Kembang Goyang

Kalau biasanya sebelum pergi tidur Bian akan menunggu kepulangan Papa dengan alibi menonton secara acak siaran televisiーkali ini tidak.

Berteman sunyi suasana kamar, Bian melamun seperti halnya orang dewasa yang tengah dilanda stress berat. Padahal yang kini tengah dia rasakan sekedar gelisah, galau, merana sebab sejak sore tadi Papa tak kunjung membalas pesannya. Entah, mungkin karena saking marahnya, sibuk, atau dilandasi perasaan malasーyang jelas hal itu mampu membuat Bian overthinking berjam-jam.

“Ini karma, sih. Yakin gue.” Bian bergumam.

Saking galaunya, Bian bahkan sengaja tidak menyalakan lampu. Kini kamarnya persis seperti sebuah ruang yang biasa muncul di film-film horror yang pernah dia tonton.

Helaan napas frustasi, Bian suarakan. Kira-kira sedang apa ya Mama saat ini, sebab sejak beberapa jam yang lalu Bian sudah tidak lagi mendengar gaduh suara Mama dari balik pintu kamarnya itu. Suara asisten rumah tangga mereka juga menghilang. Budhe Lasih sih biasanya memang langsung tertidur pulas usai mengerjakan seluruh pekerjaan rumahnya. Dan Papa, seharusnya Papa sudah ada di rumah sejak satu jam yang lalu, namun sampai detik ini belum juga ada tanda-tanda kepulangan Papa.

Bian mengerang, seraya merenggangkan sendi-sendi dalam tubuhnya. Muncul sedikit keinginan untuk mengintip ke luar pintu kamar, demi mengetahui situasi dan kondosi terupdate pada saat ini, tapi dia urungkan lantaran pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Menampilkan sosok Papa yang tinggi menjulang, dan masih dibalut lengkap oleh kemeja khas yang biasa Papa gunakan untuk ke kantor.

Bian beradu tatap dengan Papa cukup lama. Ternyata Papa sudah pulang, tapi Bian yang tidak dengar suara mesin mobilmya.

“Bi.”

“Pa.”

Hening.

Perlahan tapi pasti Papa melangkah mendekati Bian yang masih terduduk di atas ranjangnya. Kemudian, tanpa perlu banyak basa basi, tangan Papa terulur ke depan. Ada sebuah bungkusan yang dia genggam. Lantas, dengan tampang penasaran yang tanpa dibuat-buat, Bian meraih bungkusan tersebut.

“Ini apaan, Pa?” tanya Bian.

Papa meringis seketika. “Kembang goyang.”

“Hah??”

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba saja memberi kembang goyang? Entah apa maksud Papa sebenarnya. Bian yang semula membayangkan adegan memeluk Papa begitu pintu terbuka tadi, kini justru menatap nanar ke arah Papa. Konyol, ini konyol.

“Apa maksudnya?”

“Gak ada. Papa random beli aja. Tadi di lampu merah, ada nenek-nenek yang jualan ini. Yaudah Papa beli,” tutur Papa dengan wajah super santai.

Bian kesal, tapi rasa kesalnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan perasaan senang dalam benak bocah itu. Pasalnya barusan Papa mengatakan kalimat yang cukup panjang.

Dan, dengan sudut bibir yang tertarik ke samping, Bian hanya manggut-manggut.

“Abisin ya,” kata Papa.

“Segini?” Bian mengangkat bungkusan cukup besar, pemberian Papa. “Semua ini?!” tanyanya menekankan.

“Iya.”

Bian mendesis. Papa gila, batinnya. “Yaudah iya.”

“Yaudah ... Papa keluar ya.” Tanpa menunggu respon dari Bian, Papa sudah lebih dulu melangkah pergi tanpa lupa menutup kembali pintu kamar Bian.

Sementara itu, sambil cengangas-cengenges Bian membongkar bungkusan yang Papa berikan. Ternyata isinya adalah kembang goyang dengan berbagai macam warna. Ada kuning, pink, hijau, danー

sepucuk kertas bertorehkan tinta pena di atasnya.

'Jangan mau dibawa sama Om Yudhis. Dia aslinya gak sebaik itu, nanti organ kamu dijual.'