Keberangkatan
Langit Jakarta masih diselimuti kegelapan ketika Sabian, Bianca, dan Zaid berkumpul di ruang tamu rumah Sabian. Cahaya lampu neon di ruangan itu memancarkan kilau lembut, menciptakan suasana hangat namun penuh emosi yang menyelimuti mereka.
Di luar, udara pagi terasa sejuk, dengan embun tipis yang masih menempel di rumput halaman depan. Mobil Sabian, sebuah sedan hitam yang sudah terparkir rapi di sana. Bagasinya penuh dengan koper dan tas yang telah disusun sejak beberapa jam lalu.
Di dalam ruangan, aroma teh yang mama Sabian sajikan menguar, menambah kehangatan suasana yang sarat akan emosi perpisahan dan harapan akan perjalanan jauh yang ingin mereka lakukan.
Sabian berdiri di dekat pintu masuk, memegang kunci mobil dengan jari-jari yang sedikit gemetar—bukan karena dingin, tetapi karena perasaan campur aduk yang sulit diucapkan. Matanya sesekali melirik ke arah Bianca, yang duduk di sofa dengan jaket denim kebesaran yang membuatnya tampak nyaman namun tetap anggun. Bianca sibuk memeriksa daftar barang bawaan di ponselnya, alisnya sedikit berkerut karena fokus, namun ada senyum kecil di sudut bibirnya yang menunjukkan dia menikmati momen ini. Zaid, dengan hoodie abu-abu yang menutupi sebagian wajahnya, bersandar di dinding dengan mata setengah terpejam, seolah masih berjuang melawan rasa kantuk sejak semalam. Ada ketenangan dalam diam mereka, tetapi juga ada kegelisahan yang sulit untuk dijelaskan.
“Jadi, siapa yang nyetir duluan?” tanya Sabian, suaranya serak berkat udara dingin yang menujuk tenggorokannya.
Lantas, Zaid membuka matanya. Menyipit demi melirik Bianca sekilas, matanya penuh dengan rencana dan ekspresi main-main. “Lo duluan aja. Gue masih ngantuk. Nanti gantian di tengah jalan,” katanya, suaranya mantap meski ada sedikit nada gugup yang terselip.
Belum sempat bagi Bianca membuka suara Bianca mengangkat alis, Sabian sudah lebih dulu mengangkat tangannya, dan meletakkan telunjuk di depan bibirnya. “Jangan ikutan, ini diskusi khusus laki-laki.”
Bianca praktis memutar bola matanya, tapi senyumnya melebar, menunjukkan bahwa dia tidak benar-benar tersinggung. “Sexist,” gumamnya dengan nada bercanda, sambil menyilangkan tangan di dada. Ada kehangatan dalam interaksi kecil ini, sebuah chemistry yang terasa begitu alami antara mereka.
“Sabian nyetiir, lo jadi operator musik di sebelahnya,” timpal Zaid, sembari menunjuk Bianca.
“Deal,” jawab Sabian cepat, seolah tak ingin kehilangan momen untuk menjaga suasana tetap ringan.
Kemudian, Zaid hanya mengangguk, wajahnya menunjukkan lega karena bisa bersantai di kursi belakang untuk beberapa jam ke depan. Namun, di balik ekspresi santainya, ada kilau kecil di matanya yang menunjukkan dia senang menjadi bagian dari momen milik Sabian dan calon kekasihnya itu.
Beberapa menit sebelum mereka berangkat, suasana berubah menjadi lebih emosional saat mereka berpamitan dengan orang tua Sabian. Mama Sabian tersenyum hangat, memeluk mereka satu per satu dengan penuh kasih sayang. Matanya berkaca-kaca, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan senyum lebar. “Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa istirahat kalau capek,” katanya, suaranya lembut namun penuh kehangatan yang membuat hati Sabian terasa perih.
Sementara Papa Sabian, hanya ikut manggut-manggut, tapi tangannya yang menepuk pundak Sabian terasa berat, penuh makna. Ada momen diam di mana semua orang merasakan beratnya perpisahan, meski hanya sementara. Sabian merasakan sesak di dadanya, sebuah campuran antara rasa syukur memiliki keluarga yang mendukung dan sedikit rasa bersalah karena meninggalkan mereka lagi.
Setelah pelukan terakhir dan beberapa pesan perhatian, ketiganya memutuskan untuk benar-benar pergi, berjalan menuju mobil.
Udara pagi terasa segar di paru-paru mereka, membawa aroma tanah basah dan daun yang baru saja disiram embun. Bianca, berhenti sejenak di depan pintu mobil. “Yakin semua barang udah dibawa? Nggak ada yang ketinggalan? Charger? Dompet? Makanan ringan?” tanyanya, suaranya penuh perhatian, matanya bergerak dari Sabian ke Zaid dengan ekspresi yang menuntut jawaban pasti.
Lalu, Sabian mengangguk, mencoba menenangkan Bianca dengan senyumnya yang hangat. “Udah, Bi. Lo gak usah khawatir. Semuanya udah aman,” katanya.
“Iya, tenang aja. Kalau ada yang ketinggalan, kan bisa beli di rest area,” timpal Zaid yang kini sudah mendaratkan tubuhnya di kursi belakang mobil itu. Ia menguap, menutup mulutnya dengan punggung tangan, usai mengatakan hal itu.
Bianca menghela napas panjang, lalu masuk ke kursi penumpang depan dengan gerakan anggun. “Yaudah kalo gitu. Tapi jangan berisik kalo nanti lo berdua inget kelupaan bawa sesuatu,” katanya, nada suaranya bercampur antara kesal dan canda, tapi matanya berkilau dengan kehangatan.
Mobil Sabian melaju meninggalkan halaman rumah. Cahaya fajar mulai menyelinap di cakrawala, seolah alam sendiri ikut merayakan awal perjalanan mereka. Jalanan Jakarta pagi itu masih sepi, hanya sesekali dilewati oleh mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan rendah. Bianca langsung menghubungkan ponselnya ke sistem audio mobil dan memutar playlist yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari seperti permintaan Sabian; playlist berisikan lagu pop dengan ritme yang cukup upbeat untuk menjaga semangat.
Zaid, yang duduk di belakang, tiba-tiba bertanya dengan suara yang masih setengah mengantuk, “Eh, estimasi perjalanan berapa lama, sih?”
Bianca menoleh sekilas, jari-jarinya masih sibuk di atas layar ponselnya yang menyala. “Kalau kata Google Maps, sekitar 9 sampai 10 jam. Tergantung macet atau enggak,” jawabnya, suaranya penuh keyakinan namun tetap lembut.
Kemudian, Zaid mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai mengatur timer.
Sabian, yang memperhatikan gerakan Zaid melalui kaca spion tengah, bertanya dengan nada penasaran, “Lo ngapain?”
“Set timer 5 jam. Setelah 5 jam, gantian nyetirnya,” jawab Zaid, matanya masih fokus pada layar ponsel, tapi ada senyum kecil di wajahnya yang menunjukkan bahwa dia menikmati peran kecilnya dalam merencanakan perjalanan ini.
Spontan Bianca mengernyit, menoleh ke belakang dengan ekspresi yang sedikit protes. “Kenapa gak gantian tiap 3 jam aja? Maksud gue, biar gak jenuh,” katanya, merasa bahwa ide itu jauh lebih baik dibaandingkan dengan sebelumnya.
Seolah baru menyadari kejeniusan ide sederhana itu, kedua matanya langsung membulat. “Oh iya, bisa juga tuh. Lo pilih yang mana, Bi?” tanyanya pada Sabian, nadanya penuh antusiasme.
Sabian hanya mengangkat bahu, matanya tetap fokus pada jalan tol yang mulai mereka masuki. “Aturlah sama kalian. Gue oke-oke aja,” katanya, suaranya datar namun ada nada santai yang menunjukkan bahwa ia benar-benar mempercayakan keputusan ini pada Bianca dan Zaid.
Setelah diskusi singkat yang penuh tawa kecil, mereka sepakat untuk bergantian setiap 3 jam. Sabian akan menyetir untuk tiga jam pertama, lalu Zaid akan mengambil alih. Bianca, meski tidak kebagian tugas menyetir, tampak puas karena bisa mengatur musik dan suasana di dalam mobil. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, merasakan kehangatan dari sinar matahari pagi yang mulai masuk melalui jendela, dan untuk sesaat, ia merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Tiga jam pertama perjalanan berlangsung dengan tenang, hampir seperti sebuah meditasi bergerak. Jalan tol yang mereka lalui membentang luas di depan, hanya sesekali dihiasi oleh truk-truk besar yang melaju dengan ritme konstan. Cahaya matahari pagi mulai merangkak naik, menyelinap melalui jendela dan menciptakan siluet lembut di wajah Bianca, yang sedang sibuk memilih lagu berikutnya. Zaid, seperti yang sudah diduga, sudah terlelap di kursi belakang sejak mereka memasuki pintu tol pertama. Dengkurannya yang pelan hampir tak terdengar di tengah alunan musik yang diputar Bianca, namun kehadirannya tetap terasa, seperti pengingat bahwa mereka adalah sebuah tim.
“Dia beneran tidur, ya?” kata Sabian, melirik ke arah Zaid melalui kaca spion. Suaranya penuh kelembutan terhadap Bianca.
Lalu Bianca terkekeh, di sebelahnya. “Iya, kayaknya emang ngantuk berat, sih. Tapi gak apa-apa, biarin aja. Nanti dia bangun pas waktunya gantian,” jawabnya, matanya berkilau dengan kehangatan.
Sabian mengangguk, tangannya tetap stabil di atas kemudi. Musik yang diputar Bianca kali ini adalah lagu dari Taylor Swift, dengan irama yang lembut namun cukup energetik untuk menjaga Sabian tetap terjaga. “Lagu lo bagus-bagus,” puji Sabian secara spontan. “Tapi....”
“Tapi apa?”
“Nggak ada Mahalininya.”
Bianca langsung tergelak mendengar ucapan itu lolos dari bibir Sabian. “Nanti gue masukin,” balasnya, sambil meraih sekantong keripik dari belakang. “Mau keripik?” tawarnya, mengarahkan sepotong keripik ke arah Sabian dengan gerakan yang penuh perhatian.
Sabian membuka mulutnya tanpa melepas pandangan dari jalan, dan Bianca dengan cekatan memasukkan keripik ke mulutnya. Mereka tertawa kecil, sebuah momen sederhana yang terasa begitu berarti. Ada kehangatan yang mengalir di antara mereka, sebuah ikatan yang tak perlu diucapkan dengan kata-kata.
Di tengah suasana santai itu, Bianca tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh ya, Masabi, lo udah kabarin Sudirman kalo lo balik ke Surabaya hari ini?” tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Sabian mengangguk. “Udah. Tapi… gue nggak bilang kalau gue balik bareng lo,” jawabnya, sedikit ragu.
Pengakuan itu, kontan membuat Bianca mebelalakkan kedua matanya. “Yah?? Tapi gue kasih tau dia, gimana dong?”
“Serius?”
“Iya.”
“Terus, reaksi dia gimana?”
“Reaksinya biasa aja.” Bianca menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Kayaknya dia nggak kaget sama kedekatan kita,” lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, seolah ingin menenangkan Sabian.
Sabian mendesis pelan, ekspresinya berubah menjadi campuran antara lega dan gelisah. Matanya tetap fokus pada jalan, tapi ada ketegangan kecil di rahangnya. “Baguslah... tapi… kenapa ya gue ngerasa aneh? Maksud gue, semua orang kayak gampang banget nerima kedekatan kita. Terakhir kali, nggak kayak gini,” katanya, suaranya pelan di ujung kalimatnya, hampir seperti bisikan, penuh dengan kerentanan yang jarang dia tunjukkan.
Bianca praktis memandang Sabian dengan penuh perhatian, matanya mencoba menangkap setiap detail emosi di wajahnya. “Hmm... masa, sih? Gue nggak tau mau komentar apa,” cicitnya.
Sabian menghela napas panjang, jari-jarinya sedikit mengetat di kemudi. “Dulu, banyak dramanya. Orang-orang di sekitar gue, entah itu temen atau keluarga, selalu ada yang komentar atau gak setuju. Tapi sama lo… kayak terlalu mulus. Gue bersyukur, tapi juga bikin gue overthinking,” katanya, suaranya penuh dengan kejujuran yang mentah, seolah dia sedang membuka lapisan hatinya yang paling dalam.
Bianca terdiam sejenak, mencerna kata-kata Sabian. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia sedikit merasa canggung dengan momen ini. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara Zaid tiba-tiba terdengar dari belakang, memecah keheningan.
“Orang-orang yang bener-bener kenal dan care sama lo itu, bisa nilai mana yang sekiranya baik buat lo dan mana yang enggak,” katanya, suaranya masih serak tapi penuh keyakinan. “Dari kali pertama gue kenal Bianca, gue tau kalau energi di antara kalian itu positif. Bukan kedekatan yang toxic, Bi. Dan gue yakin orang lain juga bisa lihat itu. Jadi stop merasa cemas, stop paranoid cuma karena semuanya jadi gampang buat lo.” Zaid berbicara dengan nada yang begitu tulus, seolah ia tengah memberikan nasihat dari hati seorang sahabat sejati.
Tepat saat Zaid baru saja menutup kembali bibirnya, Bianca mulai menyandarkan tubuhnya ke kursi, merasakan bobot kata-kata Zaid yang seolah mewakili apa yang ingin ia katakan. Matanya melirik ke arah Sabian, yang kini tersenyum tipis, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat. Ada kelegaan di wajahnya, meski masih ada sisa-sisa keraguan yang perlahan memudar.
“Ahh... iya juga,” kata Sabian akhirnya, suaranya penuh dengan rasa syukur.
“Lo cuma perlu belajar nerima kalo sesuatu bisa berjalan mulus tanpa drama,” timpal Zaid.
Lantas, Bianca mengangguk setuju, tangannya meraih ponsel untuk mengganti lagu ke sesuatu yang lebih upbeat, seolah ingin mengembalikan suasana ringan. “Nah, sekarang fokus nyetir aja. Kita masih punya beberapa jam lagi, jangan sampai kenapa-kenapa karena lo nggak fokus, Mas,” katanya, nadanya penuh canda tapi juga penuh kasih.
Tawa kecil mengisi mobil, dan untuk beberapa saat, suasana kembali ringan. Jalan tol di depan mereka membentang panjang, diterangi oleh sinar matahari yang semakin tinggi. Di luar, angin sepoi-sepoi membelai pepohonan di pinggir jalan, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Di dalam mobil, ada perasaan bahwa mereka bukan hanya sedang melakukan perjalanan fisik, tetapi juga sebuah perjalanan emosional yang membawa mereka lebih dekat satu sama lain.