Kalau Bian Jauh dari Rumah

Sepoy angin kota Jakarta pagi ini merambat masuk ke dalam kemeja coklat yang Bian kenakan. Seragam Pramuka katanya.

Di depan Bian ada Zaid yang terus menggerutu. Kesal, sebab apel pagi yang tak kunjung usai. Padahal dia yakin setengah mati kalau begitu tiba di tempat perkemahan nanti, dia akan kembali melakukan kegiatan semacam ini. Berdiri setidaknya hampir satu jam ditemani teriknya sinar matahari. Lencang kanan, lencang kiri, kemudian istirahat di tempat untuk mendengarkan amanat. Belum lagi pembacaan Tri Satya, dan Dasa Darma Pramuka. Terdengar hela napas panjang dari Zaid.

“Tolong ini kapan jalannya, sih?!” kata Zaid. Meski kesal, dia masih berbisik. Takut kalau-kalau didengar oleh Kakak Pembina, dia akan diseret keluar dari barisan.

Bian berdecak, “Bisa gak lo tutup mulut lo itu? Gue jadi ikut tertekan dengernya!”

“Gak bisa, Anjing. Gue kesel bang—”

Perkataan Zaid menggantung di udara, dan sepertinya tersapu begitu saja oleh angin. Namun demikian Bian mengikuti ke mana perginya sorot mata Zaid.

Dengan cengiran lebar, dan jalan petantang-petetenteng, Ozi masuk ke dalam barisan yang lebih sedikit siswanya. Ya, itu yang mereka lihat. Padahal seingat Bian, Ozi sendiri yang mengatakan bahwa dirinya tidak mungkin mengikuti kegiatan ini.

“Dia jadi apaan? Pembina?” tanya Bian.

Zaid menggeleng, “Elo nanya ke gue? Terus gue harus nanya ke siapa, Bi?” jawab Zaid yang kemudian mengaduh sebab bokongnya dipukul oleh Bian.

“Pelecehan!” Zaid bersungut-sungut.


Dugaan Bian soal Ozi yang berubah pikiran dan ikut mewakili OSIS dalam acara perkemahan kali ini benar adanya. Buktinya sekarang kawan sekaligus kakak kelasnya itu tengah berdiri di hadapannya.

Tadi sekali, begitu tiba di tempat berlangsungnya kegiatan perkemahan yang telah ditentukan, para siswa diminta untuk segera mendirikan tenda masing-masing. Lalu, saat Bian dan Zaid tengah sibuk mendirikan tenda kecil mereka, Ozi sekonyong-konyong datang. Seakan-akan bukan perkara besar soal baginya meminta untuk menumpang tidur malam ini.

Sontak, baik Bian maupun Zaid, raut wajah mereka sama-sama nelangsa. Sudah sempit, ditambah Ozi. Persis seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Bisa-bisanya dia terpikirkan untuk numpang tidur di tenda kecil itu. Bian menarik napas dalam-dalam. Kalaupun tidak diizinkan, dia sudah bisa membayangkan bagaimana menyedihkannya Ozi yang akan kepanasan dan kehujanan di luar tenda. Lantas Bian melempar tatapannya pada Zaid. Selanjutnya seolah mendebatkan sesuatu melalui sorot mata mereka.

“Gak!” pekik Zaid. Agaknya dia kurang setuju.

Detik kemudian yang mereka dapati adalah ekspresi paling menyedihkan yang pernah Ozi tunjukkan. Dia sendiri jelas tidak sampai hati melihat Ozi yang sangat lesu seolah tengah terserang tifus!

“Lo tega sama dia, Id?”

Zaid melirik ke arah Ozi. Dia hanya mengerutkan keningnya, entah apakah Bian dapat menangkap gestur itu.

“Satu malem doang....” timpal Ozi lirih.

“Yaudah!”

“Tapi lo harus ikut kontribusi buat perut gue sama Zaid nanti malem, Ji. Terus jangan lupa besok ikut beresin tendanya. Kalo enggak, elo yang gue beresin!”

Bian itu baik, sangat baik! Tapi, kalau soal perhitungan jelas levelnya jauh di atas Zaid. Mungkin Zaid terpaksa mengizinkan Ozi tidur di dalam tenda mereka. Tapi kalau Bian, yang dia pikirkan selain tentang pertemanan, juga sekaligus memanfaatkan keadaan. Prinsipnya, semua yang ada di dunia ini tidaklah gratis. Seperti yang dia katakan kepada Ozi barusan, ada syarat dibalik izin yang dia berikan.

Seolah tak ada habisnya. Usai mendirikan tenda, lagi-lagi para siswa diharuskan untuk berkumpul di tengah-tengah lingkaran tenda-tenda kosong. Sebut saja briefing, kata Kakak Pembina.

Dari yang Bian tangkap, malam ini akan ada kegiatan jerit malam untuk mencari kupon sarapan esok harinya. Selebihnya apa? Entahlah, Bian justru sibuk memandangi barisan para putri di hadapannya sebab ada sosok Ajeng yang paling menonjol di sana.

Maklum, gadis itu sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan gadis lainnya. Otomatis tak begitu sulit untuk mencari Ajeng di antara banyaknya siswi lain.

Kedekatan Bian dan Ajeng sulit dijelaskan. Sejauh ini mereka sering kali bertukar cerita satu sama lain, meskipun Bian yang lebih sering mengobral ceritanya daripada Ajeng. Masih ada belum Ajeng sampaikan pada Bian. Tentang dirinya, tentang latar belakang keluarganya, dan masih banyak lagi. Namun di sisi lain, Bian enggan mengorek lebih dalam. Takut kalau-kalau keingin-tahuannya nanti justru menjadi taburan garam di atas luka milik Ajeng. Mengingat informasi yang Zaid sampaikan tempo hari, memang sepertinya urusan keluarga gadis itu sedikit sensitif. Toh Bian sudah cukup bahagia acapkali melihat Ajeng tertawa. Gadis itu seolah tak memiliki beban berat di pundaknya. Gadis itu seolah tak pernah ditinggalkan dan kehilangan sebelumnya meski apa yang ada di kenyataan berbanding terbalik.

Untuk saat ini, Bian merasa mungkin atmosfer di dalam keluarganya memang seringkali buruk, tapi konfliknya tentu saja tidak seserius keluarga Ajeng.

Bian memutuskan untuk menunggu sampai saatnya nanti sosok Diajeng Pramesti yang penuh rahasia itu menghampirinya dengan membawa sejuta kisah dalam hidupnya untuk dia ceritakan.

Sadar sudah terlalu lama menatap wajah Ajeng, bocah itupun mengalihkan pandangannya. Sepertinya nanti sore akan turun hujan, jika dilihat dari gelapnya langit bagian timur sebab tertutup oleh awan-awan hujan.

“Untuk sekarang kalian boleh kembali ke tenda masing-masing. Nanti sore, sekitar pukul tiga—kamar mandi umum akan dibuka. Kalian bisa ngantri mandi di sana nanti.”

Barisan siswa dibubarkan. Dan semuanya kembali ke tenda masing-masing. Soal ramalan cuaca oleh Bian, ternyata ada benarnya. Mungkin karena angin bertiup kencang, maka awan mendung lebih cepat mengunjungi tempat perkemahan daripada perkiraan sebelumnya. Masih terlalu pagi untuk gerimis. Alhasil ada banyak kegiatan yang harus ditunda, dan digantikan dengan kegiatan bincang hangat di dalam tenda.

“Biasanya kalo abis ujan gini, jalanan jadi licin. Karna rumput sama tanahnya basah, lo berdua harus hati-hati pas jalan. Jangan meleng!”

Bian menguap seketika. Hal-hal semacam itu, jelas dia sudah paham. Ada kalanya bagi Bian—Ozi ini terlalu cerewet untuk seukuran anak laki-laki usia delapan belas tahun. Persis seperti ibu-ibu yang hobi sekali menceramahi anak-anaknya—siapa lagi kalau bukan Bian dan Zaid?

Sementara di sisi lain ada Zaid yang sibuk manggut-manggut, tapi wajahnya tampak serius.

“Ngomong-ngomong nih, elo sama bokap lo gimana, Bi? Udah damai?” tanya Zaid.

Bian menggeleng lemah. Kurang yakin dengan jawaban yang ada di kepalanya. “Dia minta maaf, tapi gue belom. Dia juga udah kayak biasa aja, tapi menurut gue, kita masih ... awkward?” sahut Bian. Kini wajahnya ikut serius seperti halnya Zaid.

“Perasaan-perasaan kayak gitu emang harus lo tanganin gak, sih? Emangnya mau sampai kapan lo judes ke orang tua lo?” Oke, kali ini Ozi kembali angkat bicara.

“Abis pulang dari sini ... mungkin.”


Hari itu, pagi hingga menjelang sore, hujan turun sangat deras. Benar-benar banyak kegiatan yang harus mereka lewatkan.

Sempat terbesit di pikiran Bian, kenapa tidak ada yang memanggil Mbak Rara untuk menangkal hujan? Sebab baginya kemah ini merupakan suatu hal yang sia-sia. Tahu begini, lebih baik di rumah. Menonton televisi. Makan bolu-bolu bantet karya Mama yang rasanya terbilang lumayan. Melihat Mama mondar mandir dengan kemoceng yang sengaja diapit pada ketiaknya, sambil menggerutu tidak jelas soal Budhe Lasih yang seringkali melarangnya untuk ikut turun tangan di dapur. Ah, jadi kangen.

Entah dapat angin dari mana, Bian langsung beranjak dari tempat duduknya. Kemudian sekonyong-konyong melangkahi tubuh Zaid dan Ozi yang tengah merebahkan diri di dalam tenda itu.

“Bangsat nih anak kaga ada sopan-sopannya!” seru Ozi yang diamin oleh anggukan kepala Zaid.

“Eh sorry, gak liat.”

“Gede kaya gini gak keliatan, buta apa gimana?!” timpal Zaid.

Bian tak acuh. Dia hanya mengedikkan bahu, kemudian sibuk mencari keberadaan ponsel di dalam tas ranselnya.