Kunjungan Papa
Sebenarnya apa yang Bian harapkan sejauh ini?
Sejak awal Bian tahu bahwa dirinyalah yang paling bersalah di sini. Mulai dari menarik diri dari kedua orang tuanya, merokok diam-diam bahkan saat umurnya belum menyentuh tujuh belas tahun, sampai belaga membisu di dalam rumah. Kekacauan-kekacauan ini memang asalnya dari dirinya sendiri. Egonya berantakan. Tidak terkendali sama sekali. Meski dalam keadaan sadar sekalipun, Bian enggan mengalah.
Kalau dipikir-pikir, dia punya tempat yang nyaman untuk pulang. Lantas kenapa masih mencari tempat lainnya?
Kalau dipikir-pikir, ada benarnya apa yang Ayah Yudhis katakan. Nanti tiba saatnya Papa tidak peduli lagi, bagaimana?
Tapi sudah kepalang basah, batinnya. Bian yang masih berusia enam belas tahun lebih sedikit itu bingung memikirkan bagaimana caranya agar keluar dari kekacauan ini? Dibilang gengsi ya memang benar. Minta maaf duluan? Lalu bagaimana dengan perkataan sang papa yang sempat melukai perasaannya itu?
Bian menghela napas kasar. Tepat setelahnya terdengar suara knop pintu yang ditekan. Lalu dengan dada yang berdebar kencang, bocah laki-laki itu memejamkan matanya rapat-rapat. Siasat pura-pura tidurpun Bian lakukan.
“Bi, Papa tau kamu belum tidur, kan?”
Demi Tuhan jantung Bian hampir melompat keluar saat mendengar suara berat papanya itu di dalam keheningan kamar.
Bian sedikit tergoda untuk membuka matanya tatkala dia merasakan ranjangnya ikut bergerak begitu dinaiki oleh Papa—tapi dengan cepat Bian mengurungkan niatnya.
“Kamu selalu kunci pintu kamar akhir-akhir ini, tapi kayanya sekarang kelupaan. Iya, kan?”
Spontan Bian mengeratkan genggaman pada selimut yang tengah menutupi mulai dari leher hingga ujung kakinya.
“Soal chat waktu itu, Papa minta maaf karna gak ngefilter kata-katanya dulu. Papa minta maaf kalau dampaknya sampai bener-bener ngelukain perasaan kamu,” kata Papa sambil menatap lekat-lekat punggung Bian.
“Papa cuman ... gak nyangka waktu tau kamu ngerokok, Bi. Papa juga kalut—takut kalau Mama kamu nyalahin dirinya sendiri. Ngerasa gagal jadi orang tua karna anak satu-satunya udah berani ngerokok padahal masih sekecil ini.”
Tangan Papa menepuk pelan pundak Bian.
Bian dapat mengendus aroma parfum dan pengharum mobil yang menguar dari tubuh Papa.
Apa-apaan ini? Jadi Papa langsung datang ke kamarnya begitu sampai di rumah??
“Papa sih maunya kita bisa ngobrol sekarang, sebentar aja. Tapi kalau kamu belum siap, gak masalah. Papa gak akan maksa, karna yang terpenting Papa udah minta maaf ke kamu. Oh iya, ngomong-ngomong Papa juga sempet dimusuhin sama Mama karna chat itu.” Papa terkekeh kemudian.
“Sabian—Papa emang jarang ngobrol sama kamu. Jarang ada waktu buat kamu. Tapi Mama kamu dua puluh empat per tujuh ada buat kamu, Bi. Jadi jangan ngerasa kalau kamu itu sendirian. Anak laki-laki gak harus deket sama papanya aja, itu yang perlu diubah dari mindset kamu. Papa juga gak lepas tangan gitu aja, kok, soal kamu. Papa tetep mau pastiin kalau anak Papa ini baik-baik aja—tapi lagi ... maaf kalau menurut kamu banyak yang salah dari cara Papa.”
“Papa amatiran ini ... butuh bantuan anaknya buat jadi orang tua yang lebih baik lagi.”
Papa menarik nafas dalam-dalam, kemudian membalikkan posisi tubuh Bian yang sebelumnya sengaja memunggunginya, kini menjadi terlentang. “Boleh nipu asal pakai logika. Mana ada orang tidur tapi nangis kayak kamu!”
Nah kan, ketahuan!
Bian mengusap sudut matanya dengan kasar, dan masih dalam keadaan terpejam. Agaknya enggan bertemu tatap dengan sang papa, dan pastinya ini membuat Papa menahan tawanya seketika.
Bian takut kalau-kalau dia membuka mata, Papa justru akan semakin mengolok-olok dirinya.
Papa mendecih, “Yang kaya gini sok-sokan ngerokok!”
Habis sudah. Mau disimpan di mana muka Bian besok pagi? Sudah kepalang malu. Bian hanya mampu menutupi wajahnya menggunakan selimut. Untuk sesaat Bian lupa caranya bernapas yang baik itu seperti apa. Dia panik bukan main!
Sementara Papa yang melihat respon Bian yang ternyata di luar dugaannya itu, kini beranjak. Khawatir kalau tetap berada di sekitar Bian untuk saat ini justru membuat bocah itu semakin canggung dengannya nanti.
“Yaudah, Papa mau bersih-bersih dulu. Tapi Papa masih nunggu kamu minta maaf soal ngerokok itu, lho—
jangan lupa ya!”
Selanjutnya, tanpa menunggu jawaban dari Bian, Papa langsung pergi meninggalkan kamar itu dan tidak lupa kembali menutup pintunya, rapat.