang gak ikut masuk dan liat kamu secara langsung—tapi, aku ada di luar, Ra. Kamu gak akan kenapa-kenapa kok. Aku janji kalau ini gak akan sakit. Kalau ternyata nanti rasanya sakit, kamu boleh cubitin aku sebanyak yang kamu mau, tapi syaratnya harus langsung pulih, oke?” Jeffrey meraih tangan Ratu, lalu menggenggamnya erat. “Abis ini, kalau kamu gak mau punya anak lagi gak apa-apa, Ra. Tapi yang ini harus bisa dilewatin, ya?” kata Jeffrey.

Alih-alih menjawab perkataan Jeffrey, Ratu justru memejamkan matanya. Ia gemetar, dan tentu saja tak luput dari pandangan Jeffrey.

“Aku gak takut. Aku gak takut. Aku gak takut,” gumam Ratu yang membuat Jeffrey memeluk tubuhnya seketika.

Jeffrey mengusap kepala hingga punggung Ratu dengan lembut. “Iya, jangan takut. Aku nunggu kamu di luar pokoknya.”

Ratu membalas pelukan Jeffrey, ia tahu bagaimana laki-laki yang tengah mendekapnya itu hanyalah seorang Jeffreyan Aditama yang nyatanya juga masih memiliki mental seperti anak kemarin sore. Ratu jelas tahu kalau dibalik perkataan penyemangat Jeffrey barusan, ia juga sama takutnya.

Berikutnya sang dokter anestesi dan para perawat kembali, dan meminta izin untuk membawa Ratu.


Sekiranya ada lebih dari lima orang di koridor rumah sakit yang tengah menunggu operasi caesar Ratu berlangsung. Jeffrey, Mama, Papa, Mbak Kila dan keluarga kecilnya, Jemian, serta Yudhis bersama dua lainnya. Siapa lagi kalau bukan Matius, dan Dio?

Mereka semua menunggu lampu tanda operasi tengah berlangsung itu mati. Sudah lebih dari satu jam, namun belum juga muncul tanda-tanda para dokter dan perawat akan keluar.

“Ayo taruhan?” bisik Yudhis pada Matius dan Dio yang tentu saja didengar oleh Jeffrey karena ia berdiri tak jauh dari ketiganya.

“Apaan?” sahut Dio.

“Anaknya si Jeff cowok apa cewek?”

Matius yang sebelumnya tidak merespon, kini melirik ke arah Yudhis. “Gue pilih cowok. Kalau sampai gue bener, lo lari keliling rumah sakit ini.”

“ANJ—”

“Language...,” lirih Jeffrey.

“Iye sorry.”

Tiba-tiba Jemian berdiri dari tempat duduknya, “Mas! Operasinya udah selesai, tuh!” seru Jemian membuyarkan perhatian yang lainnya.

Tak lama kemudian pintu ruang operasi terbuka, menampilkan sosok seorang dokter dengan raut wajah tersenyum. “Bapak Jeffreyan?”

“Iya, saya?”

“Selamat ... anak anda sehat, dan berjenis kelamin laki-laki.”

Mendengar itu, sontak semua orang yang berada di sana tersenyum lebar, kecuali Yudhis.