Kebetulan Buruk
Murid-murid sepantaran Bian berhamburan keluar area sekolah. Sebagian menaiki mobil jemputan yang memang di sediakan oleh pihak sekolah, sebagian lainnya ada yang menunggu dijemput atau pulang menggunakan kendaraan pribadi yang mereka parkirkan di lahan kosong yang letaknya berada persis di samping gedung sekolah.
Bian celingak-celinguk, mencari keberadaan mobil milik sang papa atau mungkin mamanya. Namun nihil.
“Bi, lo belom dijemput?”
Dia menoleh dan mendapati Ozi di sebelahnya. Tumben sekali Ozi tidak melakukan kumpul OSIS atau biasanya dia akan mengikuti pelajaran tambahan lantaran sudah kelas akhir. Bian menatap Ozi dari atas ke bawah.
Bian menggeleng singkat, “Tas lo mana, Ji?” kini giliran dia yang melemparkan sebuah pertanyaan kepada Ozi.
“Masih di ruang OSIS. Ini gua cuman mau ke depan sebentar, mau beli minum.”
“Yaelah, gue kira lo pulang normal hari ini,” kata Bian.
Ozi menepuk pundak Bian pelan, “Om Jeffrey tuh, Bi.”
Seketika hawa dingin menjalar pada tubuh Bian tatkala dia menangkap sosok Papa di seberang tempatnya berdiri. Bian bergeming. Kali ini papanya benar-benar datang untuk menjemput dirinya. Tidak diwakili oleh Mama, Om Yudhis, atau bahkan sang supir kepercayaannya. Bahkan yang lebih mengejutkannya lagi, Papa mengendarai sebuah motor yang tampaknya cukup berumur, tapi masih sangat apik kelihatannya.
Bian menarik nafas dalam-dalam, “Gue balik duluan ya, Ji?” katanya, kemudian menyenggol siku Ozi.
Ozi pun mengangguk.
Dan dengan langkah besar-besar, Bian menghampiri Papa sembari tersenyum. Sudah pasti senang rasanya. Dijemput oleh seorang Jeffreyan Aditama yang selama ini sibuknya bukan main. Yang akhir-akhir ini jarang sekali berada di rumah. Yang absensi kehadiran kerap kali Bian nantikan. Tentunya sulit bagi Bian menyembunyikan senyuman di bibirnya.
“Kok jemputnya naik motor? Papa bangkrut?” tanya Bian sekonyong-konyong.
“Sembarangan banget kalau ngomong! Ini motornya Om Jemi tau,” kata Papa.
Lantas Bian mengernyitkan keningnya, “Kenapa Papa pake?” Bian sambil menaiki motor tersebut. Jangan ditiru, pasalnya dia tidak mengenakan helm.
“Papa pinjem—udah?”
Bian mengangguk meski Papa tidak melihatnya. “Udah!” sahutnya.
Motor yang mereka tumpangi itupun melaju kencang meninggalkan area sekolah, dan kemudian membelah padatnya jalanan sore itu.
Meski proporsi tubuh Bian cukup besar, tapi Bian masih kalah jika dibandingkan dengan sang papa. Maka dari itu—rasanya dibonceng oleh papanya seperti ini, sangatlah pas.
“Dulu Papa bonceng Mama kamu pakai motor ini.”
“Apa iya?”
“Iya.”
“Papa dari dulu udah suka naik motornya Om Jemi?” tanya Bian. Nada bicaranya diberi sedikit penekanan. Khawatir kalau-kalau Papa tak mendengar kata-katanya dengan jelas.
“Ini tadinya motor Papa, terus diminta Om Jemi.”
Karena sibuk mengontrol perasaan bahagianya sejak tadi, Bian sampai lupa kalau dirinya berniat untuk membelikan Mama sesuatu diantara jajaran pedagang kaki lima di depan sekolah.
“PAPA MAMPIR BELI JAJANAN, PA!” pekik Bian seketika.
“Jajanan apa?”
“APA AJA TERSERAH! BUAT SI MAMA!”
“Kamu ngapain, sih teriak-teriak? Papa gak budek!”
Deru suara motor terdengar begitu riuh tatkala motor tersebut mulai memasuki pekarangan rumah. Agaknya hal itu menyebabkan Mama dan Om Jemi ke luar. Menyambut Bian yang baru saja menuruni motor.
“Idih idih, segala ada Om Jemi,” kata Bian begitu beradu tatap dengan sang empunya nama.
“Mau nyulik kamu,” sahut Om Jemi tanpa basa-basi.
Nah kan, Bian sudah tahu sejak awal. Pasti kedatangan Om Jemi bukan hanya untuk berkunjung. Om Jemi itu sudah berkeluarga, tapi kalau soal liburan pasti yang akan dia bondong adalah Bian seorang. Supaya tidak repot katanya. Toh sang istri maupun kedua anaknya agak pemalas. Mungkin menurut mereka liburan di dalam rumah sudah lebih dari cukup.
Sementara Bian sendiri bukannya tidak suka. Dia hanya—yah, sedikit malas. Om Jemi ini terlalu aktif bagi Bian. Mentang-mentang tiga hari ke depan adalah long weekend, adik dari papanya itu seenaknya saja membooking waktu Bian. Padahal kan rencana Bian ingin mengajak Papa liburan—walaupun dia belum yakin Papa luang atau tidak, tapi tetap saja Bian merasa sangat direpotkan.
Dan, kalau dilihat dari ekspresi Mama dan Papa, sepertinya mereka berdua biasa-biasa saja. Alias mengizinkan Om Jemi untuk melakukan penculikan ini.
Dasar, dua orang tua gak peka!