Marahnya Kurang Lama, Ma

Langit yang semula biru, kini sudah gelap sempurna. Hampir pukul sembilan malam. Tapi Bian sama sekali tak beranjak dari sebuah kursi kayu di depan meja belajarnya. Menatap nanar setumpuk buku pelajaran yang ada di atas sana.

Hening. Bian tenggelam dalam pikirannya, kemudian sesekali dia bergumam pada selinting kertas di tangannya. Harus minta maaf ke siapa dulu, ya? Pada Papa yang sepertinya lagi-lagi menerapkan silent treatment untuknya, atau pada Mama yang Bian ketahui tengah marah basar?

Bian menghela napas panjang. Ingatan tentang Mama yang menampar pipinya untuk pertama kali, kembali terputar. Disentuhnya pipi yang sejak tadi masih meninggalkan sensasi cenat cenut itu. Bian meringis. Rasa panas yang telapak tangan Mama tinggalkan masih membekas.

Kalau membahas perihal sadar atau tidaknya Bian pada kesalahannya kali ini—jawabannya tentu, iya. Bian sadar seberapa fatal kesalahannya, maka dari itu wajar kalau-kalau Mama sampai habis kesabaran. Ditamparpun sejujurnya dia pasrah. Tapi, di sisi lain Bian pikir dia masih terlalu muda untuk mati penasaran hanya karena perasaannya yang tak kunjung mendapat kejelasan. Pasalnya kalau dilihat-lihat, selama ini Ajeng juga sama tertariknya dengan Bian—yah, walaupun gadis itu sudah berkali-kali mengatakan kalau dia sama sekali tak berminat menjalin sebuah hubungan romansa.

Ekspresi wajahnya menjadi masam. Bian dengar, dan dia paham sejak awal. Bian cukup mengerti kalau tidak semua hal di muka bumi ini bisa dia dapatkan, termasuk Diajeng Pramesti yang kalau tersenyum, manisnya mampu mengalahi gula jawa di dapur Mama.

Hanya saja, melepaskan Ajeng memang tidak semudah yang Zaid atau bahkan Ozi bayangkan. Masalahnya Ajeng adalah satu-satunya wanita selain Mama yang mampu menarik atensi Bian setelah enam belas tahun, sebelas bulan, dan delapan hari masa hidupnya. Lalu fakta lainnya adalah, Bian merasa dia sering kali membutuhkan eksistensi Ajeng, sejak hari di mana gadis itu mulai andil dalam upaya-upaya penyelesaian masalah-masalah hidupnya.

Ajeng tidak pernah keberatan kala Bian bercerita panjang kali lebar mengenai apa yang dia suka dan benci saat berada di rumah. Ajeng tidak keberatan kalau-kalau dia harus memberi saran dan masukan bagi Bian perihal masalahnya dengan Mama atau Papa, meski pada kenyataannya hal itu mungkin menyinggung perasaan Ajeng, mengingat apa yang sudah terjadi dalam keluarganya. Lalu sebut Bian bodoh, dia akan terima. Karena menurut Bian, menaruh perasaan untuk Diajeng Pramesti bukanlah sebuah kesalahan. Bian hanya merasa, kalau pada dasarnya dia lah satu-satunya kesalahan di sini.

Tok tok tok!

Tiba-tiba suara pintu diketuk membuyarkan keterdiaman Bian. Dia beranjak dari kursinya seketika. Kemudian, pintu yang terbuka menampilkan sosok wanita paruh baya di baliknya. Budhe Lasih datang membawa makan malam.

Bian bergeming. Bodohnya dia berencana mogok makan demi mengemis belas kasih Mama, namun justru Budhe Lasih yang terketuk pintu hatinya.

“Mas, ini cepet dimakan. Budhe mau cuci piring.”

“Mama mana?” tanya Bian penasaran.

“Ibu, sama Bapak udah makan malem dari tadi. Sekarang Ibu lagi di kamar, kalau Bapak sih, Budhe gak tau, Mas. Tadi keluar naik mobil.”

Cukup lama Bian terdiam. Menatap mata Budhe Lasih, dan sesekali melihat makanan yang beliau bawa menggunakan nampan kesayangan Mama. “Taro di meja makan aja Budhe, nanti Bian ke sana—sama Mama.” Bian berpesan demikian, sebelum akhirnya beringsut pergi ke luar kamar dengan sebuah tongkat kruk yang dia sambar lalu diapit di ketiaknya.

Sementara Budhe Lasih yang ditinggalkan begitu saja, diam-diam menahan sebuah tawa. “Mas Bian, Mas Bian ... pasti berantem lagi sama Ibu, Bapak,” kata Budhe Lasih, lalu geleng-geleng.


Saat sampai di depan pintu kamar Mama, Bian sadar kalau ini mungkin akan jadi satu-satunya maaf yang tersisa. Pasalnya sudah berkali-kali dia membuat Mama marah, dan mungkin juga setelah ini, tindakan yang Mama ambil bisa saja menendangnya dari rumah.

Diiringi deru napas yang masih tersengal-sengal akibat berjalan menggunakan kakinya yang masih pincang—tangan Bian terulur. Mengetuk pintu kamar Mama dengan rasa harap-harap cemas.

Tok! Tok! Tok!

“Mama...,” kata Bian lirih. Namun, yang dia dapati hanya sebuah keheningan.

Tok! Tok! Tok!

“Mama, ini Bian ... Bian mau minta maaf, Ma.” Sedetik, dua detik—rupanya kalimat itu belum cukup untuk mengetuk pintu hati Mama. Mama tak kunjung merespon, dan Bian menarik napas panjang. Matanya terpejam sejenak, mengingat kembali bagaimana raut wajah Mama yang tampak sangat kecewa ketika mereka di rumah sakit tadi.

Sesak. Dada Bian seketika rasanya sakit. Jauh lebih sakit ketimbang saat cinta pertamanya ditolak mentah-mentah oleh Ajeng. Bahunya terkulai lemas, sesaat sebelum sebuah bulir air matanya tiba-tiba menetes. Cengeng. Perasaan emosional Bian mulai menjalar keseluruh tubuh sepertinya, sebab detik kemudian dia berani mengetuk pintu kamar Mama lebih kencang dari sebelumnya.

“Bian minta maaf, Ma!”

“Bian salah, Bian minta maaf!”

“Bian janji gak bakal ngelakuin kesalahan ini lagi, tapi tolong buka dulu pintunya, Ma!”

Sambil terus berteriak gaduh, Bian mengetuk pintu kamar Mama. Sesekali dia kumpulkan asanya yang mulai jatuh berserakan. Bian enggan beranjak sampai Mama menemuinya.

Lalu persis seperti yang dia harapkan, suara pintu kamar yang berderit terdengar setelahnya. Bian yang semula menunduk, kini mendongak seketika. Terperanjat, sebab Mama tiba-tiba saja berdiri di hadapannya dan masih dengan pakaian yang sama, namun dengan penampilan yang sedikit berantakan. Diam-diam Bian mencuri tatap mata Mama. Ada jejak air mata di sudut pipinya—membuat Bian kembali digerayangi oleh sebuah perasaan tak nyaman.

Mama sendiri hanya mematung. Menatap Bian dengan tatapan kosong.

“Susah punya anak laki-laki....” Mama akhirnya membuka suara meski sedikit gemetar. “Sekarang kamu maunya gimana? Kamu mau apa ke sini? Udah sana kabur aja lag—” Sarkasnya perkataan Mama terjeda seketika, tatkala Bian sekonyong-konyong mengenggam tangannya.

“Bian minta maaf, Ma.”

Mama bergeming.

“Bian minta maaf udah buat semua orang khawatir—”

“Mama gak khawatir.” Mama menimpali. Membalas bagaimana cara Bian memotong kalimat Mama sebelumnya.

Kemudian sepasang mata milik Bian lagi-lagi memburam. Pekat, dan terasa penuh. Hanya satu kalimat, namun dampaknya luar biasa untuk Bian. Sementara Mama berpaling tanpa sedikitpun rasa empati, bibir mencebik—tepat sebelum dia berlutut dan memeluk kaki Mama hingga samar-samar terdengar suara isakan tangis yang terkesan mendramatisir suasana.

“Bian minta maaf, Ma! Bian udah janji sama diri Bian sendiri kalau ini yang terakhir. Bian janji ini terakhir kalinya Bian bikin Mama kecewa, Ma. Bian minta maaf....” Sembari memeluk kaki Mama sekuat tenaga, Bian berkata demikian.

Malam itu keadaan ruang keluarga di depan kamar Mama sebelumnya sepi. Sebab Papa pergi entah ke mana, dan selain Mama yang berada di dalam kamar—hanya ada Bian dan Budhe Lasih di lantai atas. Tapi, kini jadi lebih gaduh karena Bian melakukan drama tangisan di kaki Mama. Bian sendiri yakin kalau Budhe Lasih sedikit banyak menguping dari dapur. Entah saat ini apakah beliau tengah menertawai tingkah Bian atau justru merasa jengah—Bian masa bodoh.

Sebab hanya dengan begitu, Bian baru berhasil menarik kembali simpati Mama. Membuat Mama melihatnya dengan tatapan iba. Pasalnya menurut sepengetahuan Mama, Bian belum pernah terlihat semenyesal ini untuk kesalahannya.

Helaan napas gusar keluar dari mulut Mama. “Kamu paling jago kalau soal jual kesedihan ke Mama, Bi. Kamu juara satunya.” Lantas Mama membungkuk. Menangkup kedua sisi dari pundak Bian yang sejak tadi memang sudah menunggu Mama melakukan hal tersebut.

“Bangun.”

Bian menyedot cairan ingusnya yang hampir saja menetes ke luar. “Susah, Ma,” sahutnya. Kemudian dengan tampang tak berdosa, Bian merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi dengan harapan supaya mendapat bantuan dari Mama. Dan, ya! Mama seperti biasa, mudah luluh. Dibantunya Bian berdiri tegak, namun saat Mama ingin kembali membungkuk demi meraih kruk milik Bian—bocah itu lebih dulu memeluk Mama erat-erat seperti takut ditinggalkan.

“Bian minta maaf. Bener-bener minta maaf.”

Ibarat ditikam sebuah benda tajam, dada rasanya sakit. Suara lirih Bian berbisik di belakang telinga Mama. Kedengarannya getir. Mama sendiri tahu kalau meminta maaf pada orang tua itu sulit sekali rasanya, tapi Bian fasih. Seperti seketika hilang sudah rasa kesal Mama pada Bian.

“Iya ... Mama maafin.” Kemudian dekapan hangat Mama membalas Bian. Atmosfer persis seperti bertahun-tahun yang lalu, saat Bian masih duduk di bangku TK. Nyaman. Pelukan Mama itu nyaman.


Ingat soal apa yang Bian katakan pada Budhe Lasih beberapa saat yang lalu? Yah, di sini lah Bian sekarang. Duduk pada sebuah kursi di sisi meja makan, berteman Mama yang saat ini tengah cosplay menjadi dayang-dayang. Sebut Bian anak kurang ajar, itu bukan masalah. Pasalnya baru beberapa menit yang lalu dia menangis bombay di kaki Mama—sekarang sudah cengangas-cengenges sebab disuapi makan oleh Mama di jam setengah sepuluh malam.

Dengan lahap dan perasaan senang yang menggebu-gebu, Bian menyantap makan malamnya tanpa peduli kalau juga ada Budhe Lasih di sana yang sibuk mencibir sejak tadi.

“Mas Bian kayak anak kecil aja.” Budhe Lasih menyodorkan segelas air yang baru saja dituang dari dispenser kulkas.

Mama tergelak. “Emang masih bayi ini, mah, Budhe!” Begitu kata Mama.

Sepanjang makan, Bian full senyum—sebelum akhirnya suara mobil Papa terdengar samar-samar di halaman rumah. Agaknya dia masih panik, takut kalau harus dengan bertemu Papa.

Klek!

Duduk di ruang makan yang teknisnya menghadap langsung dengan pintu utama, membuat Bian dapat melihat presensi Papa secara terang-terangan. Ada sekantung kresek putih yang Papa tenteng di tangan kanannya.

“Mas?”

Papa berjalan mendekat ke arah meja makan. Setiap langkah yang Papa ambil, sukses menambah degup jantung Bian semakin cepat. Wajah yang dingin, ditambah rahang yang sepertinya masih mengeras sepert saat Bian melihat Papa di rumah sakit tadi mampu membuat senyum Bian luntur seketika.

Sementara itu, di sisi lain ada Mama yang justru semakin menarik sudut bibirnya. “Apa itu, Mas?” tanya Mama.

“Es krim.” Lalu Papa melengos, sesaat setelah menyerahkan bungkusan es krim ke tangan Mama. Papa berjalan menjauh, bahkan mengabaikan dua orang lainnya. Seakan tak peduli dengan eksistensi Bian sedikitpun.

“Mas?? Kenapa?” pekik Mama secara spontan.

“MARAHNYA KURANG LAMA, RA!”