Mbak Mbak Sepatu Datang ke Kosan

Eksistensi matahari akhir-akhir ini cukup membuat Sabian kewalahan. Sebentar muncul, sebentar lagi menghilang. Sebentar panas tak karuan, sebentar lagi hujan badai. Laki-laki itu jadi kesulitan memilih alas kaki yang harus ia gunakan di luar ruangan.

Kemarin siang, menurut BMKG tak akan turun hujan. Sabian dengan percaya diri mengenakan satu-satunya sepatu yang ia miliki sejak ia memberikan sepatunya yang lain kepada seorang perempuan asing—beberapa waktu lalu. Sialnya, perkiraan cuaca oleh BMKG meleset. Hujan badai mendadak muncul di saat matahari seharusnya tengah berada tepat di atas kepala.

Meski Sabian pulang ketika hujan sudah reda, sepatunya tak selamat dari genangan air kotor. Alhasil, sepatunya yang tinggal satu itu harus berakhir di atas jok motor Sudirman untuk dijemur langsung di bawah sinar matahari—setelah Sabian berusaha membersihkannya hanya dengan sebuah sikat gigi bekas Zaid dan sabun wajahnya, lantaran ia dan kedua temannya itu kehabisan detergen.

Namun, nahas. Sepatunya belum juga kering saat ia ingin berangkat kuliah pagi ini. Dengan berat hati, Sabian mengenakan sandal jepitnya.

Hari ini, matahari seakan begitu dekat dengan bumi. Terik dan panasnya bukan main. Andai saja Sabian tak punya rasa malu, mungkin ia akan menangis sejadi-jadinya saat ini juga. Kakinya yang semula tampak bersih dan terawat—kini menjadi belang yang membentuk bayangan sandal jepit.

“Makanya, pake kaos kaki kayak gue, Bi!” cetus Zaid di sebelah Sabian. Sudah begitu lama berteman pertemanan mereka sehingga laki-laki itu dapat langsung menyadari kegelisahan Sabian hanya melalui gerak-geriknya saja.

Mendengar itu, Sabian lantas melihat ke arah kaki Zaid—dan ia pun tertawa. “Konyol!” seru Sabian.

“Yang penting nggak belang, Anjing!”

Lantas, keduanya semakin tergelak. Usut punya usut, kaus kaki yang Zaid kenakan saat ini adalah kaus kaki selalu ia kenakan saat tidur.

“Beli kaos kaki leopard gitu di mana?”

“Toko online.”

Sabian manggut-manggut. “Pesenin satu buat gue.”

“Jadi duo macan, bangsat!” Kemudian, uraian tawa mereka tak ada habisnya.

Perjalanan dari kampus menuju kostan mereka cukup jauh. Namun, tak begitu terasa sebab, keduanya terus bergurau di sepanjang perjalanan. Sebetulnya Zaid memiliki motor yang sengaja orang tuanya belikan untuk mobilitas selama di sini. Akan tetapi, motor itu sering kali mogok di perjalanan—sejak lima bulan terakhir.

Sempat terbesit keinginan untuk minta dibelikan motor baru tapi, setelah mereka berdua pikir panjang, hal itu mungkin hanya akan menjadi sia-sia. Pasalnya, hanya tersisa beberapa semester lagi kuliah mereka. Setelah itu, keduanya akan langsung kembali pulang ke Jakarta.

“Eh, Bi!” Zaid menepuk pundak Sabian berulang kali.

Sementara itu, sang empunya pundak hanya menoleh, seraya memasang raut wajah seakan-akan tengah berkata; kenapa?

Zaid menunjuk langsung pada lantai dua gedung indekos—lebih tepatnya letak kamar mereka.

Detik selanjutnya, Sabian menelan ludah. “Itu siapa yang ngintip-ngintip ke dalem kamar kita, ya, Id?” tanya ia yang kedengarannya begitu cemas.

“Mana gue tau? Gue, kan, baru dateng—sama kayak lo!”

Sabian praktis menarik punggung Zaid seraya bersembunyi di balik tiang beton bangunan itu tatkala seseorang di atas sana tiba-tiba saja menoleh.

“Perempuan, Bi!” bisik Zaid.

Sebuah anggukan setuju, Sabian lancarkan. “Jangan-jangan, pacarnya Cudil?”

“Bisa jadi....” Zaid menimpali. Lalu, dengan gegabah, ia berniat keluar dari balik tiang beton itu. “Ayo kita sanperin aja!”

“Jangan!” Untuk kedua kalinya Sabian menarik pundak Zaid.

Selang beberapa detik kemudian, terdengar suara mesin motor yang baru saja datang. Menilik dari jenis motor dan plat nomornya—sudah dapat Sabian pastikan bahwa orang yang tengah mengendarai motor itu adalah Sudirman.

“Tuh, tuh, Cudil dateng!”

Zaid mengangguk. “Yaudah, kita ngintip dari sini aja, Bi.”

Sabian langsung memutar malas bola matanya. “Dari tadi juga gue suruh ngintip dari sini!” gumamnya.

Tak jauh di depan mereka berdua, Sudirman melepas helmnya dan mencabut kunci motor. Tanpa menoleh atau bahkan curiga sedikitpun, laki-laki itu langsung melenggang pergi. Sudirman menuju ke arah tangga.

Satu detik, dua detik, tiga detik. Waktu berlalu. Tengkuk Sabian sudah mulai keram lantaran menunggu Sudirman tiba di depan pintu kamar mereka.

“Heh!”

Seruan Sudirman sukses membuat Sabian dan Zaid menutup mulut mereka seketika.

“Dirman!”

“Arep opo ndek kosanku, Ca?” (Mau apa di kosanku)

Meski perkataan Sudirman dapat begitu jelas Sabian dengar, ia sama sekali tak mengerti artinya.

“Si Cudil ngomong apaan, Id?”

Mendengar pertanyaan itu, Zaid langsung menghela napas panjang. “Dia nanya kenapa perempuan itu dateng ke kosannya.”

“Oh....”

“Gue penasaran sama temen sekamar lo.”

Bukan hanya Sabian yang lantas membelalakkan kedua matanya namun, Zaid juga.

“Jadi, dia mau ngintipin kita, Id?” tanya Sabian memastikan.

Detik kemudian, tangan Zaid naik dan menyilang di depan dadanya, seraya mengangguk. “Ih, takut....”

Belum sempat Sabian menimpali, perempuan di atas sana lebih dahulu memekik gaduh sebab, telinganya tengah menjadi sasaran empuk tangan ganas Sudirman. Laki-laki itu celingak-celinguk, seakan tengah memastikan kalau tak ada yang melihatnya.

“Dijewer, Bi, kupingnya!”

“Gue juga liat, Anjing!”

“Cah kentir! Muleh! Muleh!” (anak stress! pulang! pulang!) Seru Sudirman yang terdengar dari kejauhan.

Kali ini, Sabian tak bertanya apa arti perkataan Sudirman kepada Zaid. Ia sibuk menatap lamat-lamat perempuan yang tampaknya tengah dianiaya oleh Sudirman itu. Wajahnya seperti tak asing, dan cukup sering ia lihat. Akan tetapi, Sabian kesulitan untuk mengingatnya.

“Id,” bisik Sabian pada Zaid.

Zaid berdeham untuk merespons panggil Sabian.

“Gue kayak ngerasa nggak asing sama perempuan itu....”

“Mbak mbak yang storynya titik-titik, Bi.”

Sabian langsung menyentuh pundak Zaid dengan kedua tangannya. “Serius?”

Dan, anggukan kepala lah yang Zaid berikan. “Iya. Itu dia.”