Kata Bian; Nyaman
Sambil cengangas-cengenges Bian membukakan pintu untuk Papa. Kalau boleh jujur sebenarnya saat ini Bian tengah salah tingkah. Dia bingung tentang apa yang harus dilakukan setelah membuka pintu depan. Peluk? Cium? Atau salam? Begitu batinnya.
Papa yang tengah berdiri sambil menatapnya kebingungan justru membuat suasana menjadi canggung seketika. Siapapun, tolong. Bian benci suka situasi yang seperti ini.
“Bi?”
Bian melihat ke arah mata Papa yang hampir sejajar dengan sepasang mata miliknya. Bagian lucunya, tiba-tiba Papa tertawa entah karena apa. Mengabaikan Bian yang tengah kebingungan seorang diri.
“Papa kenapa ketawa?”
“Kamu ngapain bukain Papa pintu?” Papa lanjut terkekeh, lalu berjalan masuk melewati Bian begitu saja.
“Lagi pengen aja.”
“Mau minta motor?”
Bian tidak menjawab, dan memilih mengekori Papa kala itu. Berjalan menghampiri Mama yang baru saja kembali dari dapur sambari mengenggam segelas air putih dingin yang sepertinya baru saja di tuang dari dalam kulkas.
“Bian kenapa tuh, Ra—” Kalimat Papa terputus, sebab barusan Papa mencium kening Mama dengan hangat meski masih di hadapan Bian.
Mama yang mendengar itu, lantas menarik sudut bibirnya. “Mau ngobrol berdua sama kamu katanya.” Sambil menyerahkan gelas berisi air dingin, Mama berkata demikian.
Di sebelah Mama, Bian memasang wajah tegang. Dia masih belum memikirkan harus meminta maaf dengan gaya seperti apa pada sang Papa. Berbeda dengan Mama—Papa itu sudah kebal jika diberi kata manis juga janji-janji.
“Mau ngobrolin apa?”
“Motor,” kata Bian, sengaja memberi jawaban yang asal-asalan.
Papa berdeham. “Papa mau mandi dulu, masih bawa setan dari jalanan.”
“Bian udah ngantuk, Pa.”
Mama yang semula hanya menguping pembicaraan Bian juga Papa, seketika menyentuh pundak Papa sekaligus mengusapnya dengan lembut. “Sebentar aja, Mas, abis ini mau aku suruh tidur anaknya,” pinta Mama yang kemudian diamini oleh Papa.
“Oke, ayo kita ke balkon.”
Di sini lah Bian dan Papa sekarang. Di balkon yang pencahayaan terbilang cukup remang-remang, dengan angin malam yang bebas bertiup sepay-sepoy menyapu permukaan kulit mereka. Keduanya seakan saling menghindar dari tatapan mata satu sama lain. Keduanya sama-sama menumpu siku pada sebuah palang pembatas balkon yang terbuat tiang besi.
Helaan napas Papa yang tiba-tiba terdengar kasar, sukses mengusik Bian. Lantas Bian sengaja berbatuk meski tenggorokannya tidak gatal.
“Ini kalau gak jadi ngomong, mending Papa mandi aj—”
“JANGAN!”
“Shht—gak usah teriak-teriak, kamu kayak pengen digebukin aja. Jadi, mau ngobrolin apa?”
Bian menghela napas panjang. “Bian lupa belum minta maaf ke Papa kayak waktu minta maaf sama Mama.”
Lantas kening Papa bertaut, seakan memperlihatkan bahwa Papa tengah berpikir keras. “Minta maaf sambil nangis-nangis maksudnya?” tanya Papa sengaja meledek.
Bian spontan berdecak, “Kenapa yang Papa tangkep cuman bagian itunya, sih?”
“Tapi emang itu kan maksudnya? Udah lah, kamu gak usah repot-repot jual air mata ke Papa.”
“Jual air mata?! Bian nangis pakai hati ya!”
Untuk sejenak, Papa tertawa. “Jadi lebih baik aja ke depannya. Jangan ngulangin kesalahan yang sama. Kamu tau? Seumur-umur, Papa gak pernah liat Mama kamu semarah waktu itu. Percaya sama Papa, Bi—Mama kamu itu selalu jadi orang pertama yang ngelindungin kamu, bahkan dari Papa. Dia gak pernah marah. Gak bisa dia marah sama kamu. Jadi, kalau sampai dia nampar kamu pakai tangannya sendiri ... kamu tau artinya apa?”
“Bian udah kelewatan.” Pada akhirnya Bian menjawab dengan lirih.
“Bener itu. Terus ... apa kamu bakal jadiin kejadian itu sebagai pelajaran?”
Bian mengangguk.
“Jatuh cinta sama lawan jenis di usia kamu yang sekarang ini wajar, Bi. Gak aneh. Tapi kamu harus inget kalau ada juga yang punya cinta buat kamu. Tau gak siapa?” Papa memutar tubuhnya, dan meraih pundak Bian. “Keluarga,” sambung Papa.
“Bian minta maaf.”
“Berhenti minta maaf. Buktiin kalau emang kamu nyesel dan mau berubah.”
Lagi-lagi Bian hanya bisa mengangguk paham, dengan sorot matanya terus menatap ke bawah. Lalu dengan segenap perhatian Papa merentangkan tangannya lebar-lebar seraya tersenyum.
“Peluk?”
“Gak usah.”
Tapi Papa tetap memeluk erat tubuh Bian meski yang diterimanya adalah sebuah penolakan.
“Nyaman...,” kata Bian lirih.
“Apa?”
“Nyaman.”