Luka Masa Kecil
Bian hampir lupa kapan terakhir kali dia liburan ke tempat dengan begitu banyak wahana bermain seperti yang didatanginya bersama Om Jemi hari ini. Bianglala, komidi putar, bahkan rumah hantu pun mereka masuki.
Sore itu, kala langit masih cukup cerah. Kala angin berhembus sepoi-sepoi menyapa permukaan kulit Bian—Om Jemi menawarkannya untuk mampir melihat pantai. Kata Beliau sih sebagai penutup acara liburan dadakan mereka kali ini. Bian yang awalnya sudah tidak sabar untuk segera pulang, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya.
Memangnya ada yang akan menolak jika diajak melihat pantai? Mungkin begitu batinnya. Maklum, sejak kecil melihat pantai sudah menjadi kegemaran untuk seorang Sabian Aditama.
Deburan ombak, hingga setiap tekstur pasir pantai yang acapkali menggelitik telapak kakinya menjadi sesuatu yang candu.
Dan begitu dirinya dan Om Jemi menginjak pasir pantai sore itu, Bian langsung berlari. Memisahkan diri pastinya. Sebab kalau terus berada di dekat Om Jemi, dia pasti tidak dapat menikmati keindahan pantai dengan santai.
“MAU KE MANA, BI?!” seru Om Jemi.
“JANGAN NGIKUTIN! NANTI BIAN BALIK KE MOBIL SENDIRI.”
Om Jemi menghela nafas panjang. Raut wajahnya tampak puas. Selain untuk menghibur dirinya sendiri, sejak awal memang niatnya untuk mengajak keponakannya itu refreshing. Om Jemi tahu kalau Bian pasti jarang sekali menghabiskan hari libur dengan jalan-jalan seperti ini bersama papanya. Om Jemi pikir dirinya dan Bian seperti saling membutuhkan satu sama lain saat libur panjang seperti ini. Yah, setidaknya itu yang dia pikirkan.
Bian menarik sudut bibirnya. Hal sederhana seperti melihat pantai saja mampu membuatnya tertawa, apalagi melihat pantai sambil ditemani Mama dan Papa secara bersamaan?
Kedengarannya seperti si manja, ya? Kenyataannya Bian acap kali merasa sendirian, merasa tidak diperhatikan dengan baik bahkan sejak dia masih begitu kecil. Masih duduk di bangku sekolah dasar lebih tepatnya. Sejak perusahaan sang papa semakin berkembang pesat—laki-laki itu jarang sekali berada di rumah. Pergi pagi, dan pulang malam—saat Bian sendiri sudah tertidur pulas.
Dulu, Bian kecil sering sekali menghabiskan waktu bersama Mama. Dimanjakan sedemikian rupa, sampai suatu hari salah satu dari temannya beranggapan bahwa sang mama memperlakukan Bian secara berlebihan. Mirip seperti seorang mama mengasuh anak perempuan, katanya.
Sejak saat itu Bian menutup diri, bahkan dari sang mama sekalipun.
Dan saat ini Bian rindu dengan kedua orangtuanya. Rindu diajak bicara empat mata oleh Mama, jalan-jalan dengan Mama dan Papa, juga makan malam di luar bersama.
Om Jemi atau bahkan Ayah Yudhis sekalipun sepertinya masih kurang cukup untuk mengisi kekosongan hati Bian. Namun, di sisi lain anak laki-laki yang begitu mirip dengan papanya itu terlalu malu untuk mengungkapkan isi hatinya atau bahasa kerennya adalah gengsi.
Saat tengah asik melamun, tiba-tiba saja Bian merasa ada yang menepuk pundaknya. Siapa lagi kalau bukan Om Jemi?
“Mau sampai kapan di sini? Besok? Lusa? Apa tahun depan, Bi? Bisa-bisanya kamu nyuruh orang tua nunggu di mobil lama-lama!” kata Om Jemi dalam sekali tarikan nafas.
Bian menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal, “Perasaan baru lima menit.” Kemudian Bian cengangas-cengengesan ke arah Om Jemi.
“Apanya yang lima menit? Udah ayo pulang! Kamu mau langsung Om anter pulang ke rumah atau mau nginep di rumah Om lagi? Besok pagi baru Om anter pulang.”
Bian menggeleng semangat.
“Mau pulang ke rumah aja, Om.”