Melawan Penjahat dengan Nekat
“Tolong! Tolong!!”
Sayup-sayup terdengar suara teriakan.
“Tolong!!”
Mendengar suara teriakan minta tolong milik seorang perempuan yang datangnya dari kegelapan itu, praktis membuat Sabian berlari menghampiri sumber suara itu.
“WOY!”
Dengan sisa-sisa helaan napas yang tersisa, tanpa pikir panjang ia menerjang tubuh seorang pria yang berpakaian serba hitam, lengkap dengan masker yang menutupi hingga sebagian dari wajahnya. Orang itu sebelumnya tengah menarik paksa, tangan perempuan di hadapannya.
“Asu!” (Anjing!) pekik orang tersebut tatkala tubuhnya terhuyung dan ambruk lantaran dihantam langsung oleh siku Sabian.
Sementara, sang perempuan yang Sabian lihat sebagai korban itu—praktis beringsut mundur. Ia ketakutan.
“Sini, Bangsat! Bangun, lo!” Sabian menarik kerah pakaian pria di hadapannya itu.
Mata Sabian memicing. Usut punya usut hantaman siku yang ia layangkan barusan itu cukup keras dan berhasil melemahkan lawan. Membuat salah satu dari kedua mata korbannya sulit terbuka. Sabian pun tersenyum culas, sebelum akhirnya ia kembali melayangkan satu kali serangan lagi untuk melumpuhkan pria itu.
Si empunya tubuh, lagi-lagi harus mencium tanah.
“Cuman segini pertahanan lo, tapi belaga jadi jambret?! Brengsek!” cetus Sabian.
Sadar kalau pertanyaan tak mungkin dijawab oleh pria yang sudah tak sadarkan diri itu, Sabian lantas menoleh. Melihat perempuan di belakangnya itu yang penampilannya kusut bukan main.
Sejenak, terlintas dalam benak Sabian, mungkin ia bukan hanya hampir menjadi korban perampasan barang-barang berharga, tapi juga yang lainnya. Namun, Sabian memilih untuk menurunkan tatapannya setelah itu. Ia melepas jaket yang sempat ia kenakan sebelumnya, seraya berjalan mendekat dengan penuh hati-hati.
Belum sempat Sabian memakai jaket tersebut, perempuan itu lebih dulu mendongak. Menatap lurus ke arah mata Sabian dengan tatapan yang sulit diartikan.
“A-ada ... sa-satu lagi.”
“Hah?”
“DI BELAKANG LO! AWAS!!” pekiknya tak tertahankan.
Tubuh Sabian ambruk seketika. Ia merasa seakan-akan dunia berputar, tepat sesaat— setelah pundaknya dihantam dari belakang oleh satu lagi pria berpakaian serba hitam dan menggunakan masker. Sepertinya mereka berdua adalah satu komplotan.
“Sapurane yo, Mas. Samean iku, gak diajak!” (Maaf ya, Mas. Kamu itu gak diajak) kata pria itu.
Lalu, belum sempat Sabian mengatakan apa-apa, tubuhnya sudah lebih dulu dijadikan selayaknya sebuah samsak.
Sabian dihajar secara membabi buta. Sementara sosok perempuan yang ia tolong itu, merasa kesulitan untuk sekadar mengatur degup jantungnya sendiri.
Sabian merintih kesakitan. Hampir sekujur tubuhnya terasa sangat nyeri karena begitu banyak pukulan serta tendangan yang dilayangkan oleh pria itu.
Sejujurnya, pria yang kali ini jauh lebih besar dan bertenaga jika dibandingkan dengan kawannya yang sudah tak sadarkan diri sejak beberapa saat yang lalu.
Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, ia baru teringat akan perkataan Zaid. Seandainya mereka pulang bersama malam ini, mungkin, setidaknya ada salah satu di antara mereka yang selamat dan berhasil menelepon polisi. Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, ia baru teringat kalau mungkin kini Sudirman—kawan barunya itu, dilanda perasaan gelisah semalaman lantaran ia tak kunjung menampakkan diri di depan pintu kamar kos. Dan, dalam keadaan yang sudah separah ini, ia baru teringat akan Papa, Mama, serta Alin di Jakarta.
Muncul sedikit perasaan menyesal lantaran ia selalu menunda untuk pulang, sekalipun liburan semester tiba.
Detik kemudian, Sabian seperti ingin menangis. Namun, di sisi lain ia sadar kalau ini bukanlah waktu yang tepat untuk menangis.
Sabian menarik napas tercekat, hingga tampak seperti akan meregang nyawa saat itu juga.
“TOLONGG! TOLONGGGGG!”
Akhirnya suara lantang itu lolos begitu saja. Perempuan yang Sabian berusaha selamatkan itu, kini berteriak sepenuh tenaga.
Sampai, saat pria yang sempat memukuli Sabian itu lengah, tiba-tiba saja, datang sosok pahlawan kesiangan.
“PAK INI, NIH! PENJAHATNYA ADA DI SINI, PAK!”
Zaid muncul, bersamaan dengan suara sirine polisi yang berasal dari ponselnya.
Mendengar perkataan Zaid barusan, pria yang berpakaian serba hitam itu spontan berniat kabur dan meninggalkan kawannya yang tak sadarkan diri begitu saja. Namun, nahas. Polisi sungguhan lebih dulu datang dan menembakan senapan angin di udara.
Sementara para polisi itu sibuk meringkus kedua orang jahat tersebut, Zaid beringsut ke tempat di mana Sabian berbaring lemah.
Babak belur sudah. Bibirnya sobek dan berdarah. Pelipisnya dipenuhi luka. Dan, jangan lupakan penampilannya yang kini sudah sangat carut-marut lantaran dipukuli sampai terbaring di atas tanah.
Tapi syukurlah, ia selamat.
“Heh! Bangun lo!” kata Zaid ketus.
Ia tahu Sabian tidak akan mati semudah itu.
Sabian membuka matanya seketika. Lalu, tangan kanannya terangkat. Ditatapnya sebuah pisau lipat yang sudah ia sembunyikan di balik tubuhnya sejak beberapa saat lalu, itu.
“Gue bawa pisau, Id. Tapi ternyata, gue gak sampai hati pakai pisau ini buat ngelukain musuh.... Gue cuman bisa pura-pura mati kayak barusan, biar dia berhenti.”
Mendengar hal itu, Zaid hanya diam. Bergeming.
“Makasih, udah panggilin polisi,” timpal Sabian yang kemudian langsung beranjak berdiri.
Satu-satunya hal yang ia lakukan setelahnya hanyalah menatap sosok perempuan yang tengah dibantu berdiri oleh salah seorang polisi yang datang.
“Lo kenal?” tanya Zaid penasaran.
Sabian menggeleng. “Gue denger dia minta tolong.”
“Terus hati lo terketuk buat nolongin, gitu?”
“Iya....”
Sebenarnya, hal yang membuat Sabian nekat ingin menyelamatkan perempuan itu meski ia sadar kalau ia hanya sendiri adalah ingatan Sabian perihal Alin. Adiknya itu, suatu saat nanti juga akan bertumbuh besar, sama seperti perempuan yang ingin ia selamatkan beberapa saat lalu. Sulit bagi Sabian membayangkan kalau-kalau Alin membutuhkan pertolongan, namun, tak ada satu pun orang yang rela berlari untuk menolongnya.
Sabian mengehela napas panjang. Ia beruntung sekali. Meski habis dipukuli seperti ini, tapi ia berhasil menyelamatkan seseorang.
“Selamat malam, Adik-Adik. Boleh ikut kami ke kantor polisi untuk dimintai kesaksian?”
Sabian menarik sudut bibirnya. “Boleh, Pak,” sahutnya semangat.
Berbanding terbalik dengan Zaid yang justru merotasikan bola matanya, malas. “Temen saya perlu ke rumah sakit, Pak, bukan kantor polisi.”
“Iya, kita ke rumah sakit dulu, sebelum ke kantor polisi.”
Malam itu, jalanan sekitar Keputih mendadak ramai meski sudah melampaui tengah malam. Sudah seperti iring-iringan. Ada suara sirene ambulans dan suara pertanda polisi tengah berpatroli di area sekitar.
Sabian yang mulanya sempat tampak baik-baik saja—akhirnya jatuh pingsan, tepat setelah ia meminjam sepatunya kepada sang korban yang bertelanjang kaki, lantaran sandal yang ia kenakan sempat terputus saat berusaha melarikan diri.
Korban sudah diamankan, komplotan penjahatnya juga sudah ditangkap oleh polisi. Lalu, Sabian sendiri sudah mendapatkan perawatan yang intensif dari seorang dokter yang tengah bertugas di IGD saat ini.
Semua sudah aman terkendali, tentunya. Kecuali, detak jantung Zaid yang sudah sejak tadi memiliki tempo yang tak beraturan. Pasalnya, saat ia panik melihat Sabian pingsan—ia spontan menelepon kedua orang tua Sabian. Dan kini, ia berakhir dihujani puluhan panggilan balik oleh Papa kawannya itu.