Kata Mama yang Penting Makan
Bian duduk di atas ranjangnya. Ranjang yang berdekatan dengan jendela kaca yang mengarah langsung ke sebuah balkon.
Pundak anak laki-laki itu merosot, sebelum akhirnya memutuskan untuk merebahkan diri di samping guling bersarung seprei warna abu-abu yang sejak tadi menemaninya dalam kegelapan kamar.
“Hadeh,” desahnya.
Ada sedikit rasa menyesal karena melewatkan makan malam. Kini perutnya terasa sangat kosong, bahkan Bian mampu mendengar suara perutnya sendirian. Bian mencibir diri sendiri. Memang agak sial hari yang dilewatinya kali ini. Bisa-bisanya rokok yang bahkan sudah lebih dari seminggu lama beranda di dalam tasnya itu melompat ke luar tas, terlebih lagi saat Mama yang memegang tersebut.
Sebenarnya dalam benak Bian tahu bahwa dirinya memang bersalah di sini. Bian tahu bahwa dirinya pasti sudah mengecewakan Mama. Baru saja beberapa hari yang lalu ketahuan berbohong soal ekstrakurikuler—eh sial, hari ini ketahuan merokok.
Habis sudah. Kurang lebih hampir sekitar dua jam Mama terus membawanya berputar-putar menaiki mobil sembari mendengarkan ceramah oleh sang mama mengenai bahaya merokok bagi anak muda.
Tapi, bukan itu yang membuat Bian memutuskan mengurung diri di kamar semalaman. Melainkan sebuah akhiran chat yang Papa kirimkan tadi sore untuknya.
Bian menghela napas kasar tatkala terdengar suara gagang pintu yang ditekan dari luar sana. Sepertinya lagi-lagi itu sang mama. Pasalnya Budhe Lasih mana berani mengusik dirinya? Bian mendengkus. Jangankan beranjak membukakan kunci pintu kamarnya, niat saja sedikitpun tak terlintas dalam benaknya.
Ini semua masalah hati! Dia terlanjur sakit hati mengingat pesan Papa, dan ya—pengebab Papa mengirimkan pesan seperti itu kan jelas-jelas karena laporan Mama, begitu batinnya.
“Bian, Mama minta maaf, Nak. Bukain dong pintunya?”
Entah sudah keberapa kalinya Mama berteriak memohon-mohon pada Bian agar dibukakan pintu kamarnya.
“Mama janji gak marah-marah lagi, Bi. Mama cuman mau ngobrol sama kamu sebentar aja.”
“Bian mau tidur, Ma. Emangnya masih kurang yang tadi sore di mobil? Bian tuh capek. Tenang aja, udah dibuang juga barangnya.” Bian jadi sewot seketika. Telinganya juga perlu diistirahatkan, bukan begitu? Toh, besok pagi masih harus bertemu sang papa dan lagi-lagi mendapat ceramah panjang kali lebar. Begitu pikirnya.
Mama pun sejak awal tidak berharap banyak saat kembali mendatangi kamar Bian untuk kesekian kalinya. Mama sejak awal tahu bagaimana kerasnya watak Bian. Mama sudah menduga kalau lagi-lagi dia akan gagal menyuruh Bian keluar untuk makan.
“Makanannya udah Mama angetin, Bi. Bawa masuk aja ke kamar sebelum Papa kamu pulang. Mama tau, kamu kaya gini karna Papa, kan? Mama minta maaf karna buru-buru kasih tau Papa tadi sore. Mama juga minta maaf ... karna Papa kamu kelewatan. Kamu gak perlu maafin Mama sekarang. Yang penting buat Mama—kamu gak lewatin makan malem, Bi.”
Sepersekian detik, seperti ada sesuatu yang menyengat dada Bian. Lantas dia beranjak turun dari ranjang. Saat kakinya menyentuh lantai, Bian kedinginan. Dia berjalan jinjit-jinjit menuju pintu. Menarik nafas sejenak dan memutar kunci pintu kamar yang sedari tadi menggantung di sana. Dan beberapa saat kemudian kepala anak laki-laki dengan rambut lembut hitam legam yang sedikit acak-acakan itu menyebul keluar. Mengejutkan sang mama yang masih setia berdiri di depan pintu kamarnya.
“Mau makan?” tanya Mama, disertai sebuah senyum penuh makna.
Bian mengangguk. Perlahan-lahan tubuh Bian kini muncul sepenuhnya dari balik pintu.