Late Night Talks

Ratu tengah menikmati pemandangan kota di malam hari melalui sebuah kaca besar, dari dalam unit apartemennya.

Gadis itu tersenyum, untuk kesekian kalinya di hari ini.

“Kopi?” Suara Jeffrey mengalihkan perhatian Ratu. Laki-laki itu menggenggam 2 cangkir berisikan kopi yang baru saja ia buat.

“Makasih.”

Jeffrey mengangguk, kemudian ikut duduk disebelah Ratu. Menyesap kopi miliknya, sembari memandangi wajah Ratu yang bercahaya karena terpapar sinar bulan. Tanpa sadar Jeffreyan menarik sudut bibirnya.

“Cantik.” Jeffrey membuka suara.

Ratu menoleh kearah laki-laki itu, dan membalas senyumnya.

“Emang. Alesan kenapa gue pilih apartemen ini, adalah view-nya. Kalau lagi gak mendung kaya gini, view langitnya cantik banget.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, kini giliran Ratu yang menyesap kopinya.

“Maksud gue, lo yang cantik.”

Gadis itu tersedak seketika.

“Jeff ... .”

“Hmm?”

“Biasa aja lah. Gue kewalahan.”

Lantas Jeffreyan terkekeh dibuatnya. Ia pun menggeser tubuhnya, menghapus jarak diantara mereka berdua. “Lo percaya gak, kalau gue bilang ... gue udah nunggu momen kaya gini dari lama, Ra.”

“Dari kapan?” tanya Ratu sembari menatap intens kearah Jeffrey yang tengah menatap pemandangan kota.

“Sepuluh tahun yang lalu, mungkin? Waktu kita masih SD.”

Mendengar pengakuan itu, sontak Ratu membelalakkan matanya.

“Gila. Boong kan?”

“Gue suka sama lo, jauh sebelum lo mutusin buat confess waktu pensi SMA kita, Ra.”

“HAHH?! LO TAU?”

Jeffreyan menaikan alisnya. Ia menarik nafas panjang, lalu meletakkan cangkirnya diatas nakas.

“Lo inget gak waktu SD, cuman lo yang mau temenan sama gue karna gue anak pindahan dari Surabaya?” Pandangan Jeffrey masih setia menatap kearah kaca.

“Inget, karna cara ngomong lo beda sama yang lainnya.”

“Dulu, yang ada dipikiran gue adalah, gue beruntung bisa kenal sama lo. Cantik, pinter, dan baik. Udah, itu doang.”

“Lama-kelamaan, gue mulai egois buat milikin lo, Ra. Padahal kan wajar ya kalau anak SD punya banyak temen? Tapi gue gak suka. Gue cuman pengen kita ngabisin waktu berdua aja.”

Alih-alih merasa kesal, Ratu justru tertawa. “Lo udah toxic dari kecil, anjir?”

“HAHAHAH!”

Jeffreyan menarik tangan Ratu dengan lembut, dan memainkannya.

“Perasaan kaya gitu, akhirnya terus gue rasain sampai kita SMP. Nah, begitu SMP gue baru tau soal cinta-cintaan.”

“Gue sadar kalau ternyata gue suka sama lo, Ra. Tapi waktu itu, gue mikirnya, hubungan persahabatan kita juga termasuk hal yang sakral. Makanya gue tetep diem aja, dan simpen perasaan itu sendirian.”

“Sialannya lo malah ngira gue suka sama Vanya!” sambung Jeffrey, kesal.

Ratu melirik Jeffreyan. Mencoba mencari kebohongan dari apa yang baru saja ia ucapkan.

“Masuk SMA yang sama kaya lo, sama sekali bukan kebetulan. Itu emang planning gue.”

“SEREM!” seru Ratu.

“Gue sampe terbiasa denial sama perasaan gue sendiri. Gue selalu tanemin mindset kalau kita berdua cuman temen-

Tapi, begitu tau lo mulai deket dan jadian sama Hardin ... gue sakit hati,” ungkap Jeffrey. Nadanya bergetar diakhir kalimat.

“Gue juga mau ada diposisi dia, Ra. Gue mau ubah status kita. Tapi gak bisa.”

Sepersekian detik, Ratu dapat merasakan genggaman tangan Jeffrey pada tangannya semakin kuat.

“Gue takut nyakitin lo. Gue takut kalau kita pacaran, gue gak bakal bisa jagain lo lagi setelah putus. Gue takut lo pergi karna kesalahan gue, Ra.”

Ratu tertegun sejenak. “Jeff ... sini peluk!”

Jeffreyan menghambur. Menerima rentangan tangan Ratu dengan hangat, kemudian memeluk gadis itu erat-erat.

“Aaaaa bayi gedenya Ratuuu!” Ledek Ratu, sembari mengusap-usap tengkuk Jeffreyan.

“Selama ini, perasaan lo gak pernah sekalipun bertepuk sebelah tangan, Ra. Selama ini, gue sayang sama lo lebih dari sekedar temen. Maaf karna gue udah jadi pengecut selama bertahun-tahun. Maaf karna udah buat lo nunggu lama.” Jeffrey menghirup aroma tubuh Ratu setelahnya.

“Cup cupp, jangan nangis. Apa lo gak malu nangis depan gue kaya gini?!” ucap Ratu begitu menyadari air mata Jeffrey yang membasahi piyamanya.

“Enggak. Gue nangis depan orang yang gue sayang, itu tandanya gue tulus!” rengek laki-laki itu dalam dekapan Ratu.

“Pamit dong?”

“Hahahaha anjing lo, Ra.”

Mereka saling berpelukan dalam waktu yang cukup lama. Ratu menghela nafas lega, dan tersenyum. Sama seperti Jeffreyan, ia juga telah lama menanti momen seperti ini.

“Ra?” panggil Jeffrey.

“Kenapa?”

“Gue boleh nanya?”

“Tanya apa?”

“Lo ... mau pacaran dulu atau langsung nikah?”

Nafas Ratu tercekat. Sulit baginya untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu.

“Kalau diem berarti maunya langsung kawin.”

“Lo mau gue guyur pake kopi panas, Jeff?”

“Bercanda!”