Kalender baru, semester baru.

Pagi ini cerah, meski kelembaban tanahnya masih cukup tinggi akibat diguyur hujan semalaman. Bian diantar oleh Mama lagi ke sekolah, sama seperti masa liburan sekolah dimulai—mungkin sekitar dua atau tiga minggu yang lalu?

Tidak begitu banyak yang berubah di tahun baru ini. Mama masih sama, tipikal ibu-ibu yang akan meramaikan rumah sejak pagi buta. Papa juga, masih terburu-buru meninggalkan rumah untuk berangkat kerja. Kebiasaan orang-orang, serta atmosfer di sekitar Bian masih sama seperti tahun lalu. Rasanya hanya Bian yang berubah. Pergantian suasana hati Bian tidak lagi seekstrem biasanya—yah, setidaknya itu yang dia rasakan. Agaknya karena komunikasi antar Bian, Mama, dan Papa akhir-akhir ini sangat membaik, serta banyak waktu yang mereka habiskan bersama.

Memang benar, Bian sejatinya hanya butuh sedikit waktu juga perhatian. Bian sejatinya hanya mendamba luapkan kasih sayang secara nyata—bukan sekedar materi dari Mama dan Papa.

“Nanti Mama harus jemput jam berapa?” Suara Mama tiba-tiba memecah keheningan di dalam mobil. Lembut, berbeda dari beberapa saat lalu—saat masih di dalam rumah dan menyiapkan segala keperluan Bian dan Papa.

“Ntar Bian kabarin,” kata Bian singkat. Kemudian, Mama hanya manggut-manggut.

Kalau Bian lihat-lihat, Mama itu multitasking. Meski ada satu asisten rumah tangga di dalam rumah, yaitu Budhe Lasih—Mama sering terlihat mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sendiri. Ditambah lagi siap mengantar jemput Bian setiap hari. Tiba-tiba saja terbersit di pikiran Bian kalau Mama juga harus mengantar jemput dirinya saat les—mungkin itu ide yang gila. Bawel-bawel begitu, Mama jarang sekali mengeluh apalagi melakukan penolakan. Bian jadi khawatir.

“Mama?”

Bian menatap Mama yang terus fokus menatap jalanan di depan sana. Mama mengangguk untuk sekedar memberi tanda kalau dia masih bisa mendengar Bian, bahkan tanpa harus menatapnya.

“Bian butuh motor, Ma.”

“Mama udah berkali-kali bilang ke Papa kalau kamu mau motor, tapikan kamu tau sendiri Papa kayak gimana, Bi?” Tepat saat Mama merespon perkataan Bian, mereka sampai di depan gerbang sekolah. “Alesan Papa itu jelas—karna kamu belum punya SIM. Mama kan jadi mati kutu, gak tau mau jawab apa lagi,” timpal Mama.

Ada benarnya. Bian tahu mungkin hampir seluruh jalanan di Ibukota itu padat merayap—tapi kan tidak semua jalanan ada polisinya? Begitu batin Bian.

Bian menghela napas panjang, seraya menatap Mama yang kini juga tengah menatapnya. Alis Bian seketika terangkat. Bingung melihat ekspresi wajah Mama.

“Apa?” tanya Bian.

“Kamu gak turun? Gak sekolah?”

Lantas bocah itu mendelik. Kenapa belakangan ini waktu terasa begitu cepat saat dia tengah bersama Mama atau Papa. Sepertinya beberapa saat yang lalu mobil Mama baru saja keluar dari pekarangan rumah.

“Malah ngelamun!”

“Kok cepet banget sih, Ma?!”

“Apanya?” tanya Mama kebingungan.

“Gak jadi. Ya udah, ntar pulangnya dikabarin—Bian sekolah dulu—” Usai mengatakan itu, Bian sekonyong-konyong mengecup pipi Mama sebelum akhirnya melepas seat belt dan pergi begitu saja.


Suara riuh terdengar dari dalam kelas. Di dominasi oleh teriakan para anak perempuan yang sepertinya tengah ketakutan. Awalnya Bian heran, ada gerangan apa yang menyebabkan keributan bahkan di waktu sepagi ini? Namun, begitu dia memasuki kelas—Bian langsung mengerti.

Di belakang, di antara segerombolan anak-anak perempuan yang memojokkan tubuh sebab ketakutan, ada Zaid yang dengan wajah jahilnya mengangkat tinggi-tinggi seekor belalang.

“HIHH APAAN NIH?? HIHHHH!” seru Zaid, sengaja menakut-nakuti para anak perempuan.

Meski sebenarnya belalang bukanlah sesuatu yang begitu menyeramkan, tapi lain halnya kalau binatang tersebut sengaja disodorkan tepat di depan wajah!

Bian awalnya acuh tak acuh, dan memilih melenggang begitu saja menuju ke tempat duduknya sampai suara salah seorang perempuan memekakkan telinganya.

Usut punya usut belalang tersebut melompat begitu saja, kemudian hinggap tepat di pundak Ajeng yang baru saja berteriak histeris.

“ZAID! ZAID ANJINGGGGGG!” racau Ajeng tak tertahan.

Dan di saat Zaid memutar tubuhnya untuk melarikan diri, yang dia dapati adalah Bian dengan tatapan paling horor dari yang pernah dia lihat sebelumnya.

“Bi....”

“Ambil, Id.”

“Dia loncat sendiri ... demi Tuhan!”

“Ambil, Id. Sampai itu masuk ke dalem baju dia—gue sobek-sobek baju lo, Id.”

Mati! Bian hanya berbisik demikian, tapi bulu kuduk Zaid berhasil merinding! Kemudian dengan tampang cengangas-cengenges Zaid berbalik. Mendekati Ajeng, sementara Bian menyusul di belakangnya.

“Ajeng, gue minta maaf ya. Sini diambilin, tapi jangan bergerak!” kata Zaid, sembari sesekali melirik Bian.

Anak perempuan lain sibuk memperhatikan bagaimana Bian mengontrol Zaid bahkan hanya dengan perkataan. Memang benar kalau Zaid itu yang paling nakal di dalam kelas, tapi Bian ibaratnya sudah level up. Buktinya Zaid saja menciut seperti ini.

Tak ada respon apapun yang Ajeng tunjukkan, dia sibuk menutup mata rapat-rapat saking gelinya pada binatang tersebut.

“Diem ya, jangan gerak loh....”

“ZAID ANJING MASUK, ID! ZAIDDDDD!” pekik Ajeng tatkala belalang tersebut justru masuk melalui kerah seragamnya.

Tanpa pikir panjang, Zaid memutuskan untuk berlari menjauh dari Bian seketika. “BI GUE GAK SENGAJA BI! BANGSATT JANGAN APA-APAIN GUE!”