Kembali Pulang
Sabian berdiam diri di pinggir peron dan membiarkan orang-orang yang juga baru saja keluar dari kereta berlalu-lalang. Ia dan Zaid masih belum percaya kalau mereka berdua pada akhirnya pulang ke Jakarta secepat ini. Niat hati ingin menetap sampai gelar sarjana ada di nama mereka, nyatanya gagal karena kedua adik Sabian sudah gaduh minta segera dikunjungi pada akhir tahun ini. Zaid sendiri, sebenarnya biasa-biasa saja. Ia tak begitu mendapat tekanan untuk pulang dari kedua orang tuanya. Namun, ia tanpa eksistensi Sabian, sudah seperti sayur asam tanpa garam. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk ikut pulang.
Aroma khas besi berkarat, menguar. Seiring dengan itu, kesadaran Sabian kembali. Semalaman ia sulit tidur, dan baru memejamkan mata beberapa saat setelah Zaid terjaga—nahas, kereta yang ia naiki itu sudah lebih dulu sampai di tujuan.
Sabian meringis. Ia melangkah gontai di samping Zaid, seraya melempar pandangan ke segala arah. Stasiun itu ramai sekali. Mungkin lantaran menjelang Natal dan tahun baru. Banyak orang yang memutuskan untuk mudik atau sekadar berlibur ke luar kota menggunakan kereta.
“Jadi, kita pisah di sini, nih?” tanya Zaid.
Sabian mengangguk. Sejak Zaid mengatakan kalau ia akan dijemput oleh sang papa, Sabian sudah memperkirakan momen ini. Papanya sendiri juga akan menjemputnya di stasiun. Oleh karena itu, mereka harus berpisah.
“Om Dio udah dateng?” Sabian memastikan.
“Udah, nih,” Zaid menunjukkan layar ponselnya yang tengah menampilkan panggilan telepon masuk. “Bokap gue udah telpon.”
“Mau gue bantuin bawa itu, nggak?” Sorot mata Sabian mengarah pada barang bawaan Zaid yang kebetulan ada begitu banyak.
Alih-alih mengangkat panggilan telepon yang masuk, Zaid justru berkecak pinggang. “Ya, menurut lo aja, Anjing? Menurut lo bisa nggak gue bawa ini semua ke depan?!”
Sabian praktis cekikikan. “Makanya jadi orang, tuh, jangan serakah! Satu toko lo masukin ke tas!”
“Nyokap gue suka makan!”
Mendengar itu, Sabian langsung memukul angin, seraya memasang raut wajah yang seakan-akan tengah meremehkan Zaid. “Nyokap lo atau elo?” tanya Sabian penuh penekanan.
Lantas, sang tersangka banyak makan—Zaid, hanya dapat cengar-cengir dibuatnya.
Sabian mengatakan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya selama ia tinggal bersama Zaid, hampir tak pernah sekalipun kawannya itu melewatkan malam tanpa memakan camilan. Namun, anehnya kebiasaan buruk Zaid itu tak membuat tubuhnya membesar. Sejak dulu, bahkan sampai saat ini—Zaid yang ia kenal selalu bertubuh kurus. Kadang, ada kalanya Sabian menaruh prasangka buruk pada kondisi kesehatan Zaid seperti; mungkin saja ia mengalami cacingan. Namun, meski sempat memaksa Zaid meminum obat untuk mengatasi cacingan, nafsu makan serta bentuk tubuh Zaid tak kunjung menunjukkan berubah sedikitpun.
Sabian meraih barang bawaan Zaid. Menentengnya dengan satu tangan, sedangkan tangannya yang lain membawa koper berukuran besar, miliknya.
“Kalau Om Jeff masih lama, mendingan lo pulang sama gue aja, Bi. Jadi nggak perlu nungguin.”
Sabian menggeleng. “Paling sebentar lagi bokap gue telepon,” katanya. Zaid hanya manggut-manggut.
Namun, hingga keduanya tiba di depan pintu keluar utama, ponsel Sabian tak kunjung berdering. Entah di mana sang papa saat ini, Sabian sendiri juga tak tahu.
“Tuh, bokap gue!” pekik Zaid semangat.
Sementara itu, orang yang ia sebut-sebut langsung berlari mendekati mereka.
“Akhirnya keluar juga kamu, Id. Papa udah nunggu di sini dari tadi.” Meski perkataan itu ditujukan untuk Zaid, tetapi papanya sibuk menyambut Sabian dengan pelukan hangat.
“Si Bian ngomong mulu, jadi lama jalannya.” Kini giliran Zaid yang memeluk papanya sendiri.
“Bian dijemput sama siapa?”
Sabian praktis menampilkan senyum kikuk. “Sama Papa, Om,” sahutnya.
Detik kemudian, Om Dio—papa Zaid seperti tengah melempar jauh pandangannya sembari celingak-celinguk. “Mana? Belum dateng?”
Bingung harus menjawab apa, lantas Sabian hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Kita tungguin Om Jeffrey dateng, ya, Pa? Kasihan Bian.” Meski Zaid mengatakannya sambil berbisik, Sabian masih dapat mendengar dengan samar-samar.
“Nggak usah, Om! Nggak usah!” Sabian langsung meletakkan barang bawaan Zaid yang sempat ia tenteng di bawah—di hadapan Om Dio. “Pulang aja, Om. Zaid udah pengen ketemu sama kasur, tuh.”
“Biasa aja, kocak!” timpal Zaid.
Om Dio tampak sangat dilema, setelahnya. Ia menyentuh pundak Zaid, seraya memberi sedikit pijatan refleks di sana. Kemudian, menatap Sabian dan menghela napas kasar. “Kamu yakin kalau papamu jemput?”
“Yakin, Om. Papa udah bilang bakal jemput, bahkan dari semalem.”
“Nggak mau bareng kami aja?”
Sabian menggeleng penuh keyakinan. “Bian mau nunggu Papa aja, Om.”
Mendengar itu, Om Dio langsung beralih menatap Zaid, lalu tersenyum dan menepuk pipi kanannya. “Ayo kita pulang!” kata Om Dio, sebelum akhirnya ia menggantikan Sabian untuk menenteng barang bawaan Zaid.
Si empunya barang hanya dapat mengangguk pasrah. “Ya udah, Bi, gue balik duluan, ya!”
Sabian mengacungkan ibu jarinya.
“Nanti kalau papa kamu nggak dateng-dateng, telepon Om aja, ya, Bi. Atau telepon Om Yudhis, dia pasti langsung jemput.”
Sabian terkekeh, pasalnya itu terdengar seperti tak ada kendaraan umum saja di muka bumi ini. “Iya, Om. Siap!”
Tak lama kemudian, Zaid dan papanya benar-benar melenggang pergi meninggalkan Sabian di tengah ramainya stasiun pagi itu. Sabian terus memandangi punggung keduanya dari belakang. Om Dio tampak sangat santai merangkul pundak Zaid dengan tangannya yang kosong. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, keduanya kemudian tertawa.
Dalam diam, Sabian bertanya-tanya, akan seperti apa saat ia bertemu oleh sang papa nanti? Sabian sedikit takut kalau-kalau ia akan berada dalam keadaan canggung bersama papanya sendiri, lantaran sudah terlalu lama tidak bertemu—yah, meski sering bertukar kabar melalui pesan singkat.
Sabian tak ingin hal itu terjadi.
Kini, ia berusaha memutar otak agar menemukan cara yang tepat untuk menyapa Papa lagi, setelah sekian lama.
Lama banget, Bos!
Sendirian aja? Nggak sama Mama?
Pa, apa kabar?
Sabian terus bergumam dengan tujuan melancarkan perkataannya. Ia tak ingin terbata-bata, atau sekadar terlihat kikuk di hadapan sang papa.
“Bian?”
Mendengar namanya baru saja disebut, Sabian yang mulanya hanya duduk sembari menatap lutut itu, praktis mengangkat kepalanya untuk melihat siapa gerangan yang tengah berada di hadapannya saat ini.
Detik berlalu, Sabian tak kunjung bereaksi usai menatap lurus orang itu.
“Sabian??”
“Papa?!”
Yang dipanggil 'papa' sontak merentangkan tangan selebar-lebarnya demi menyambut hangat sang anak. Kemudian Sabian menerima sambutan itu dengan penuh perasaan bahagia.
“Makin gede aja badan kamu, Bi? Apa ini perasaan Papa aja?” tanya Papa sembari mengukur punggung Sabian yang masih dalam pelukannya.
Sabian menarik tubuhnya lebih dulu. “Papa, kan, nyuruh Bian cari kesibukan selama di sana biar nggak seks bebas? Ya, Bian ngegym.”
Detik kemudian, tawa Papa pecah. Namun, Sabian dapat melihat bulir air mata di sudut mata papa.
Sabian langsung mengernyitn keningnya.
“Selucu itu, kah, sampai nangis?” tanya Sabian, penasaran.
Alih-alih menjawab pertanyaan Sabian barusan, Papa justru bergegas meraih koper Sabian dan berbalik badan. “Ayo makan dulu. Katanya kamu laper,” kata Papa tanpa melihat Sabian.
Meski kebingungan akan sikap Papa yang tiba-tiba saja berubah, Sabian memilih untuk tak banyak bicara dan fokus berjalan membuntuti Papa di belakang.
Memang benar ia tengah merasa lapar. Lambung seperti terus menjerit sejak beberapa saat lalu.
Pada akhirnya, semua kalimat yang sempat Sabian latih sebelumnya hanya menjadi hal yang sia-sia. Nyatanya tak ada kata canggung lagi di kamus Sabian dan Papa. Nyatanya bahan pembicaraan mereka terus mengalir, bahkan saat mereka hanya berdua saja di dalam mobil.
Papa masih sama seperti saat Sabian pergi meninggalkannya untuk pertama kali tanpa kawan minum teh lagi, di balkon. Tak ada yang berubah dari cara bicara, serta tingkah lakunya. Wajah Papa mungkin sedikit lebih kencang karena kabarnya Mama sering kali membawa Papa ikut melakukan perawatan wajah—atau Bian salah. Yang jelas, Sabian bersyukur sebab, tak tampak ada tanda penuaan dari Papa, dan Papa masih sangat sehat meski sempat ia tinggal bertahun-tahun di kota orang.